Dimensi Cinta; Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW (Refleksi Peringatan Maulid Nabi)

- 28 Oktober 2020, 13:26 WIB
Dr H Masduki Duryat MPdI
Dr H Masduki Duryat MPdI /

“Kau terlambat”. “Aku nyaris tak sampai,” jawab Kelinci dengan tenang dan pasti. “Kami diserang di perjalanan”. “Kami, kami, siapa?”. “Yah, hewan-hewan yang mengirimku berpikir bahwa binatang seukuranku tak akan kenyang bila hanya memangsa satu kelinci yang kurus kering ini. Mereka megirim dua supaya perutmu kenyang”. “Lantas di mana temanmu?” “Kami sedang di perjalanan, ketika mendadak kami diserang oleh seekor …” “Seekor apa?” “Seekor Singa”.

Betapa kagetnya sang Singa, raja hutan itu, mendengar adanya Singa lain. Ia mengaum dalam kemurkaan dan kemarahan. Kemarahan memuncak ketika mendengar penjelasan bahwa Singa lain itu, sangat besar dan garang. “Aku akan membunuhnya, betapa kurang ajarnya dia,” kata Singa yang bermuka merah, karena marah. Sang Singa meminta Kelinci menunjukkan di manakah Singa lain itu, dan Kelinci pun menjawab, hingga ke tepi sebuah sumur. “Di mana Singa itu?” “Di sana, di dalam sumur itu!” “apa? Di dalam sumur? Apa kau coba menjebakku? “Kau mau coba mendorongku agar jatuh ke dalam sumur?” Singa menaruh curiga. Kelinci pun gemetar ketakutan, tetapi ia menahan diri, dengan mengatakan bahwa ia sungguh-sungguh”.

Baca Juga: Rencana Mini Lockdown Kabupaten Bandung

“Aku bersumpah padamu, ia benar-benar ada di dalam sumur itu. Coba lihat sendiri,” tukas Kelinci. Dan Singapun menyanggupi. Begitu ia mengintip ke dalam sumur, bepata kagetnya ia. Ada seekor Singa yang garang di dalamnya. “Lihat! itu dia! Serang sebelum ia menerkam kita!” Dan Singa pun dengan kemarahannya menerkam Singa di dalam sumur, yang tak lain adalah bayangannya itu.

Alfan Alfian kembali menegaskan dengan ilustrasi di atas, bahwa kemarahan pada ahirnya akan dikalahkan oleh kelihaian. Kedamaian diciptakan dengan ketulusan. Dalam demokrasi ada prinsip cheks and balances, justru untuk mencegah penguasa dzalim.

Baca Juga: Saatnya Majalengka Berlari Maju, Mengejar Ketertinggalan

Penutup

Ketulusan inilah yang difragmentasikan Nabi dalam kepemimpinannya, sehingga menjelang akhir hayatnya masih menyebut “ummatku, ummatku, ummatku”. Masihkah meragukan kemuliaan akhlaq Nabi yang Allah menyebutnya di dalam al-Quran dengan “Wa innaka la’alaa khuluqin ‘adhim”.

Wallahu a’la, bi al-Shawab

***Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu

Halaman:

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah