Vaksin COVID-19 Astra Zeneca Halal karena Tidak Ada Unsur Babi di Produk Akhir

- 21 Maret 2021, 18:02 WIB
Astra Zeneca menyambut baik opini positif atas vaksin mereka.
Astra Zeneca menyambut baik opini positif atas vaksin mereka. /- Foto : Twitter @AstraZeneca/

 

PORTAL MAJALENGKA – Vaksin COVID-19 Astra Zeneca akhirnya akan mulai didistribusikan untuk digunakan dalam program vaksinasi COVID-19 pemerintah.

Diperbolehkannya vaksin Astra Zeneca untuk dipergunakan merujuk pada keterangan pers bersama yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Jumat lalu (19/3).

Badan Pengawas Obat dan Makanan menyatakan vaksin Astra Zeneca tidak terkait dengan
risiko pembekuan darah atau kejadian penggumpalan darah secara keseluruhan
(tromboemboli) pada mereka yang menerima vaksin.

Baca Juga: Vaksinasi dan Disiplin Prokes Kunci Kendalikan Pandemi

Lebih lanjut, Badan POM juga menyatakan bahwa manfaat vaksin dalam penanganan COVID-19 lebih besar daripada risiko efek sampingnya.

Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyampaikan bahwa vaksin AstraZeneca dibolehkan untuk digunakan (mubah) mengingat manfaat yang diberikan
dari vaksin ini, serta dengan pertimbangan kondisi darurat yang terjadi saat ini akibat pandemi COVID-19.

MUI juga menyatakan umat Islam di Indonesia untuk wajib mengikuti program
vaksinasi pemerintah agar kita semua segera keluar dari pandemi.

Baca Juga: Vaksin Astra Zeneca Kantongi Izin Penggunaan dari MUI dan BPOM

Dr. dr. M. Atoillah Isfandi, M.Kes, Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Airlangga, memberikan pandangan terkait dengan konteks kehalalan pada vaksin
COVID-19 AstraZeneca ini.

Menurut beliau, secara sederhana, ada 3 hal yang menjadi pertimbangan haramnya suatu vaksin.

“Bahannya mengandung bahan haram atau dibuat dengan cara yang haram, dalam proses pembuatan vaksin itu melanggar hukum syariah, dan tidak jelas manfaat suatu vaksin apalagi jika mudharatnya jauh lebih besar. Jadi hukum haram tidak hanya dipandang dari kandungan bendanya, tetapi juga pada proses maupun manfaatnya,” terang Dr. Atoilah.

Baca Juga: Pesawat Kargo Trigana Air Tergelincir di Bandara Halim Perdanakusuma, Begini Kronologinya

Beliau juga kemudian menjelaskan 5 kaidah yang menjadi pertimbangan dalam menentukan
halal dan haramnya suatu vaksin. Kaidah-kaidah ini beliau sarikan dari berbagai dalil yang
ada di dalam Al-Quran dan Hadist.

Menurut Dr. Atoilah yang pertama adalah kaidah Yakin. “Jika ini masih tahap percobaan
seperti clinical trial fase-1, dan setelah itu langsung dikomersilkan atau langsung dipakai,
maka itu melanggar kaidah yang pertama dan itu hukumnya haram, meskipun kita memakai
benda yang suci,” kata Dr. Atoilah.

Kemudian yang kedua adalah kaidah Niat. “Artinya, sebagus apapun bendanya, proses
pembuatannya, namun jika tujuannya untuk kemudharatan (keburukan) pasti haram,” tegas
Dr. Atoilah.

Baca Juga: Melanggar Lalin Kini Pikir Dua Kali, Polda Metro Jaya Sebar 30 Kamera ETLE Mobile

Lalu yang ketiga adalah kaidah Masyaqqat. “Artinya, jangan sampai dalam proses vaksinasi
nantinya menimbulkan penyakit yang lain. Apabila efek samping yang ditimbulkan dari
vaksinasi ini cukup besar, maka vaksin itu menjadi haram. Misalkan setelah divaksinasi
nantinya akan menyebabkan kanker, maka hal itu tidak boleh,” ujar Dr. Atoilah.

Seterusnya yang keempat adalah kaidah Adh dhararu, maksudnya kaidah kedaruratan. Jadi
dalam kondisi darurat, hal-hal yang menyebabkan haram itu kemudian dapat gugur.

Jadi meski ada unsur babinya, namun karena hal ini darurat, maka itu menjadi halal. Hingga nanti menemukan vaksin yang tidak menggunakan tripsin dari babi, maka vaksin yang ada hari ini tetap halal.

Baca Juga: Alhamdulillah, 71.323 Pasien COVID-19 RSDC Wisma Atlet Sembuh

Saat nanti ditemukan vaksin dengan tripsin dari sapi atau status pandemi COVID- 19 ini berubah menjadi endemi saja, barulah dapat dikatakan kedaruratan dari permasalahan ini sudah lewat.

"Maka ketika vaksinasi COVID-19 ini menjadi elektif, disitulah kemudian masyarakat bisa memilih vaksin yang benar-benar halal. Pernyataan bahwa vaksin COVID- 19 AstraZeneca ini haram tetapi boleh digunakan dari MUI menurut saya berasal sudut pandang ini,” papar Dr. Atoilah.

Dan terkahir yang kelima adalah kaidah Al Urf. Ini adalah terkait dengan kearifan lokal.

Baca Juga: Kegiatan Belajar Mengajar Tatap Muka Diperbolehkan di PPKM Mikro Terbaru

“Saya kira kalau poin yang ini kurang cocok untuk diimplementasikan dalam vaksin. Al Urf ini
contohnya acara selamatan. Selama itu tidak melanggar akidah intinya, boleh,” jelas
Epidemiolog yang juga memiliki pemahaman mendalam mengenai agama Islam ini.

Lebih lanjut Dr. Atoilah kembali menjelaskan bahwa tripsin babi yang digunakan dalam proses pembuatan vaksin AstraZeneca itu dilakukan pada proses awal penanaman untuk
menumbuhkan virus pada sel inang.

Setelah virus ditanam kemudian tumbuh, maka virusnya dipanen. Pada proses itu menurut saya, pada dasarnya tidak ada persentuhan lagi antara tripsin dan si virus karena urusan si tripsin ini hanya dengan media tanamnya.

Baca Juga: Usai Dipaksa Mundur dari All Angland 2021, Timnas Bulu Tangkis Pulang 22 Maret

Untuk itu, di produk akhir vaksin COVID-19 AstraZeneca sudah tidak ada unsur babi sama sekali. Ibarat analoginya jika kita menanam pohon, menggunakan pupuk kandang yang kandungannya termasuk najis, tetapi ketika menghasilkan buah, maka si buah tidak lantas menjadi najis juga.

“Kemarin saya juga sudah konfirmasi ulang ke pihak AstraZeneca, dan ternyata mereka tidak
melibatkan tripsin dalam proses pemisahan. Tripsin itu hanya digunakan untuk media
pembiakan. Jadi menurut saya, vaksin ini lebih aman dan halal,” tambah Dr. Atoilah.***

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah