Mengenal Sosok Jamaluddin Al Afghani, Pembaharu dan Pendiri Pan Islamisme

27 Agustus 2022, 06:35 WIB
Mengenal Sosok Jamaluddin Al Afghani, Pembaharu dan Pendiri Pan-Islamisme /Youtube/Humor Sufi Official

PORTAL MAJALENGKA - Jamaluddin Al Afghani lahir di As'adabad, dekat Kanar, di distrik Kabul, Afghanistan pada tahun 1838 M/1254 H.

Jamaluddin Al Afghani memiliki hubungan darah dengan Husain bin Ali melalui jalur nasab At-Tirmidzi, seorang ahli hadits yang terkenal.

Keluarganya mengikuti madzhab Hanafi. Di usia 18 tahun, Jamaluddin Al Afghani dibesarkan dan belajar di Kabul.

Baca Juga: Mengenal Imam Hanafi, Sosok Pendiri Madzhab Hanafi

Pada usia remaja ini, ia sangat tertarik kepada studi filsafat dan matematika. Ia lalu pergi ke India pada usianya yang ke-19 tahun.

Di sini ia mempunyai kontak penting pertama Al Afghani dengan pemikiran Barat yang ada di India.

Menurut seorang murid Arab, di India inilah Al Afghani menjadi skeptis terhadap segenap agama positif, yang dilihatnya. Terutama sebagai sarana penghibur atas kematian dan problem yang lain di dunia ini.

Baca Juga: Mungkinkah Manusia Bisa Menipu Tuhan? Begini Jawaban Abu Nawas

Setelah itu kemudian ia pergi haji ke Mekkah. Lalu meneruskan perjalanannya ke kota-kota suci Syi'ah, ke Istanbul, maupun di Afghanistan.

Ia mampu menunjukan pemikiran-pemikirannya yang progresif dan menembus kalangan tinggi di dua negara yang dikunjunginya tersebut.

Di berbagai tempat, ia selalu memuji pembaruan yang bersifat pembaratan dan mendesak kaum muslimin agar mencontoh "bangsa Barat yang berperadaban itu".

Baca Juga: Telur Rebus Sangat Baik untuk Pengidap Anemia

Selain itu Al Afghani juga memulai mengemukakan ide-ide pembaruannya yang banyak bertitik tolak pada pemikiran untuk memperkuat kaum muslimin serta meninggalkan intelektual dam kesadaran mereka.

Kurang lebih 8 tahun Al Afghani menggerakan kesadaran politik masyarakat Mesir. Khususnya di kalangan pemudanya.

Menjelang akhir tahun 1879, kerinduan dan rasa tanggung jawab untuk melakukan hal yang sama bagi masyarakat India, memaksanya untuk kembali ke sana.

Baca Juga: GUS MUWAFIQ Bongkar Rahasia, Mengapa Jasad Rasulullah Tidak Langsung Dimakamkan Selama 3 Hari

Mulanya ia tinggal di Hegderabad, kemudian di Kalkuta. Sebagaimana kedatangannya yang kedua, kali ini pun ia mendapat pengawasan yang sangat ketat dari pemerintah kolonial Inggris.

Sungguh pun demikian, kali ini ia berjuang menggerakan kesadaran politik masyarakat India. Pada 1883, ia berangkat ke Amerika dan menetap disana selama beberapa bulan, kemudian ia pergi ke London, Inggris.

Dari London, pada awal September tahun 1883, ia menuju Paris, Prancis. Di sana ia bekerja sama dengan muridnya, Muhammad Abduh, yang baru saja datang dari tempat pengasingannya selama tiga tahun di Beirut.

Baca Juga: Abu Nawas Ikut Turnamen Tinju Kelas Berat, Apa yang Terjadi?

Di tahun 1889, Al Afghanu diundang ke Persia untuk suatu urusan sengketa politik antara Persia dengan Rusia.

Bersamaan dengan itu, Al Afghani melihat ketidakberesan politik dalam negeri Persia sendiri. Karenanya, ia menganjurkan perombakan sistem politiknya yang masih otokratis.

Pada 1892, undangan yang sama datang dari penguasa Turki, Sultan Abdul Hamid, untuk kepentingan politik Islam Istanbul dalam menghadapi Eropa.

Baca Juga: BERAPA TINGGI Tubuh Nabi Adam AS, Gus Muwafiq Ceritakan Sejarahnya

Menurutnya, sebelum menangani politik luar negeri harus dibenahi dahulu sistem politik dalam negerinya. Ini membuktikan pandangan politik Afghani yang sangat demokraris tidak bertemu dengan kepentingan politik sultan yang sangat otokratis.

Sejak saat itu, sampai akhir hayatnya, 9 Maret 1897, Al Afghani dicabut izin ke luar negerinya.

Al Afghani adalah seorang tokoh pembaharuan politik. Ia bukan saja menentang kolonialisme politik Barat, melainkan juga sistem politik otokratis yang dianut negara-negara Islam.

Baca Juga: Abu Nawas Gagal Dihukum Mati karena Caranya Membunuh Ayam

Menurutnya, melawan kekuatan asing masyarakat dunia Islam terlebih dahulu harus dibebaskan dari belenggu tradisionalisme politik dan budaya. Termasuk sistem pemahaman dan sikap keberagamannya.

Kemudian, masyarakat dunia Islam harus menyatukan pandangan ideologi politiknya yang terkenal dengan sebutan Pan-Islamisme. Namun sayangnya gagasan Pan Islamisme ini tidak berhasil.***

Editor: Husain Ali

Sumber: Buku 125 Ilmuan Muslim Pengukir Sejarah

Tags

Terkini

Terpopuler