Menjaga Marwah Ulama (Tanggapan terhadap Tulisan Yahya Ansori; Hasil Musda Indramayu)

- 29 Desember 2020, 06:51 WIB
Dr H Masduki Duryat MPdI
Dr H Masduki Duryat MPdI /

Para ulama yang ada di jajaran pengurus MUI Indramayu adalah alumni pesantren yang kental dengan literatur kitab kuning dan sarung-nya, belum lagi para ulama yang ada di kepengurusan MUI kecamatan.

Baca Juga: Ini Kata Kemendikbud Soal Prioritas Pola Pembelajaran

Lalu logika yang dibangun dari mana ketika mengatakan NU-MUI tidak harmonis? Atau hanya karena definisi yang disebut warga NU adalah mereka yang tergabung secara struktur organisasional di NU Indramayu? Sementara para ulama yang tidak masuk kepengurusan—sebut saja ulama kultural yang secara harakah, fikrah dan amaliah jelas-jelas sejalan dengan tiga pilar tersebut dalam ber-NU—tidak disebut warga NU Indramayu? Cara berpikir yang seperti ini yang membahayakan keutuhan dan kemuliaan NU Indramayu, saya sangat hawatir orang-orang semacam Yahya Ansori dengan cara berpikir parsial dan menjadi pembisik yang tidak holistik dan menjadi “duri dalam daging” kepengurusan NU Indramayu termasuk ketulusan Ketua umum-nya.

Sikap dan pemikiran yang arogan dan selalu dipertontonkan berangkat dari rasa ‘hasud’ dengan merasa paling benar sendiri, mem-bully ulama terutama menyikapi keputusan-keputusan ketua umum, KH. Moh. Syathori SH.I., MA., tidak hanya secara organisasi tetapi sudah pada tataran pribadi, pembunuhan karakter.

Baca Juga: Wisatawan Bromo Wajib Tunjukan Hasil Rapid Test Antigen

Ulama dan Politik

Dengan mengutip pandangan Martin Van Bruinessen sering kali terjadi tarik ulur antara muslim dan negara.

Pada masa orde Baru Islam dengan para ulamanya menjadi kartu penting—bahkan legitimasi politik—yang selalu diperebutkan. Negara melalui MUI, Kementerian Agama, dan organisasi ICMI berusaha mengkooptasi dan menjadikan Islam sebagai legitimasi kekuasaan dan tarik ulur ini tetap berlangsung sampai sekarang.

Hubungan ulama dan umara di Indonesia pada pandangan Martin selalu bersifat ambivalen. Pada satu sisi, ulama—paling tidak dalam tradisi sunni—senantiasa memberikan legitimasi keagamaan kepada pemegang kekuasaan de facto (alias waliul amri bisy syaukah, menurut ulama Indonesia tahun 1950-an).

Baca Juga: DPR RI : Pemerintah Malaysia Harus Menangkap Pelaku Parodi Lagu Indonesia Raya

Halaman:

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah