Logika Hukum Penolakan Peraturan Miras

3 Maret 2021, 17:00 WIB
Selamet Supiyadi /Dok. Pribadi

Oleh: Slamet Supriyadi

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Konsentrasi HTN/HAN Unissula Semarang

PERATURAN perundangan-undangan merupakan bagian dari sistem hukum di negara Indonesia sebagai rangkaian unsur-unsur hukum yang berlaku tertulis saling berkaitan dan berpengaruh serta tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dengan asas hierarki perundang-undangan yang dilandasi Pancasila dan UUD NRI 1945.

Dalam suatu perundangan-undangan setidaknya harus bisa mencakup tiga landasan nilai. Yaitu landasan filosofis, sosiologis dan yuridis.

Landasan filosofis adalah pandangan hidup suatu bangsa. Berisi nilai-nilai moral dan etika, pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi dan diyakini suatu bangsa, karena mengandung kebenaran dan keadilan untuk ditaati dan dilaksanakan.

Baca Juga: Tanggapi Investasi Minuman Keras, PBNU Ungkap Kekhawatiran Terhadap Omnibus Law

Landasan sosiologis adalah suatu peraturan yang ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini sangatlah penting agar suatu perundangan-undangan tidak hanya dilihat sebagai susunan huruf-huruf dan kalimat-kalimat belaka.

Landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan. Dasar kewenangan ini telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Dari terpenuhinya ketiga landasan tersebut maka akan tercipta suatu peraturan perundang-undangan yang mengandung kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum di dalam kehidupan masyarakat.

Baca Juga: Diprotes Keras Banyak Kalangan, Akhirnya Jokowi Cabut Perpres Investasi Miras

Presiden telah mencabut Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal sebagai aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Hal tersebut sangatlah wajar. Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia tentu masyarakatnya sangat perhatian terhadap ajaran nilai-nilai agama yang diyakininya.

Seperti adanya minuman keras adalah suatu minuman yang dilarang agama untuk dikonsumsi secara bebas dan umum di masyarakat.

Baca Juga: Tanggapi Kebijakan Investasi Miras, Abdul Mu'ti: Pemerintah Harus Dengarkan Aspirasi Umat Islam

Keyakinan akan ajaran nilai-nilai agama mayoritas masyarakat tersebut harus menjadi pertimbangan dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum dan peraturan perundang-undangan.

Indonesia adalah negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Bukan sebuah negara sekuler yang memisahkan antara urusan agama dan urusan dunia pemerintahan. Sebagai negara yang berdasarkan ketuhanan ajaran nilai-nilai agama harus menjadi ruh diberlakukannya sebuah peraturan undang-undang.

Jika menimbang manfaat dan dampak kerusakan yang timbul dari minuman keras secara logika hukum tentu saja lebih besar kerusakannya dan harus dihindarkan dari kehidupan masyarakat walaupun dengan alasan untuk kemudahan investasi. Dalam prinsip kaidah fikih disebutkan "Dar'ul mafasid aula min jalbil masholih," yang berarti: mencegah kerusakan lebih utama dari mengambil kemanfaatan.

Baca Juga: Kejanggalan Perizinan Ekspor Benih Lobster Diungkap Mantan Dirjen Perikanan Tangkap KKP

Kemudian disebutkan dalam aturan tersebut, bahwa daerah yang dibuka untuk investasi minuman keras ada empat provinsi; Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi Utara dan Papua.

Daerah lain pun bisa saja memberlakukannya bila diajukan oleh Gubernur kepada Kepala BKPM.

Tentu peluang untuk dapat membuka pabrik minuman keras bisa berdiri di wilayah provinsi di mana saja, dengan diajukannya Pergub oleh Gubernur ke Pemerintah Pusat sebagai aturan turunan dari Perpes Nomor 10 tahun 2021.

Baca Juga: Arab Saudi Hanya Terima Jemaah Haji yang Sudah Divaksin COVID-19

Selain itu dalam lampiran Perpres juga disebutkan membuka investasi untuk penjualan miras. Dalam lampiran 3 angka 44 dan 45 diatur mengenai dibukanya investasi perdagangan eceran minuman keras atau beralkohol dan perdagangan eceran kaki lima minuman keras atau beralkohol. Persyaratannya, hanya mengatakan jaringan distribusi dan tempatnya khusus.

Terbitnya aturan tersebut langsung mendapat banyak penolakan dari para tokoh masyarakat terutama organisasi besar Islam seperti NU dan Muhammadiyah.

Oleh karena itu Prof. Tjip penggagas madzhab hukum progresif mengatakan: Sejatinya bahwa Undang-undang itu sudah cacat sejak dilahirkan.***

Editor: Husain Ali

Tags

Terkini

Terpopuler