Pemilihan Kuwu dan Politik Uang; Sebuah Pembelajaran Politik

- 12 Februari 2021, 07:42 WIB
Dr H Masduki Duryat MPdI
Dr H Masduki Duryat MPdI /

Oleh: Dr. H. Masduki Duryat, M. Pd.I

(Dewan Pakar Pergunu Indramayu)

Pemilihan kuwu serentak di Indramayu yang dilakukan secara periodik dan tahun ini akan dilaksanakan pada 2 Juni 2021 merupakan pesta demokrasi secara langsung, tertua sebelum pelaksanaan pemilihan Presiden secara langsung.

Sebuah pembelajaran politik yang berharga dalam hal kebebasan untuk dipilih dan memilih. Tetapi pada tataran implementatif sangat disayangkan masih terjadi pelanggaran politik uang, pragmatis dan transaksional.

Padahal secara filosofis munculnya gagasan agar dana pemilihan kuwu dibebankan kepada APBD Kabupaten sejatinya adalah agar mampu memunculkan pemimpin-pemimpin yang kompeten, kredibel dan bermutu dari sisi leadership sementara terkendala pada aspek finansial.

Baca Juga: Banjir Ciayumaja dan Subang Mengundang Aksi Kemanusiaan, PMII Cirebon Galang Dana untuk Korban

Dari sini semua masyarakat memiliki peluang yang sama—tidak hanya mereka yang memiliki kapital—untuk menjadi kuwu dengan niat membangun dan mengabdi kepada desanya bukan uang an sich yang menjadi the ultimate goalnya.

Pada konteks ini pula pendidikan politik sedemikian urgent kepada masyarakat, sehingga keinginan untuk memunculkan pemimpin yang diidealkan akan mewujud dalam realitas.

Pemilihan Kuwu; Sebuah Aktivitas Politik

Aktivitas pemilihan kuwu merupakan aktivitas politik yang menunjukkan terjadinya sebuah proses demokratisasi di desa. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh  Wasistiono misalnya menyatakan pemilihan kuwu tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dinamika politik yang terjadi di desa.

Baca Juga: Tahun Ini Toyota Luncurkan 2 Mobil Listrik Bertenaga Baterai

Pemilihan kuwu tidak hanya perebutan kekuasaan atau bagaimana strategi kampanye dilakukan agar mendapatkan dukungan dari masyarakat desa.

Tetapi lebih daripada itu menyangkut gengsi, harga diri, dan kehormatan sehingga seringkali daya upaya dikerahkan semuanya—bila perlu dana yang cukup besar dan tidak sebandingkan dengan penghasilannya—yang seringkali di berbagai daerah proses pemilihan kuwu ini menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat.

Widjaja juga menyampaikan penilaiannya, desa dalam analisis politik merupakan sebuah komunitas demokratis. Sebuah komunitas masyarakat yang mendasarkan diri pada kedaulatan rakyat.

Baca Juga: Messi Gagal Dua Kali Bikin Gol ke Gawang Sevilla, Aksi Ivan Rakitic Tumbangkan Barcelona

Demokrasi desa itulah yang dianggap sebagai demokrasi “asli” yang  bisa dijadikan orientasi dalam penegembangan demokrasi modern di tingkat nasional, dengan indikator seperti musyawarah, rembug desa, dan pemilihan kuwu oleh rakyat di desa dari calon-calon yang mereka tunjuk sendiri.

Pada pandangan Wasistiono, apabila pemilu merupakan pesta pemerintah, maka pemilihan kuwu merupakan pesta rakyat. Pemilihan kuwu ini merupakan kesempatan bagi rakyat untuk menunjukkan kesetiaan dan preferensi lokal mereka.

Sedangkan menurut Permendagri No. 112 tahun 2014 pasal 1(5) pemilihan kepala desa (kuwu) adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di desa dalam rangka memilih kepala desa yang bersifat langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Baca Juga: Heboh Promosi Kawin Muda di Internet, Menteri PPPA Geram Sampaikan Ini

Pemilihan kepala desa (kuwu) payung hukumnya sudah jelas diatur dalam: (1) Pasal 31-39 UU No. 6/2014; (2) Pasal 40-44 PP. 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2014 tentang desa sebagaimana telah diubah menjadi PP. 47/2015 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2014 tentang Desa;  (3) Pasal 6-44 Permendagri No. 112/2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.

Sementara itu dasar hukum pelaksanaan pemilihan kuwu serentak di Kabupaten Indramayu berdasarkan kesepakatan antara eksekutif dan legislatif yang memutuskan akan dilaksanakan pada Rabu, 2 Juni 2021 yang akan datang.

Pemilihan kuwu merupakan peristiwa politik di tingkat desa yang menunjukkan bahwa masyarakat desa merupakan masyarakat yang sudah berpolitik secara langsung sejak lama.

Baca Juga: Info Terkini Tol Cipali KM 122 yang Amblas, Polisi Lakukan Ini

Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum juga memiliki tradisi dalam menyeleksi pemimpinnya. Tradisi tersebut dari waktu ke waktu telah mengalami evolusi sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan desa itu sendiri.

Saat ini untuk melakukan seleksi pemimpin desa dilakukan dengan mekanisme pemilihan kuwu. Pemilihan kuwu meskipun dalam bentuk sederhana adalah sebuah sistem politik, yang merupakan bagian dari sistem politik lain yang lebih besar dan kompleks.

Dinamikanya sekarang—seperti diungkapkan di atas—tidak hanya persoalan maju menjadi kepala desa tetapi sudah dibalut dengan gengsi, harga diri, dan kehormatan sehingga untuk memuaskan ‘dahaga kekuasaan’ tersebut tidak segan untuk mengeluarkan cost yang sangat besar dan tidak sebanding dengan ‘penghasilannya’.

Baca Juga: BMKG: Prakiraan Cuaca Wilayah Ciayumajakuning dan Sumedang Masih Berpotensi Hujan Lebat

Politik Uang

Dinamika pemilihan kuwu yang sarat dengan gengsi—ditandai melalui politik uang—sejatinya telah menciderai proses demokrasi yang sudah sekian lama berlangsung di desa.

Bagaimana tidak, sekarang ini ada adagium—walau secara guyon disampaikan masyarakat—“wani piro?”, “berani bayar berapa perkepala?”, “kalau saya tidak ada di rumah, uangnya ditaroh saja di bawah kesed, di sini ada 4 (empat) jiwa”.

Sangat transaksional dan cenderung pragmatis. Ini yang kemudian menimbulkan sikap apatis masyarakat dan cenderung tidak kritis, “Saya melakukan ini, karena kalau sudah jadi kuwu lupa kepada masyarakatnya”, demikian yang sering kita dengar dari masyarakat di akar rumput.

Baca Juga: KRL Yogyakarta-Solo Dapat Memberikan Manfaat Ekonomi

Dampak yang lebih luas dan sistemik adalah mental balik modal, sehingga pada pandangan lain ada yang mengatakan, “kuwu kalau sudah jadi, boro-boro memikirkan kesejahteraan rakyatnya.

Pada mind-setnya adalah balik modal”. Apalagi fungsi pengawasan dari BPD juga tidak sekuat otoritas kuwu dan cenderung menjadi stempel, legitimasi kebijakan yang dilakukan kuwu.

Seperti yang diungkapkan oleh Antonio, di Indonesia untuk menjadi seorang pemimpin masuk kategori high cost, termasuk menjadi seorang kuwu. Sehingga begitu mencalonkan diri—kalau ingin jadi—akan menjadi gharimun kabir (penghutang besar) yang setelah menjabat akan berfikir balik modal.

Baca Juga: Istrinya Dilantik Jadi Wakil Bupati Cirebon, Terpidana Sunjaya Purwadisastra Diisolasi

Walau tentu tidak secara serta-merta hantam kromo semua kuwu berperilaku sama, ada di antara mereka yang dengan penuh semangat ‘mewakafkan’ diri dan waktunya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya.

Karena memiliki komitmen fungsi pemimpin—dalam Islam—adalah dua; khadim (pelayan) dan muwajjih (guide, petunjuk arah). Melayani rakyatnya dengan sepenuh jiwa raga dan menjadi petunjuk arah pada ‘jalan’ yang baik, benar dan tidak sebaliknya ‘menyesatkan’ dan menyengsarakan rakyatnya.

Paradigma seperti ini harus segera dirubah,  perlu dilakukan edukasi yang intens kepada masyarakat. Saatnya menjadi pemilih yang cerdas, rasional dan memiliki idealisme untuk memilih pemimpin yang memiliki kapasitas, mumpuni dan berkualitas.

Baca Juga: Minat Jadi Petani Milenial Jawa Barat? Ini Manfaat yang Didapat

Jika ada calon yang membagikan uang—dengan terpaksa—“Terima uangnya, jangan pilih orangnya”, karena bagi-bagi uang juga menunjukkan untuk menutupi kekurangan dan ketidakpercayaan dirinya tentang kapasitas dan kemampuan leadershipnya untuk memimpin desa.

Apalagi sejatinya sekarang memimpin desa relatif lebih mudah, karena dana desa dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah cukup melimpah. Sehingga kalau ada kuwu yang mampu membangun desa bukan merupakan peristiwa yang luar biasa dan aneh.

Yang aneh, jika ada dana yang melimpah tidak bisa membangun desa atau tidak maksimal. Di sini juga diperlukan sikap profesional dan pertanggungjawaban yang optimal, karena ciri masyarakat dan pemimpin modern—paling tidak—harus demokratis, transfaran dan accountable.

Baca Juga: Segera Daftar! Jabar Buka Seleksi Program Petani Milenial, Ini Link dan Syaratnya

Kalau boleh setback, dulu pemilihan kuwu tidak ada politik uang. Penentuan pilihan seseorang banyak dipengaruhi oleh faktor kedekatan, kekerabatan, dan hubungan emosional lainnya.

Politik uang (money politic) adalah pemberian uang atau barang, atau fasilitas tertentu, dan janji kepada orang-orang tertentu agar seseorang dapat dipilih. Secara tidak langsung politik uang dapat berbentuk pembagian hadiah atau doorprize, pembagian sembako kepada konstituen.

Politik uang dalam pemilihan memang bukan sesuatu yang baru, politik uang sudah ada pada pemilihan kepala desa (kuwu). Ini misalnya temuan yang dilakukan oleh Kartodirdjo dan Kana, politik uang digunakan sebagai taktik untuk memenangkan calon.

Baca Juga: Chacha Mantan Istri Andika Kangen Band Terseret Kasus Narkoba

Pada kasus pilkades (kuwu) menurutnya ada calon yang sampai menghabiskan Rp. 1 milyar dan distribusi politik uang kepada pemilih dalam pilkades (kuwu)pun dilakukan dengan berbagai cara.

Pada penelitian Halili, menemukan modus atau pola politik uang di pilkades (kuwu) berlangsung dengan cara; Pertama, membeli ratusan kartu suara yang disinyalir sebagai pendukung calon kuwu lawan dengan harga yang sangat mahal oleh panitia penyelenggara; Kedua, menggunakan tim sukses yang dikirim langsung kepada masyarakat untuk membagikan uang; Ketiga, serangan fajar, dan; Keempat, penggelontoran uang besar-besaran secara sporadis oleh pihak di luar kubu calon kepala desa (kuwu), yaitu bandar/pemain judi.

Politik uang dalam pilkades (kuwu) dilakukan selain oleh calon yang bersangkutan dan juga oleh orang di luar calon yakni bandar/pemain judi.

Baca Juga: Rekayasa Lalu Lintas Lawan Arah di Jalan Tol Cikopo akan Diperpendek Jadi Satu Kilometer Mulai Kamis

Penutup

Politik uang, pada pandangan Az-Zumardi masuk kategori suap (risywah) yang dalam bahasa Rasul yang mulia, “Al-Rosyi wa almurtasyi fi al-Nar”,  atau pada kata-katanya yang populer, “Law anna Fathimata binti Muhammadin Syaraqat laqatha’tuha”, sangat berbahaya bagi pelakunya dan penerimanya.

Pada dimensi hukum Indonesia, tindak pidana korupsi telah diatur pada UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang kemudian disusul  dengan lahirnya UU No. 30  tahun 2002 tentang tindak pidana korupsi.

Baca Juga: Liga Indonesia Bisa Bergulir Lagi, PSSI Minta Suporter Sepak Bola Ini

Saatnya sekarang menjadi pemilih yang cerdas dan rasional, semuanya demi kemashlahatan bersama, masyarakat yang berkeadaban.

Wallahu a’lam bi al-Shawab

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah