Misteri Kematian

9 Maret 2021, 05:19 WIB
Dr H Masduki Duryat MPdI /

Oleh:

Masduki Duryat

(Dewan Pakar Pergunu Indramayu)

 

“Mengantuk itu nikmat, tapi lebih nikmat lagi tidur. Sedangkan yang lebih nikmat dari tidur adalah mati”. (Schopenhauer, Filosof Jerman)

Kematian dan diskursusnya bukanlah hal yang mudah untuk diperbincangkan. Hal ini paling tidak disebabkan karena dua hal; Pertama, pengetahuan manusia tentang kematian sangat terbatas karena kematian sebuah misteri—wamaa tadrii nafsun madza taksibu ghadan—Kedua, karena kesedihan dan ketakutan sering meliputi situasi perbincangannya.

Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi

Manusia menurut Quraish Shihab, selalu hawatir dan bersedih hati dalam menghadapi kematian, karena manusia ingin hidup selamanya. “Aku ingin hidup seribu tahun lagi,” kata Chairil Anwar. Atau dalam bahasa al-Quran, “Salah seorang di antara mereka berkeinginan untuk dihidupkan seribu tahun” (QS. 2: 98).

Baca Juga: PRMN Menyusun Modul Uji Kompetensi Wartawan untuk Perkuat Kualitas Jurnalisme

Bahkan Nabi Adam juga terusir dari surga antara lain karena tergiur oleh janji palsu Iblis yang merayunya dengan kata-kata, “Maukah kamu kutunjukkan pohon kekekalan dan kekuasaan yang tiada habisnya?” (QS. 20: 120). Inilah beberapa ilustrasi sifat manusia yang lupa akan peringatan-peringatan Tuhan.

Sartre, seorang filosof kontemporer Prancis memberikan nasihat untuk mengurangi kesedihan dan rasa takut menghadapi kematian dengan mengingatkan dua hal; Pertama, bahwa kematian adalah resiko kehidupan, dan karenanya tidak seorangpun yang hidup kecuali akan mati; Kedua, bahwa semakin banyak orang disentuh malapetaka, semakin ringan setuhannya di hati mereka.

Malapetaka kematian menyentuh semua orang, karenanya ia seharusnya tidak menimbulkan kesedihan yang berlarut.

Baca Juga: AHY akan Beri Maaf Jika Moeldoko Akui Kesalahannya Ambil Paksa Partai Demokrat

Islam, seperti yang diungkapkan dalam al-Quran mengingatkan bahwa “Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian” (QS. 3: 185). Bahkan seandainya ada seseorang yang berhak untuk hidup selamanya, pasti ia ada;ah rasulullah Muhammad SAW.

Namun, beliaupun jauh sebelum wafatnya diperingatkan oleh Tuhan, bahwa “Sesungguhnya engkau akan mati, sebagaimana merekapun akan mati” (QS. 39: 30).

Al-Raghib al-Isfahaniy sebagaimana diadaptasi oleh Quraish Shihab sampai menulis, “Kematian merupakan tangga menuju kebahagiaan abadi. Ia merupakan perpindahan dari tempat ke tempat lain, sehingga dengan demikian ia merupakan kelahiran baru bagi manusia …. Kematian adalah pintu menuju kesempurnaan, kebahagiaan, surga yang abadi”.

Baca Juga: Perhatian! ASN Dilarang ke Luar Daerah Saat Libur Isra Miraj dan Nyepi 2021

Sehingga harus ada optimisme dalam jiwa setiap manusia. Sebagaimana optimisme seorang awam—tidak terpelajar—ketika diajukan pertanyaan: “Takutkah anda akan kematian?”, bukannya menjawab ia malah balik bertanya, “Kemanakah aku pergi, bila aku mati?”. “Kepada Tuhan,” demikian jawaban yang didengarnya.

“Kalau demikian, aku tidak perlu takut, karena aku menyadari bahwa segala sesuatu yang bersumber sari Tuhan adalah baik. Tuhan tidak memberi kecuali yang terbaik”.

Tidak ada yang buruk pada keputusan Tuhan, buruk itu hanya karena keterbatasan pandangan dan pengetahuan manusia. Pasti ada pesan yang tersembunyi di balik semua keputusan Tuhan, dan ada hikmahnya blessing in disguise. Termasuk kematian adalah proses penyucian diri untuk kembali kepada zat yang suci.

Baca Juga: Menggiurkan! Polisi Tangkap Kurir Narkoba Lintas Negara dengan Bayaran Rp 50 Juta

Kematian sebagai Penyucian

Ibn al-Qayyim al-Jauzi sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat pada pembahasan tentang bab taubat, bercerita tentang at-tamhish (proses pembersihan atau pemutihan), yang mencerminkan kasih sayang Allah SWT.

Jadi, dulu kita berasal dari Allah dalam keadaan suci, kemudian kembali kepada Allah mestinya dalam keadaan suci pula. Sebagaimana anak-anak yang meninggalkan rumah setelah mandi, kita bermain-main di halaman dunia ini.

Ketika kita balik ke rumah, kita dalam keadaan carut-marut dan penuh debu. Kotoran itu membuat gatal sekujur tubuh kita dan kuman-kuman melekat di tubuh kecuali kalau kita mau mandi, membersihkan diri.

Baca Juga: Pemerintah akan Lakukan Impor Beras, Anggota DPR: Ini Akan Menyakiti Hati Petani

Allah yang Maha Kasih Sayang juga tidak mau menerima kita, sebelum kita kembali dalam keadaan suci.

Al-Quran menegaskan “Aku akan hidupkan kamu sebagaimana dulu Aku hidupkan”. Sebagaimana kita adatang dari sisi Allah SWT  dalam keadaan suci, kita seharusnya kembali ke hadiratNya dalam keadaan suci pula.

Di sini pentingnya kita bertaubat, berbuat baik dan beramal shalih sebagai bekal kembali kepada Allah SWT. Sebab amal ini juga yang akan mengejawantah dalam wujudnya di hari kiamat nanti.

Baca Juga: PKB Target Jadi Partai Pemenang di Jawa Barat pada Pileg 2024

Penjelmaan Amal

Muadz bin Jabal ketika duduk bersama Nabi di rumah Ayub al-Anshari bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan ayat; Pada hari ditiupkan sangkakala dan kalian datang dalam bergolong-golongan?” (QS. 78: 18). Lalu nabi yang mulia menjawab: “Hai Muadz, kamu telah bertanya sesuatu hal yang berat”.

Lalu nabi melemparkan pandangannya jauh ke depan, seraya berkata: “Ummatku akan dibangkitkan menjadi sepuluh golongan. Tuhan memilah mereka dari kaum muslimin dan mengubah bentuk mereka.

Sebagian berbentuk monyet, sebagian berbentuk babi, sebagian lagi berjalan terbalik dengan kaki di atas dan muka di bawah lalu diseret-seret. Sebagian lagi buta merayap-rayap, sebagian lagi tuli bisu tidak berpikir.

Baca Juga: Terpilih Jadi Ketua DPC PKB Majalengka, Taufan Ansyar: Ini Momentum Mengabdi untuk Umat

Ada yang menjulurkan lidahnya sambil mengeluarkan cairan menjijikkan semua orang. Lalu ada juga yang mempunyai kaki dan tangan yang terpotong, sebagian lagi disalibkan pada tonggak-tonggak api.

Ada juga yang berbau menyengat melebihi bau bangkai, dan sebagian ada yang memakai jubah ketat yang mengoyak-ngoyakkan kulitnya.

Lalu nabi menjelaskan, orang yang berbentuk monyet adalah para penyebar fitnah yang memecahbelah masyarakat. Dalam wujud babi adalah pemakan harta haram (koruptor).

Baca Juga: Pergerakan Tanah Semakin Luas dan Dalam, BPBD Dirikan Tenda Pengungsian Bagi Warga di Cianjur

Yang kepalanya terbalik adalah pemakan riba. Yang buta adalah penguasa yang dzalim, dan yang buta tuli adalah orang yang tajub dengan amalnya sendiri.

Sedangkan yang menjulurkan lidahnya dengan sangat menjijikkan adalah para ulama atau hakim yang perbuatannya bertentangan dengan pembicaraanya. Yang dipotong kaki dan tangannya adalah orang yang menyakiti tetangganya.

Yang disalib pada tonggak api adalah para pembisik penguasa yang menjelek-jelekkan orang lain. Yang baunya lebih menyengat dari bangkai adalah orang yang pekerjaannya hanya mengejar kesenangan jasmaniah dan tidak membayarkan hak Allah dalam hartanya.

Baca Juga: AHY: KLB di Sumut Didasari Niat dan Cara yang Buruk

Lalu yang dicekik oleh pakaiannya sendiri adalah mereka yang sombong dan takabur.

Siapa kita sebenarnya akan kita ketahui ketika kita menghembuskan nafas terakhir, seperti yang disampaikan Tuhan “Maka kami singkapkan tirai yang menutup matamu dan tiba-tiba matamu hari ini menjadi amat tajam”. (QS. 50: 22)

Wallahu a’lam bi al-shawab

 

Editor: Andra Adyatama

Tags

Terkini

Terpopuler