Prophetic Leadership

23 Februari 2021, 14:57 WIB
Dr H Masduki Duryat MPdI /

Oleh: Masduki Duryat (Dewan Pakar Pergunu Indramayu)

Bahwa para Nabi dan Rasul utusan Allah adalah sebuah kebenaran yang tak terbantahkan—termasuk Nabi Muhammad SAW.—yang dalam konteks al-Quran disebut sebagai uswatun hasanah, teladan, proto type bagi ummatnya termasuk dalam konteks kepemimpinan.

Sehingga jika sebagai teladan, maka bisa diadaptasi—walau tidak sesempurna apa yang dilakukan oleh Nabi—misalnya ini dilakukan oleh khulafaur Rasyidin dan juga Umar bin Abdul Aziz.

Prophetic; Dimensi Makna

Profetik berasal dari bahasa Inggris prophet yang berarti Nabi atau Rasul. Sedangkan profetik berasal dari kata sifat prophetic yang berarti profetik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang bersifat profetik. Paradigma kepemimpinan profetik merupakan paradigma kepemimpinan yang mengacu pada konsep kepemimpinan para nabi atau Rasul Allah SWT.

Baca Juga: Edhy Prabowo Siap Dihukum Mati, Begini Tanggapan KPK

Nabi merupakan orang yang menjadi pilihan Allah yang diberi kitab, hikmah serta kemampuan untuk berkomunikasi dengan-Nya, dengan malaikat-Nya, serta kemampuan untuk mengimplementasikan kitab tersebut baik untuk diri pribadi maupun untuk umat manusia dan lingkungannya.

Pada pandangan Moejiono tujuan utama atau tugas utama dari profetik adalah untuk mengajarkan kepada manusia mana cara mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat.

Agar manusia bisa mendapatkan kebahagiaan, Nabi mengajarkan kepada manusia tentang keyakinan yang benar, tata-cara hidup bermasyarakat serta menuntun manusia untuk mengetahui hukum baik buruk sekaligus memberikan teladan kepada mereka agar dapat melaksanakan hukum-hukum terebut. Mereka tidak hanya memberikan pelajaran yang baik tetapi juga teladan yang baik.

Baca Juga: Kemensos: Tidak Ada Anggaran Santunan Korban Covid-19 Pada 2021

Gagasan kepemimpinan profetik dimaksudkan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain mencapai tujuan sebagaimana yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul. Karakter profetik yang menjadi pembeda dengan jenis kepemimpinan lainnya, merujuk pada bentuk-bentuk sikap dan perilaku kepemimpinan yang sudah diteladankan oleh Rasulullah (Nabi Muhammad SAW).

Karakter tersebut merupakan bentuk realisasi dari apa yang terkandung dalam ayat-ayat suci Alquran. Dengan demikian, kepemimpinan profetik adalah sebuah paradigma kepemimpinan yang memunculkan nilai-nilai profetik (Al-quran dan Sunnah Rasulullah) untuk mewujudkan tujuan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.

Kepemimpinan Profetik; Dimensi Nilai

Di tengah terbelenggunya nilai-nilai kemanusiaan akibat kecenderungan masyarakat Barat yang mendewakan rasio dan anti ketuhanan, Islam hadir dengan pengakuannya akan eksistensi wahyu yang dibawa oleh seorang nabi.

Baca Juga: Penahanan Mantan Menteri Edhy Prabowo Diperpanjang Selama 30 Hari

Wahyu menjadi sumber pengetahuan bagi umat Islam dan nabi merupakan penjelas melalui ucapan sikap dan perbuatannya. Wajar jika masyarakat muslim menjadikan misi profetik sebagai petunjuk arah transformasi dalam kehidupan mereka.

Seorang cendekiawan muslim Kuntowijoyo menangkap misi profetik ini, dan merumuskan sebuah konsep yang disebut Ilmu Sosial Profetik. Menurut Kuntowijoyo, terdapat tiga cita-cita profetik hakikatnya merupakan misi historis Islam seperti dilakukan nabi sebagai sebagai misi profetisnya. Ketiga cita-cita tersebut yaitu: humanisasi atau emansipasi, liberasi, transendensi. Konsep ini muncul dari penafsiran beliau atas surah Āli Imrān (3): 110 berikut.

“Kalian adalah umat terbaik yang terlahir untuk manusia, menyuruh berbuat kebaikan, dan melaran dari kejahatan, dan beriman kepada Allah.Jika ahlul Kitab (semua) beriman, pasti itu baik bagi mereka, sebagian dari mereka ada yang beriman, namun kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Baca Juga: Wapres Berharap Masjid Jadi Tempat Pelestarian Islam Moderat

Dari ayat tersebut dipetakan tiga nilai landasan profetik; Pertama, humanisasi atau emansipasi dilandasi dari kalimat ta’murūna bi al-ma'rūf . Kedua, liberasi diderivasi dari kalimat tanhā 'an al-faḥshā'i wa al-munkar; dan ketiga, transendensi diturunkan dari kalimat tu'minūna bi allāh. Ketiga nilai profetik ini dimaksudkan sebagai prasyarat menjadi umat yang terbaik (khayr ummah).

Dalam kaitannya dengan kepemimpinan profetik, ketiga nilai ini dapat menjadi landasan pemimpin dalam bersikap dan bertindak untuk mengarahkan segenap sumber daya yang dimiliki upaya mencapai tujuan.

Pertama, humanisasi dimaksudkan sebagai upaya untuk menumbuhkan rasa perikemanusiaan. Menurut Yuliharti dan Umiarso nilai humanis sejatinya ingin membawa manusia pada fitrah kediriannya sebagai makhluk spiritual. Dalam kepemimpinan profetik, seorang pemimpin perlu menekankan nilai dan perilaku humanis yang mengedepankan entitas kemanusiaan dengan tetap berusaha berpijak nilai-nilai ilahiyah.

Baca Juga: TKW Asal Cianjur Pulang Tanpa Dibayar Gaji

Dalam sebuah kegiatan manajemen, pemimpin harus tetap berpegang teguh pada kepedulian terhadap sumber daya. Sumber daya manusia tidak boleh dieksploitasi tanpa batas.

Sebaliknya, orang pemimpin yang harus dapat memfokuskan pada pemberdayaan potensi pengikut sekaligus memberikan teladan melalui perilaku-perilaku yang konstruktif, menebar kebaikan melalui amal sholeh.

Tindakan pemimpin yang memperhatikan sisi humanistik pengikutnya tercermin dari perilaku seperti adil, sabar, kasih sayang, pengertian, dan sebagainya. Sebaliknya, pemimpin harus menjauhi sikap-sikap yang tidak menghormati bawahan, membenci, mengekspoitasi dan sebagainya.

Baca Juga: 183 Hektare Lahan Budi Daya Perikanan Terdampak Banjir Indramayu Ditanggung Asuransi

Kedua, liberasi bermakna membebaskan. Kepemimpinan profetik harus memiliki sifat membebaskan atau mencegah segala tindakan yang bersifat destruktif. Pemimpin harus berupaya membebaskan manusia dari segala bentuk eksploitasi, kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan serta kezaliman.

Meski bertumpu pada kalimat―mencegah dari yang mungkar, tidak berarti pencegahan tersebut bermakna kekerasan. Pembebasan tersebut tetap harus bertumpu pada landasan nilai-nilai transedensi, yang mengedepankan kedamaian.

Pengendalian emosi menjadi hal yang penting. Hal ini telah diajarkan Rasulullah Muhammad SAW, pada saat peristiwa fatḥ Makkah. Pada saat penaklukan kota Mekah, Muhammad berusaha membebaskan kaum muslimin dari tindak kemunkaran kafir Quraisy, dengan tanpa tindak kekerasan.

Baca Juga: Tindaklanjuti Instruksi Kapolri, Seluruh Polda Bentuk Satgas Anti Mafia Tanah

Bahkan sepanjang hidup Rasulullah telah memberikan teladan kebaikan, kemanusiaan, keteguhan menepati janji, serta kebesaran jiwa yang belum pernah dicapai oleh siapapun.

Ketiga, transedensi bermakna ketuhanan. Artinya mengakui adanya otoritas Tuhan, dan mengembalikan segala urusan kepada Tuhan. Nilai ini menjadi dasar dari nilai humanis dan liberasi, agar tindakan-tindakan yang dilakukan pemimpin tidak hanya dimaksudkan untuk tujuan dunia, tetapi juga tujuan akhirat.

Kepemimpinan yang bernilai transedensi harus dapat membersihkan diri dari arus materialisme dan hedonisme. Sifat materialis dan hedonis seringkali membuat pemimpin melakukan tindakan-tindakan yang mengorbankan nilai-nilai kebajikan. Hal ini disebabkan karena terjauh dari nilai-nilai ketuhanan.

Baca Juga: Warga Cirebon Dilatih Keahlian Mencukur

Pola pikir materialistik menjadikan manusia termotivasi untuk melakukan segala cara, yang berakibat pada hilangnya nilai-nilai keadilan, keterbukaan, kebersamaan, kejujuran, empati, simpati dan sebagainya.

Ketiga nilai tersebut, telah tercermin pada diri Rasulullah SAW dalam kepemimpinannya. Muhammad SAW menjadi teladansempurna atas semua perbuatan, sikap dan perilaku yang dimilkinya. Sifat-sifat yang dimilikinya menjadikan beliau sukses baik sebagai individu maupun sebagai pemimpin.

Baca Juga: Empat Anggota Geng Motor Penganiaya Anak di Cirebon Diringkus

Empat Sifat Utama; Indikator Pemimpin

Terdapat empat sifat utama yang beliau miliki: ṣidq, amānah, tablīgh, dan faṭānah. Secara gamblang, Syams menjelaskan, ṣidq berarti benar, lurus, dan jujur. Jujur meliputi jujur kepada Tuhan, diri sendiri atau nurani, orang lain, dan jujur terhadap tugas dan tanggung jawab. Sabar dan konsisten juga termasuk ṣidq.

Amānah memiliki makna profesional, bisa dipercaya, loyalcommitted terhadap nurani, terhadap Tuhan, terhadap pemimpin, pengikut, dan rekan kerjanya, selama pimpinan, pengikut, dan rekan kerja loyal kepada Tuhannya.

Tablīgh berasal dari kata balagha yang berarti sampai, maksudnya menyampaikan informasi seperti adanya. Tablīgh dalam kepemimpinan juga bermakna open management, serta ber-amar tablīgh antara lain ialah berani menyatakan kebenaran dan bersedia mengakui kekeliruan.

Baca Juga: Lebih Dari 84 Persen Tenaga Kesehatan di Indramayu Telah Divaksin Covid-19

Apa yang benar dikatakan benar, apa yang salah dikemukakan salah. Jika tidak tahu menyatakan tidak tahu. Faṭānah berarti cerdas yang dibangun dari ketakwaan kepada Tuhan dan memiliki ketrampilan yang teruji.

Perilaku pemimpin yang faṭānah terekspresi pada etos kerja dan kinerja pemimpin yang memiliki skill yang teruji dan terampil, serta mampu untuk memecahkan masalah secara cepat dan tepat.

Impelementasi sifat-sifat Rasulullah di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Sifat tersebut merupakan satu kesatuan utuh dan saling berkaitan satu dengan lainnya. Zein mengungkapkan kesuksesan yang diraih oleh Nabi Muhammad selama kepemimpinannya diduga kuat karena pola yang dibangunnya berbasis kasih sayang.

Baca Juga: Polisi Tembak Mati Pelaku Penyanderaan Seorang Gadis Sekaligus Buronan Kasus Persetubuhan Anak di Bawah Umur

Ketika pola ini dipublikasikan orang-orang yang dekat dengannya berani mengorbankan apa saja yang mereka miliki. Datangnya Nabi Muhammad tidak hanya dirasakan oleh manusia manfaatnya bahkan makhluk- makhluk yang lain pun turut merasakan arti kasih sayang dari Nabi Muhammad SAW. Pola kepemimpinan yang berbasis kasih sayang seperti Nabi Muhammad inilah yang sudah kita rindukan selama berabad-abad.

Proses pembentukan kepemimpinan profetik, harus berawal dari kematangan keberagamaan seseorang, yang sumbernya dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan keimanan tersebut, seseorang dapat menerapkan seluruh ajaran Islam yang tertera dalam Alquran dan Hadis, yaitu ajaran tentang aqidah, ibadah, muamalah dan akhlaq.

Dengan pengimplementasian ajaran agama secara sadar dan konsisten, maka akan berdampak pada terbentuknya karakter ilahiyah (ḥabl min allāh) dan selanjutnya karakter humanis (ḥabl min al-nās) dapat meniru akhlak dan sifat-sifat Rasulullah SAW. Dengan demikian terbentuk pribadi yang taat kepada Allah sekaligus memiliki akhlak yang mulia.

Baca Juga: 12 Selebgram Dijatuhi Sanksi Akibat Langgar Prokes di Gowa

Kematangan beragama tersebut, pada akhirnya menjadikan sesorang senantiasa berusaha berkarya dengan berorientasi ibadah, sekaligus memiliki karakter serta empat sifat nabi (ṣidq, amānah, tablīgh dan faṭānah), serta memiliki akhlak humanis dan memimpin dengan hati.

Tipe kepemimpinan profetik Rasulullah SAW termasuk dalam teori kepemimpinan situasional, yang menggabungkan beberapa model kepemimpinan yaitu: otoriter, laissez faire, dan demokratis.

Baca Juga: Edhy Prabowo Siap Dihukum Mati Jika Terbukti Bersalah

Model kepemimpinan otoriter yang diterapkan Nabi sangat sesuai digunakan dalam penentuan visi perpustakaan, sedangkan model kepemimpinan laissez faire dapat digunakan sebagai pengembangan tanggung jawab serta kompetensi bawahan, serta kepemimpinan demokratis berguna untuk mencari saran dari bawahan.***

Editor: Andra Adyatama

Tags

Terkini

Terpopuler