Menjaga Marwah Ulama (Tanggapan terhadap Tulisan Yahya Ansori; Hasil Musda Indramayu)

29 Desember 2020, 06:51 WIB
Dr H Masduki Duryat MPdI /

 

 

Oleh: Masduki Duryat*)

Gelaran Musyawarah Daerah VII MUI Kabupaten Indramayu telah selesai dilaksanakan dan tim formatur sudah menyepakati untu memilih kembali KH. Moh. Syathori SH.I., MA., sebagai ketua umum, Dr. H. Ahmad sekretaris umum dan H. Syaifuddin, SH. Sebagai bendahara umum untuk selanjutnya menyusun kepengurusan secara lengkap.

Pemilihan dengan sistem formatur ini sesuai dengan amanat AD/ART organisasi.

Baca Juga: Pemprov DKI Siapkan TPU Non Khusus bagi Jenazah COVID-19

Era Disrupsi; Tantangan Pengurus MUI

Berkumpulnya orang-orang yang sangat mulia, ‘ulamawaratsatu al-anbiya—di tempat yang mulia kebanggaan masyarakat Indramayu, sekaligus masjid terbesar di Jawa Barat, Islamic Centre Syekh Abdul Manan yang sangat fenomenal ini untuk bersama tidak hanya merumuskan suksesi kepemimpinan MUI di Indramayu tetapi ada yang jauh lebih urgent  mengawal moral masyarakat Indramayu dalam dimensi religius—yang tidak hanya shalih secara spiritual tetapi harus juga secara sosial—tidak terjebak pada Islam yang formalistik tetapi lebih pada substantif.

Keberpihakan terhadap pemberdayaan rakyat kecil, miskin yang hidup di gang-gang sempit, kumuh dan kotor yang sering menjadi himpunan angka statistik terus diupayakan. Sementara di sisi lain mengajak aghniya untuk terus mengasah kepedulian dan semangat berbaginya.

Tantangan kita sangat berat sekarang ini di era disrupsi, digital, Revolusi Industri 4.0—walau juga pasti ada opportunity—moral bangsa sudah pada titik nadir, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Hongkong menempatkan kita menjadi negara terkorup di Asia, Masyarakat Transfaransi Internasional masih menempatkan kita sepuluh besar negara terkorup di muka bumi.

Baca Juga: NU Peduli COVID-19 Salurkan Bantuan Rp 25 Miliar ke Faskes di Jawa

Gunnal Myrdall yang dikutip Prof. Dr. Nurcholish Madjid dari sisi etik, Indonesia masuk kategori negara yang soft state, sering terjadi ketidakjelasan antara yang benar dan salah, korupsi seringkali difragmentasikan dengan atraktifnya tanpa memperdulikan kondisi psikologi rakyat kecil.

Dalam konteks pendidikan, seharusnya pembelajaran virtual di rumah untuk dijadikan momentum ‘baitii jannatii’—malah tanpa disadari yang dilakukan adalah meyatimpiatukan dan memonsterkan anak—dengan menyerahkannya pada Hp, gadget, game online, dan media online  lainnyapada saat yang sama pendidikan moral menjadi abai, tadarrus al-quran mulai terpinggirkan.

Fenomena-fenomena ini hanya sebagian kecil dari tantangan yang jauh lebih besar yang akan kita hadapi.

Baca Juga: Fatal, Jangan Pernah Katakan Kalimat Ini pada Orang yang Patah Hati

Metode dakwah yang relevan dengan generasi milenial dan segala piranti teknologinya, pemahaman keagamaan yang mulai diwarnai nuansa ‘keangkungan’ hanya belajar dari youtube pada generasi muda kita, radikalisme versus moderasi dalam beragama, gerakan cultural atau purivikasi, makna modernisasi yang lebih cenderung Kebarat-Baratan dan banyak lagi.

Menuntut kearifan dalam penyusunan program kerja organisasi lebih responsif pada fenomena-fenomena tersebut.

Belum lagi kehebatan kita yang berdiri di atas kemajemukan sebagai sebuah bangsa mulai terkoyak oleh sikap arogansi kesukuan dan ambisi politik segelintir orang atas nama masyarakat.

Baca Juga: Keren nih, Jepang Kembangkan Sistem Pelacak untuk Pendatang dari Luar Negeri

NKRI harus tetap tegak berdiri, ada banyak darah pengorbanan syuhada, ummat Islam. Sampai pada perumusan Pancasila ummat Islam mengorbankan delapan kata di belakang ketuhanan pada piagam Jakarta, hanya ingin tetap tegaknya persatuan di bawah panji Bhinneka Tunggal Ika, dalam bingkai ikhtilafu al-imam rahmatu al-ummah.

Dalam konteks Indramayu kita mencoba menyatukan kembali sekat-sekat persaudaraan yang sempat ‘terkoyak’ sebagai konsekuensi logis dari Pilkada yang belum lama dilaksanakan.

Melalui shilaturrahim; shilat, sesuatu yang berserak kita satukan kembali dengan dasar al-Rahim, kasih sayang. Komunikasi yang intens dengan tanpa ada kepura-puraan, split personality.

Baca Juga: Simak, Ini Bahaya Penggunaan Minyak Jelantah secara Berulang

Hal ini menuntut untuk lebih serius lagi dalam merumuskan program kegiatan MUI, dengan mengesampingkan ego pribadi, golongan, dan nuansa sekterian lainnya.

Tetapi kita ingin tetap menjaga marwah ulama, penjaga moral yang selalu siap untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar.

Dengan terus berusaha menebar kasih sayang ajaran sang Nabi yang mulia Muhammad SAW., yang oleh DR. Syafii Antonio menyebut ajarannya berdimensi rahmatan li al-‘alamin, universal, accepted dan proven.

Baca Juga: 10 Bulan Pandemi Covid-19, Pemerintah Terus Kerja Keras dan Upayakan Pengadaan Vaksin

Hubungan NU dan MUI tidak harmonis?

Yahya Ansori menulis selama beberapa tahun hubungan NU dan MUI kurang harmonis. Saya tidak paham analisis ini dari mana asalnya, padahal sejauh pengamatan saya pengurus MUI adalah kumpulan para ulama dan harus jujur diakui nota-bene komposisi kepengurusan lebih banyak dari kalangan ulama NU dibandingkan dengan ormas keagamaan lainnya.

Kultur, program dan pendekatan kegiatan lebih banyak diwarnai oleh ulama-ulama dari kalangan NU, sebut saja misalnya program  unggulan MUI Kab. Indramayu salah satunya ba’tsul masail yang dilakukan secara konsisten 3  (tiga) bulan sekali adalah kultur NU yang terus dilestarikan, belum lagi program lainnya.

Para ulama yang ada di jajaran pengurus MUI Indramayu adalah alumni pesantren yang kental dengan literatur kitab kuning dan sarung-nya, belum lagi para ulama yang ada di kepengurusan MUI kecamatan.

Baca Juga: Ini Kata Kemendikbud Soal Prioritas Pola Pembelajaran

Lalu logika yang dibangun dari mana ketika mengatakan NU-MUI tidak harmonis? Atau hanya karena definisi yang disebut warga NU adalah mereka yang tergabung secara struktur organisasional di NU Indramayu? Sementara para ulama yang tidak masuk kepengurusan—sebut saja ulama kultural yang secara harakah, fikrah dan amaliah jelas-jelas sejalan dengan tiga pilar tersebut dalam ber-NU—tidak disebut warga NU Indramayu? Cara berpikir yang seperti ini yang membahayakan keutuhan dan kemuliaan NU Indramayu, saya sangat hawatir orang-orang semacam Yahya Ansori dengan cara berpikir parsial dan menjadi pembisik yang tidak holistik dan menjadi “duri dalam daging” kepengurusan NU Indramayu termasuk ketulusan Ketua umum-nya.

Sikap dan pemikiran yang arogan dan selalu dipertontonkan berangkat dari rasa ‘hasud’ dengan merasa paling benar sendiri, mem-bully ulama terutama menyikapi keputusan-keputusan ketua umum, KH. Moh. Syathori SH.I., MA., tidak hanya secara organisasi tetapi sudah pada tataran pribadi, pembunuhan karakter.

Baca Juga: Wisatawan Bromo Wajib Tunjukan Hasil Rapid Test Antigen

Ulama dan Politik

Dengan mengutip pandangan Martin Van Bruinessen sering kali terjadi tarik ulur antara muslim dan negara.

Pada masa orde Baru Islam dengan para ulamanya menjadi kartu penting—bahkan legitimasi politik—yang selalu diperebutkan. Negara melalui MUI, Kementerian Agama, dan organisasi ICMI berusaha mengkooptasi dan menjadikan Islam sebagai legitimasi kekuasaan dan tarik ulur ini tetap berlangsung sampai sekarang.

Hubungan ulama dan umara di Indonesia pada pandangan Martin selalu bersifat ambivalen. Pada satu sisi, ulama—paling tidak dalam tradisi sunni—senantiasa memberikan legitimasi keagamaan kepada pemegang kekuasaan de facto (alias waliul amri bisy syaukah, menurut ulama Indonesia tahun 1950-an).

Baca Juga: DPR RI : Pemerintah Malaysia Harus Menangkap Pelaku Parodi Lagu Indonesia Raya

Pada konteks ini Jokowi dengan menggandeng KH. Ma’ruf  Amin di samping untuk menggaet massa ummat Islam terutama dari kalangan NU juga untuk melakukan legitimasi.

Di sisi lain, juga ada pandangan umum bahwa kekuasaan itu cenderung korup dan berdekatan dengan mereka yang berkuasa akan merusak karakter moral ulama dan integritas ajaran mereka.

Dalam konteks Indramayu dan tempat lain memang situasinya tidak berbeda, sering kali ulama menjadi ‘alat legitimasi’. Lalu tentang keterlibatan KH. Moh. Syathori, SH.I., MA., untuk berkontestasi dalam perpolitikan di Indramayu adalah hak pribadi termasuk dukungannya terhadap salah satu calon bupati.

Baca Juga: Mulai 1 Januari 2021 Indonesia Tutup Pintu Masuk bagi WNA dari Semua Negara, Kecuali Ini

Sepengetahuan saya tidak ada secara tertulis, organisasi MUI untuk mendukung salah satu calon bupati dan terlalu jauh dalam ranah politik. Hal ini sama dengan keikutsertaan berkontestasinya H. Juhadi Muhammad, SH., sebagai salah satu bakal calon yang ingin diusung oleh Parpol secara pribadi, dan tidak membawa-bawa gerbong NU Indramayu untuk mendukung salah satu calon bupati.

Yahya Ansori mengetahui betul persoalan ini, kenapa ini tidak dipersoalkan? Walau juga dalam sebuah acara di depan Gedung dakwah NU Indramayu, NU sebagai sebuah organisasi berusaha untuk ditarik-tarik dalam wilayah politik.

Baca Juga: Innalillahi, NU Kehilangan 234 Kiai Selama Masa Pandemi Covid-19

Ulama Lain

Kyai berbasis pesantren tentu saja, bukan satu-satunya jenis ulama di Indonesia—walau merekalah kelompok yang paling mudah diidentifikasi—sebagai ulama.

Membatasi pembahasan mengenai ulama dan politik hanya kepada ulama NU akan berakibat terabaikannya perkembangan-perkembangan yang sangat urgent sejarah Islam Indonesia mutakhir.

Jika kita mendefinisikan ulama dengan meminjam bahasa Martin dengan “orang-orang (laki-laki maupun perempuan) yang memiliki pengetahuan agama dan dalam berbagai bentuknya, melayani kebutuhan spiritual ummat”. Maka ada begitu banyak ragam ulama dengan fungsi-fungsinya yang berbeda dalam hubungannya dengan masalah politik.

Baca Juga: Lansia Harus Mulai Tolak Makanan Siap Saji, Berhenti Merokok dan Perbanyak Air Putih

Dalam sejarah Jawa abad ke-19 ada dichotomi sederhana. Pertama, ulama pemerintah (penghulu) yang menjalankan tugasnya di pengadilan atau pusat pemerintahan sebagai hakim, pengurus masjid dan lainnya.

Kedua, para guru independen (kyai pesantren dan dai keliling) yang lazimnya secara hati-hati menjaga jarak geografis dan sosial dengan pemerintah.

Wallahu a’lam bi al-shawab

*)Penulis adalah mantan aktivis PMII Ciputat dan Pengurus GP. Anshar Indramayu tinggal di Kandanghaur Indramayu

Editor: Andra Adyatama

Tags

Terkini

Terpopuler