Pendidikan di Majalengka: Beberapa Catatan Akhir Tahun 2020

31 Desember 2020, 19:53 WIB
Hasanudin, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon /

Oleh: Hasanudin*

Keterpurukan pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia publik dan rangkaian permasalahan pun seolah-olah tidak pernah habis dibincangkan. Beban wajib pembelian buku yang masih terjadi dikota besar seolah menjadi masalah yang tak berujung, meskipun sudah dilarang dengan Peraturan Mendiknas.

Kita dikejutkan pula dengan adanya hiruk pikuk sertifikasi Guru, BSU Guru, dan pembelajaran daring. Sekalipun demikian, masyarakat belum melihat dengan jelas, apa cetak biru pemerintah untuk menanggulangi persoalan yang menggunung itu, harapan agar pendidikan menjadi lebih baik belum terjawab.

Sebagai pemerhati dan praktisi pendidikan yang berlatar belakang bidang teknik, penulis dan jejaring aktivis pendidikan merangkum persoalan strategis pendidikan di Indonesia khususnya di Majalengka dalam beberapa topik besar selain tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dan mengusulkan program kongkrit berjangka pendek.

Baca Juga: Deteksi Kerentanan Keluarga secara Dini Melalui Aplikasi FamLink

CACAT DALAM PERATURAN PERUNDANGAN

Undang Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas merupakan produk perundangan tentang pendidikan di Indonesia yang memiliki cakupan terluas, dibanding UU tentang Pendidikan sebelumnya, namun proses politik yang tidak mulus, membuat UU ini memiliki cukup banyak cacat isi dan ideologis sejak lahir, salah satunya adalah penetapan Majelis Taklim sebagai pendidikan non formal yang harus berijin dan sanksi tahanan 10 tahun atau denda 1 Milyar jika dilanggar.

Pasal yang belum diatur dengan PP ini harus disikapi dengan benar,jika tidak ingin menyebabkan konflik horizontal. Oleh sebab itu,UU ini wajib diperbaiki atau sedikitnya beberapa cacat UU tersebut harus dipermak didalam Peraturan Pemerintah. Beberapa Peraturan Pemerintah yg seharusnya sudah disahkan, sejak Tahun 2005, hingga saat ini belum diselesaikan.

Guru dan Tenaga Kependidikan boleh bernafas lega, karena disahkannya Undang Undang Guru dan Dosen ( UUGD ) yang berpihak kepada mereka, setidaknya yang berstatus PNS, meskipun menuntut mutu terbaik dalam mengajar dalam bentuk sertifikat kompetensi, meskipun indikator yang akan diukur masih banyak menimbulkan polemik dan belum memiliki definisi dengan jelas.

Baca Juga: 1,8 Juta Dosis Vaksin COVID-19 Sinovac Tiba di Bandara Soetta

Tetapi, UU di Indonesia terbiasa mulur mungkret, sehingga cukup banyak masalah yang disisakan dalam PP yang baru dirancang menyertainya, padahal seharusnya paling telat Tahun 2007 harus selesai.

UUGD dan rancangan PPGD yang juga masih cacat harus diperbaiki dan koreksi kembali karena masih menyisakan persoalan antara lain diskriminasi antara guru swasta dan PNS serta belum memiliki nafas selaras dengan UU no 23 Tahun 2000 tentang perlindungan anak & konvensi Hak Anak, serta pengakomodasian status guru senior yang sudah tidak mampu lagi memperoleh jenjang akademis D4/S1.

Pemerintahan juga menyisakan PR dengan terkatung-katungnya keputusan MK pasca membatalkan UU BHP yang sudah disebutkan oleh UU Sisdiknas sejak Tahun 2003, isi RUU yang menimbulkan polemik ini sangat berbahaya, jika pemerintah tidak siap menjadi regulator yang kuat dan lugas.

Keputusan Presiden 76 dan 77 tentang penanaman modal asing, mendorong pendidikan di Indonesia menjadi murni komoditas dan murni liberalisasi pendidikan yang akan menghancurkan cita cita konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Baca Juga: Punya SDM Andal, TNI Siap Diturunkan Bantu Vaksinasi Covid-19

BIROKRASI MASIH TIDAK EFEKTIF & TIDAK AKUNTABEL

Birokrasi pemerintahan, apalagi birokrasi pendidikan,masih berkerangka fikir dan bersikap dengan kerangka usang. Demi menyenangkan atasan yang mentarget kelulusan murid, masih banyak yang bersikap curang.

Pungutan liar kepada orang tua murid di tingkat SD, SMP dan pembiayaan yang kurang akuntabel dan tidak realistis di SMA/RSBI serta menjadikan Komite Sekolah sebagai kepanjangan tangan kepala sekolah untuk memungut biaya kepada orang tua murid, Dana BOS masih disunat dan lambat disalurkan jika tidak diberi uang pelicin.

Lambatnya pencairan anggaran membuat birokrasi tergesa membelanjakan dana, sehingga sangat sulit diharapkan hasil kerja bermutu tinggi. Birokrasi seperti ini, baik di Diknas Pusat dan Daerah harus ditertibkan dan dikontrol dengan ketat dan diberi sanksi yang membuat jera.

Baca Juga: Antisipasi Ancaman Keamanan Siber di Sektor Pendidikan Tahun 2021

Oleh karena saat ini sangsi Guru PNS masih sangat lemah dan tidak mendorong etos produktif, sehingga kepala sekolah dan bahkan Kepala Dinas tidak mampu berbuat apa apa jika guru dengan golongan 4 berbuat ulah, sikap paling tegas hanyalah memindahkannya ke sekolah pinggiran.

Di dunia militer, jarang sekali jabatan panglima TNI dan pangkat bintang 4 tanpa prestasi di komando teritorial, sementara itu, kepala LPMP (d/h BPG) yang sudah naik pangkat minimal jadi bintang dua, tetapi masih mempraktekkan kultur usang BPG, sehingga mustahil penataran guru in servis bisa sukses.

Dalam jangka 5 tahun Diknas harus mampu menjadikan LPMP sama bergengsinya dengan gengsi KomandoTeritorial dalam TNI dan agar bisa dilaksanakan dengan tepat, harus dibuat beberapa LPMP model untuk the best inservice training. Kepala LPMP yang sukses, berhak mendapat kredit besar menjadi calon Dirjen dimasa datang.

Baca Juga: Ini Daftar Deretan Aplikasi Populer Selama Tahun 2020, dari Zoom Sampai Among Us

Pungutan di sekolah negeri, meski sudah diatur masih tetap marak, agar Pemerintah Daerah Kabupaten Majalengka enteng, buatlah setidaknya Perda agar sekolah negeri wajib membuat laporan keuangan baku dan melaporkan pungutan tersebut kepada orangtua murid.

Hal ini wajib dilakukan, karena sekolah negeri bukan subyek audit BPK, meski mematuhi Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan hanya melaporkan UYHD (Uang Yang Harus Dipertanggung jawabkan) kepada Dinas Pendidikan setempat, sebagai unit yang menjadi subyek audit.

Sekolah swasta punya aturan jelas, mereka harus mematuhi SAK Organisasi Nirlaba (Yayasan).

Baca Juga: Disparbud Jawa Barat Siapkan Rapid Tes Antigen di Tempat Wisata

MUTU GURU

Sekitar 11.994 guru di Kab. Majalengka, 7.571 merupakan guru SD/MI dan kurang dari 50% yang layak mengajar, sementara sisanya guru SMP/MTs dan guru SMA/SMK/MA hanya 65% yang layak mengajar ( BKD Kab. Majalengka tahun 2012 ).

Sementara itu, pemerintah daerah selalu mengatakan kekurangan dana untuk memperbaiki mutu pendidikan indonesia, bisa jadi suara ini masih akan muncul sekalipun anggaran pendidikan sudah 20% dari APBN/APBD. Hal ini terjadi karena birokrasi pendidikan masih saja bersikap mubazir dengan tetap menjalankan pola penataran Guru yang tidak diperlukan, tak menyenangkan dan boros.

Disdik harus mendorong upaya murah untuk memperbaiki mutu guru, salah satunya dengan mengumpulkan praktisi terbaik persekolahan dan menugasi mereka melatih guru dengan skenario pelatihan yang menyenangkan dan sesuai konteks lokal serta mendayagunakan sumber daya lokal.

Baca Juga: Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil Punya Jurus Kendalikan Covid-19 Saat Libur Akkhir Tahun

Peningkatan mutu guru sebagaimana diamanatkan dalam UUGD harus dilaksanakan dengan konsisten dan terbuka. Jika kontrol lemah, ijasah D4 dan S1 bodong akan beredar luas dan pemegangnya berhak ikuti pendidikan profesi.

Jika mutu pendidikan profesi buruk, bagaimana mungkin kita yakin lulusannya bermutu? Rakyat berhak menuntut, karena Guru PNS yang akan dididik itu dibayar dengan anggaran negara yang dikumpulkan dari memungut pajak dari rakyat.

Masih banyak sekolah yang gagap dengan Kurikulum 2013. Jika kurikulum ini masih tetap tidak tersosialisasikan dengan baik dan tidak dikontrol tuntas dalam pelaksanaannya, pengurangan beban kurikulum dan implementasinya, sudah pasti akan membingungkan guru dan kepsek yang cenderung koruptif, perilaku terang terangan menjual buku di sekolahpun tidak ditindak tegas, meskipun jelas menyalahi aturan mendiknas.

Baca Juga: Didorong Stimulus Fiskal AS, Nilai Tukar Rupiah Menguat Sampai 80 Poin

PARTISIPASI PUBLIK & PENDANAAN

Kerangka berpikir birokrasi pendidikan yang masih berorientasi biaya (cost centered), menjadikan berapa pun anggaran yang tersedia selalu tidak cukup dan habis dibelanjakan. Padahal, jika mampu mendayagunakan potensi pebisnis yang sedang trendy dengan pola tanggung jawab sosialnya (Corporate Social Responsibility- CSR), maka banyak sekali kekurangan dana pendidikan tertutupi.

Pemerintah harus mendorong DPR dan otoritas Keuangan untuk mengolah UU Pajak agar "fasilitas" pajak dapat dipakai sebagai insentif agar perusahaan mau membantu pendidikan, apalagi UU Perseroan Terbatas (PT) yang baru sudah mewajibkan setiap perusahaan menyetorkan sebagian dananya untuk CSR.

Jika semua sumbangan kepada pendidikan menjadi pengurang pajak atau ada anasir pembiayaan pendidikan dalam Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) di PPh, maka akan banyak dana yang langsung dibelanjakan di sektor pendidikan dan menutup tekor dana pendidikan.

Baca Juga: KPK Selamatkan Potensi Kerugian Keuangan Negara Selama 2020, Ini Jumlahnya

Meskipun urusan perpajakan ini bukan tugas Depdiknas langsung, tetapi upaya pengarusutamaan pendidikan (Education mainstreaming) harus menjadikan mendiknas leader dalam upaya ini, jika tidak mampu dilaksanakan, mubazirlah punya Mendiknas mantan Menteri Keuangan.

Namun, tentulah jangan biarkan CSR perusahaan semaunya belanjakan dananya dan semaunya pula memilih sektor sektor yang seksi dan mudah terlihat. Depdiknas harus siapkan cetak biru "daftar belanja" program perbaikan pendidikan yang jelas, agar perusahaan dapat cepat dan tepat sasaran dalam berkiprah di gerakan perbaikan pendidikan.

Ubah total tampilan situs elektronik Dinas Pendidikan Kabupaten Majalengka yang lambat dan tidak komunikatif dan miskin data itu, tampilkan dalam situs yang lebih interaktif dan mudah serta cepat diakses serta isi yang selalu terbarukan.

Agar semua pihak melihat kemajuan aksi perbaikan pendidikan ini, berita kehumasan Disdik harus tegas ditangani satu pintu, dalam menyampaikan informasi harus efektif, jelas dan cakupan besar.

Baca Juga: Bengkak di Wajah Setelah Menjalani Vaksin Covid-19? Pakar : Itu Bukti Kekebalan Bekerja

PENGHARGAAN

Penghargaan kepada insan pendidikan sudah sampai tahap kritis, sehingga bahasa indonesia memiliki kata sifat "menggurui" yang diterima luas dan berkonotasi buruk, anehnya guru tidak pernah tersinggung dan protes.

Hasil observasi di beberapa SMAN (SQIP-SF, 2005) , penghargaan guru terhadap diri sendiri sangat rendah. Untuk mulai memperbaikinya, berilah penghargaan semua insan pendidikan, termasuk guru dan kepala sekolah melalui Education Award.

Meskipun Bupati dan Gubernur yang mampu menjadikan pendidikan di kotanya maju, sudah menerima anugerah ini, seharusnya demikian juga pengamat, aktivis pendidikan hingga media yang selalu peduli kepada isu pendidikan.

Sewa humas handal hingga gaungnya melebihi hajatan Kementrian Lingkungan dalam Kalpataru dan Depdagri dalam Adipura, jika bisa melebihi acara seperti AFI atau Indonesian Idol. Acara Guru & Dosen Teladan yang diundang ke istana negara saja tidak cukup, meskipun acara ini harus dilestarikan.

Baca Juga: Sebanyak 40 Warga Indramayu Sembuh dari Covid-19

PENDIDIKAN GURU

Setiap tahun ribuan mahasiswa diluluskan oleh institusi pendidikan yang sekarang disebut sebagai Lembaga Pengembang Tenaga Kependidikan (LPTK) Negeri dan Universitas, 98% menjadi guru.

Jadi, tidak berlebihan kiranya jika kita katakan bahwa LPTK LPTK dan Universitas yang sebelumnya bernama IKIP inilah yang merupakan salah satu faktor penyumbang utama buruknya mutu pendidikan indonesia, karena mereka menyumbang guru yang bermutu rendah.

Sehingga sebagai "pabrik" Guru, LPTK mapan harus dievaluasi total kinerja internalnya, sistemnya, mutu dosennya dan semua hal terkait, karena merekalah institusi pendidikan tinggi paling strategis yang terlanjur menjadi penyumbang terbesar ketidakkompetenan guru indonesia saat ini.

Baca Juga: Satlantas Polrestabes Bandung Terapkan Rekayasa Lalu Lintas, Ini Jalan-jalan yang Ditutup

Pemerintah Daerah harus memperlakukan LPTK yang sangat strategis ini lebih baik dari institusi PTN lain, karena tidak mungkin menuntut yang terbaik dengan perlakuan yang terburuk. Tekanan eksternal, seperti ketatnya birokrasi keuangan membuat LPTK makin ciut dan keropos.

Usulan dalam tulisan ini tidaklah sulit dikerjakan jika ada kemauan serius dari pemerintah untuk memperbaiki Pendidikan Negeri ini. Jika masih juga bekerja angin-anginan sehingga program seperti ini tidak berhasil dilaksanakan, jangan salahkan jika rakyat akan berkata bahwa pemerintah dan legislatif sudah melenceng dari jalur konstitusi, karena semua upaya yang dikerjakan oleh pemerintah dan legislatif tidak menuju Pendidikan yang mencerdaskan Bangsa.

Bangsa yang mandiri dan selalu memberikan arti kepada kehidupan dan terampil dalam hidup dan memuliakan kehidupan.

Baca Juga: Mahfud MD : Kalau Benar Ada Kriminalisasi Ulama Sebutkan, Saya Bebaskan!

Kami yakin, jika jalan ini ditempuh, 15 Tahun kedepan wajah Kabupaten Majalengka ini akan mulai berubah kearah yang lebih baik.***

*Penulis Adalah Mahasiswa Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Jatitujuh

Editor: Andra Adyatama

Tags

Terkini

Terpopuler