Mengenal Lebih Dekat Ibnu Arabi, Sosok Sufi Masyhur Perintis Faham Wahdatul Wujud

19 Agustus 2022, 17:15 WIB
Ilustrasi Ibnu Arabi, sufi masyhur pelopor wahdatul wujud. /Pixabay/xegxef

 

PORTAL MAJALENGKA - Dia adalah Abu Bakar Muhammad bin Ali Ibn Arabi. Dia merupakan tokoh besar sufi dan perintis faham wahdatul wujud. Pengikutnya memanggil Ibnu Arabi dengan sebutan Syekh Akbar.

Ibnu Arabi lahir di Murcia, Andalucia, pada tahun 1164 M (560 H). Dia dilahirkan dari keluarga yang sholeh, kedua pamannya termasuk golongan sufi. Pada tahun 1172 M (568 H), karena situasi yang memburuk di Murcia, dia pindah ke Seville.

Di Seville, selain selalu dibimbing oleh ayahnya, Ibnu Arabi tekun sekali mempelajari ilmu-ilmu keislaman, seperti tafsir, hadits, fiqh, teologi dan tasawuf pada sejumlah ulama.

Baca Juga: Mengenal Sosok Al-Kindi, Filosof Penggerak dan Pengembang Ilmu Pengetahuan

Dalam rangka memperluas ilmu dan pengalamannya, sejak usia 30 tahun dia sering melakukan kunjungan ke berbagai negeri untuk berjumpa dan berguru pada semua guru yang hidup di Spanyol, Maroko, Al-Jazair dan Tunisia.

Diceritakan dia berjumpa dengan Ibnu Tusyid (seorang filosof yang sedang bertugas sebagai hakim kepala di Kordoba), dan juga belajar pada syekh Abu Madyan di Tlemcen Al-Jazair.

Sejak 1201 M, dia mulai meninggalkan dunia Islam di bagian Barat dan melakukan perjalanan ke negara-negara Islam di belahan Timur seperti Mesir, Hijaz, Iral, Asia kecil dan Syam.

Setelahnya dia menetap di Damaskus untuk menyelesaikan karyanya yang palinh penting yang berjudul Futuhat al-Makkiyah yang menghimpun berbagai pengetahuan tentang kesufian dalam 560 bab.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Imam Sibawayh, Ilmuwan Ahli Gramatika Bahasa Arab

Ibnu Arabi telah meninggalkan beberapa tulisan untuk generasi sekarang yang jumlahmya 400 eksemplar, akan tetapi yang sampai hanya setengahnya. Dia bukan hanya seorang penulis, melainkan juga seorang penyair yang sangat baik.

Yang paling memenuhi fikiran Ibnu Arabi adalah sifat wujud dan hubungan antara wujud yang mungkin (alam semesta) dan wujud yang wajib (Allah). Lautan wujud yang bergelora ini tidak ada ujungnya.

Wujud yang bisa dicitra oleh indera manusia ialah merupakan riak-riak gelombang yang nampak dipermukaan, pemandangan luar dari zat Allah. Tuhan, menurut Ibn Arabi, bukanlah seperti oleh yang digambarkan oleh manusia dalam bentuk yanh macam-macam sesuai dengan kepercayaan agama mereka.

Mereka mencampakan sifat-sifat dari-Nya semau akal dan hati mereka. Tuhan menurut berbagai kepercayaan itu dalam pandangan Ibn Arabi adalah yang menciptakan manusia, yang digambarkan oleh setiap orang yang menganut kepercayaan itu, sesuai dengan kesiapan ilmu dan perkembangan ruhaniyahnya.

Baca Juga: Mengenal Sosok Hafizh Al-Syirazi, Sang Penyair Persia Kaliber Internasional Abad XIII

Tuhan yang benar tidak memiliki bentuk tertentu, yang tidak bisa dibatasi oleh akal, karena pada hakikatnya yang disembah itu berada pada diri penyembah.

Logika penyatuan wujud (wahdatul wujud) menurut Ibnu Arabi akan menghilangkan esensi agama apapun yang diturunkan, yang akan menghilangkan tanda-tanda ketuhanan yang diketahui oleh orang awam.

Namun, Ibnu Arabi tidak ingin merusak kesan tersebut. Dia menghancurkan satu sisi untuk membangun sisi yang lain. Bahkan kadang-kadang dia membangun agama yang lebih dari segi ruhaniyahnya dari puinh-puing lahiriyah syariat agama ini, menjadi sebuah agama yang lebih luas cakrawalanya dan memuaskan kebimbingan orang-orang awam dari hal-hal lahiriyah yang digambarkan oleh ahli fiqh dan orang-orang yang sangat fanatik terhadap agama mereka.

Teori Ibnu Arabi tentang insan kamil atau hakikat Muhammad membuatnya berpendapat bahwa sumber-sumber agama itu satu, yaitu hakikat Muhammad. Menurutnya, semua agama itu satu dan semuanya kepunyaan Allah.

Baca Juga: Dahsyat! Ini Alasan Abah Guru Sekumpul Selalu Menyimpan Lukisan Makam Rasulullah SAW di Rumahnya

Pendapat Ibnu Arabi ini memang berlebihan. Sebab, agama-agama beraneka ragam. Ada yang benar dan ada yang keliru. Tidak aneh, tidak aneh bila pendapat-pendapatnya sering mendapat tentangan dari Ibnu Taymiyah.

Mengenai tasawuf, Ibnu Arabi berpendapat cinta merupakan roh dari tasawuf dan landasan bersama para sufi. Pada piala cinta menurut para sufi, tersembunyi segala rahasia dan cahaya. Cinta sendiri merupakan kerinduan yang muncul dan kehausan yang abadi. Karena ia selalu timbul setiap kali nafas berdetak.

Menurutnya cintalah yang membuat diciptakannya alam semesta dan dengan cinta alam menjadi hidup. Dalam maujud ini yang ada hanyalah pencinta dan kekasihnya.  

Bahkan partikel-partikel alam semesta berpadu dan mampu bertahan hidup karena adanya cinta. Demikianlah halnya tanpa cinta jiwa terhadap tubuh, tubuh tak akan ada.

Baca Juga: Gus Dur Ditemui Wali Sakti Abu Ibrahim Woyla, Hanya Ada Satu Wali Model Begini di Indonesia

Puncak cinta menurut Ibn Arabi, adalah cinta Ilahi. Karena cinta inilah seluruh daya tenaga luruh dan sang Pencipta pun lepas dari dirinya dan sirna (fana).

Inilah cirri orang-orang yang telah meraih makrifat dan membedakan mereka dari orang-orang awam. Lebih jauh lagi, dia berpendapat setiap kali cinta semakin mendalam, keimanan pun semakin mendalam.

Dan dengan cinta bisa memahami kehidupan, rahasianya, dan tujuannya. Jadi diciptakan untuk beribadah dan bercinta.

Sebagai seorang sufi yang bertanggung jawab membimbing umat, Ibnu Arabi banyak menuliskan nasihat atau wasiat. Dia berwasiat antara lain agar gemarlah membaca Alquran dan memperhatikan maksudnya, seperti bagaimana Tuhan memberikan sifat-sifat kepada hamba-hamba-Nya yang jahat suoaya dijauhi dan tidak dicontoh. *

Editor: Ayi Abdullah

Sumber: Buku 125 Ilmuan Muslim Pengukir Sejarah

Tags

Terkini

Terpopuler