Pendidikan di Majalengka: Beberapa Catatan Akhir Tahun 2020

- 31 Desember 2020, 19:53 WIB
Hasanudin, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Hasanudin, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon /

Sementara itu, pemerintah daerah selalu mengatakan kekurangan dana untuk memperbaiki mutu pendidikan indonesia, bisa jadi suara ini masih akan muncul sekalipun anggaran pendidikan sudah 20% dari APBN/APBD. Hal ini terjadi karena birokrasi pendidikan masih saja bersikap mubazir dengan tetap menjalankan pola penataran Guru yang tidak diperlukan, tak menyenangkan dan boros.

Disdik harus mendorong upaya murah untuk memperbaiki mutu guru, salah satunya dengan mengumpulkan praktisi terbaik persekolahan dan menugasi mereka melatih guru dengan skenario pelatihan yang menyenangkan dan sesuai konteks lokal serta mendayagunakan sumber daya lokal.

Baca Juga: Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil Punya Jurus Kendalikan Covid-19 Saat Libur Akkhir Tahun

Peningkatan mutu guru sebagaimana diamanatkan dalam UUGD harus dilaksanakan dengan konsisten dan terbuka. Jika kontrol lemah, ijasah D4 dan S1 bodong akan beredar luas dan pemegangnya berhak ikuti pendidikan profesi.

Jika mutu pendidikan profesi buruk, bagaimana mungkin kita yakin lulusannya bermutu? Rakyat berhak menuntut, karena Guru PNS yang akan dididik itu dibayar dengan anggaran negara yang dikumpulkan dari memungut pajak dari rakyat.

Masih banyak sekolah yang gagap dengan Kurikulum 2013. Jika kurikulum ini masih tetap tidak tersosialisasikan dengan baik dan tidak dikontrol tuntas dalam pelaksanaannya, pengurangan beban kurikulum dan implementasinya, sudah pasti akan membingungkan guru dan kepsek yang cenderung koruptif, perilaku terang terangan menjual buku di sekolahpun tidak ditindak tegas, meskipun jelas menyalahi aturan mendiknas.

Baca Juga: Didorong Stimulus Fiskal AS, Nilai Tukar Rupiah Menguat Sampai 80 Poin

PARTISIPASI PUBLIK & PENDANAAN

Kerangka berpikir birokrasi pendidikan yang masih berorientasi biaya (cost centered), menjadikan berapa pun anggaran yang tersedia selalu tidak cukup dan habis dibelanjakan. Padahal, jika mampu mendayagunakan potensi pebisnis yang sedang trendy dengan pola tanggung jawab sosialnya (Corporate Social Responsibility- CSR), maka banyak sekali kekurangan dana pendidikan tertutupi.

Pemerintah harus mendorong DPR dan otoritas Keuangan untuk mengolah UU Pajak agar "fasilitas" pajak dapat dipakai sebagai insentif agar perusahaan mau membantu pendidikan, apalagi UU Perseroan Terbatas (PT) yang baru sudah mewajibkan setiap perusahaan menyetorkan sebagian dananya untuk CSR.

Halaman:

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah