Menjaga Marwah Ulama (Tanggapan terhadap Tulisan Yahya Ansori; Hasil Musda Indramayu)

- 29 Desember 2020, 06:51 WIB
Dr H Masduki Duryat MPdI
Dr H Masduki Duryat MPdI /

Pada konteks ini Jokowi dengan menggandeng KH. Ma’ruf  Amin di samping untuk menggaet massa ummat Islam terutama dari kalangan NU juga untuk melakukan legitimasi.

Di sisi lain, juga ada pandangan umum bahwa kekuasaan itu cenderung korup dan berdekatan dengan mereka yang berkuasa akan merusak karakter moral ulama dan integritas ajaran mereka.

Dalam konteks Indramayu dan tempat lain memang situasinya tidak berbeda, sering kali ulama menjadi ‘alat legitimasi’. Lalu tentang keterlibatan KH. Moh. Syathori, SH.I., MA., untuk berkontestasi dalam perpolitikan di Indramayu adalah hak pribadi termasuk dukungannya terhadap salah satu calon bupati.

Baca Juga: Mulai 1 Januari 2021 Indonesia Tutup Pintu Masuk bagi WNA dari Semua Negara, Kecuali Ini

Sepengetahuan saya tidak ada secara tertulis, organisasi MUI untuk mendukung salah satu calon bupati dan terlalu jauh dalam ranah politik. Hal ini sama dengan keikutsertaan berkontestasinya H. Juhadi Muhammad, SH., sebagai salah satu bakal calon yang ingin diusung oleh Parpol secara pribadi, dan tidak membawa-bawa gerbong NU Indramayu untuk mendukung salah satu calon bupati.

Yahya Ansori mengetahui betul persoalan ini, kenapa ini tidak dipersoalkan? Walau juga dalam sebuah acara di depan Gedung dakwah NU Indramayu, NU sebagai sebuah organisasi berusaha untuk ditarik-tarik dalam wilayah politik.

Baca Juga: Innalillahi, NU Kehilangan 234 Kiai Selama Masa Pandemi Covid-19

Ulama Lain

Kyai berbasis pesantren tentu saja, bukan satu-satunya jenis ulama di Indonesia—walau merekalah kelompok yang paling mudah diidentifikasi—sebagai ulama.

Membatasi pembahasan mengenai ulama dan politik hanya kepada ulama NU akan berakibat terabaikannya perkembangan-perkembangan yang sangat urgent sejarah Islam Indonesia mutakhir.

Halaman:

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah