Radikalisme Islam di Indonesia; Mencari Akar Masalahnya Pasca Orde Baru  

31 Desember 2020, 20:00 WIB
Dr H Masduki Duryat MPdI /

 

Oleh: Masduki Duryat*)

Akhir tahun ini, ‘kado’ dibubarkannya FPI oleh pemerintah dan 6 (enam) kematian lasykarnya betul-betul menjadi trending topik di media sosial.

Seolah mengalahkan isu nasional—atau sengaja dialihkan oleh pemerintah—kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.

Beritanya hilang, walau kita tentu berharap kasusnya tetap diproses—tidak seperti kasus Masiku yang hilang bak ditelan bumi—karena Korupsi Juliari batubara pada dana bantuan untuk masyarakat yang terempas krisis ekonomi akibat pandemi jelas merupakan
kejahatan level tertinggi.

Baca Juga: Menjaga Marwah Ulama (Tanggapan terhadap Tulisan Yahya Ansori; Hasil Musda Indramayu)

Pelakunya tak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga mengancam hidup banyak orang.

Seperti yang pernah saya tulis, penyidikan sementara Juliari telah memungut sedikitnya Rp. 10 ribu dari setiap kemasan bantuan sosial korban pandemi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Tapi kuat dugaan, korupsi Juliari sebenarnya lebih dahsyat.

Baca Juga: 1,8 Juta Dosis Vaksin COVID-19 Sinovac Tiba di Bandara Soetta

Majalah Tempo memberitakan bahwa anggaran pemerintah untuk proyek bansos sekitar Rp. 300 ribu per kemasan untuk 21,6 juta kemasan yang dibagikan dalam 12 gelombang.

Artinya, total nilai korupsi Menteri Sosial mencapai setidaknya Rp. 21 miliar. Ada kesaksian yang menyebutkan nama sejumlah elite PDIP yang menitipkan perusahaan tertentu agar mendapat jatah proyek.

KPK harus menelusuri semua petunjuk itu. Bagi banyak orang, kejahatan semacam itu mungkin tidak terbayangkan—yang pasti menyakiti hati rakyat kecil—yang konon menjadi jargon PDIP, partainya wong cilik.

Baca Juga: Deteksi Kerentanan Keluarga secara Dini Melalui Aplikasi FamLink

Kembali ke persoalan FPI, pada versi pemerintah dianggap sebagai ormas keagaamaan radikal—seperti juga HTI dulu—yang dianggap membahayakan negara, dengan paling tidak 6 (enam) pertimbangan; Pertama, ormas konsensus menjaga keutuhan negara; Kedua, Anggaran Dasar yang tidak boleh bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang ormas; Ketiga, SKT sebagai ormas sesuai keputusan Mendagri No. 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014; Keempat, Ormas tidak boleh bertentangan dengan pasal-pasal yang tercantum pada UU Ormas: Kelima, pengurus/anggota berdasarkan data terlibat tindak pidana terorisme; dan Keenam, terjadi pelanggaran ketentuan hukum oleh pengurus dan atau anggotanya yang kerap melakukan berbagai razia atau sweeping di masyarakat.

Baca Juga: Punya SDM Handal, TNI Siap Diturunkan Bantu Vaksinasi Covid-19

Radikalisme dan indikatornya

Sejarah telah mencatat, bagaimana trackrecord Islam dalam mewujudkan perdamaian dalam realitas. Pada awal kemunculan Islam di bawah panji-panji kepemimpinan Nabi Muhammad SAW., Islam berhasil meredam perang antarsuku dan golongan di jazirah Arab.

Masa itu adalah masa yang paling ideal dalam sejarah ummat Islam, karena ketika itu Nabi Muhammad SAW.,--yang merupakan refresentasi dari Islam itu sendiri—masih mendampingi para ummatnya sehingga Islam bisa berkaku secara efektif.

Islam yang dulunya menjadi pemersatu, belakangan dipandang sebagai penebar teror—bahkan di beberapa negara Barat dan AS—muncul Islamophobia, Perancis bahkan sebagai negara liberal secara terang-terangan membuat kartun ‘penghinaan kepada Nabi’ sebagai bentuk ekspresi kebebasan.

Baca Juga: Antisipasi Ancaman Keamanan Siber di Sektor Pendidikan Tahun 2021

Terlepas dari berbagai motif yang dilakukan para pelaku kekerasan dan radikalisme, stigma negatif pada Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin akibat berbagai tindakan kekerasan itu cukup membuat resah masyarakat muslim.

Dalam buku “Kritik Ideologi Radikal”, dijelaskan bahwa radikalisme adalah gagasan serta tindakan kelompok yang bergerak untuk menumbangkan tatanan politik yang sudah mapan; negara, kelompok, atau rezim yang bertujuan untuk melemahkan otoritas politik dan legitimasi negara atau rezim lain.

Maka, radikalisme direlevansikan dengan kelompok Islam adalah golongan yang membawa doktrin Islam serta bertujuan seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Baca Juga: Ini Daftar Deretan Aplikasi Populer Selama Tahun 2020, dari Zoom Sampai Among Us

Pemahaman tentang gerakan Islam radikal paling tidak disebabkan oleh dua hal. Pertama secara internal, ada pemahaman bahwa di luar pengikut mereka yang tidak sepaham adalah thagut, thagut adalah kafir.

Maka memerangi mereka adalah perintah agama. Oleh karena itu paham turunannya adalah bentuk negaranya harus berdasarkan Islam. Dalam sejarah Islam pernah muncul gerakan sempalan yang berpahaman seperti itu, yaitu khawarij.

Kedua secara eksternal, munculnya gerakan-gerakan radikal efek dari penyerangan Amerika dan sekutunya terhadap negara-negara mayoritas berpenduduk Islam, misalnya Afganistan, Pakistan, Irak dan negara lainnya.

Baca Juga: Disparbud Jawa Barat Siapkan Rapid Tes Antigen di Tempat Wisata

Testimoni mantan PM Inggris Tonny Blair yang mengatakan bahwa “saya menyesal dan berdosa telah ikut sekutu untuk menyerang dan menghancurkan Irak yang pada akhirnya memunculkan gerakan radikal seperti ISIS.”

Dalam buku “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia”, kriteria Islam radikal adalah: (1) kelompok yang mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung; (2) dalam kegiatannya mereka sering menggunakan aksi-aksi kekerasan, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan kelompok mereka, (3) secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas, (4) kelompok Islam radikal seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan.

Baca Juga: Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil Punya Jurus Kendalikan Covid-19 Saat Libur Akkhir Tahun

Definisi Islam radikal dalam buku ini menurut Dr. Adian Husaini diambil dari buku Jhon L. Esposito yang berjudul Islam: The Straight Path.

Muslim radikal adalah mereka yang (1) berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, sehingga Islam tidak dapat dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat, (2) seringkali menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekuler dan cenderung materialistis harus ditolak, (3) cenderung mengajak pengikutnya untuk ’kembali kepada Islam’ sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial, (4) memandang bahwa regulasi-regulasi sosial yang lahir dar tradisi Barat, juga harus ditolak, (5) tidak menolak modernisasi sejauh tidak bertentangan dengan standar ortodoksi keagamaan yang telah mereka anggap mapan, dan tidak merusak sesuatu sesuatu yang mereka anggap sebagai kebenaran yang sudah final, (6) berkeyakinan bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat muslim tidak akan berhasil tanpa menekankan aspek pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat.

Baca Juga: Didorong Stimulus Fiskal AS, Nilai Tukar Rupiah Menguat Sampai 80 Poin

Radikalisme Islam; Pasca Orde Baru

Ini menarik, analisis yang dilakukan oleh Martin van Bruinessen ada sisi yang berbeda yang disampaikannya, bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal dalam Islam yang menggunakan terma jihadis dan menggerakkan para pengikutnya untuk berjihad di wilayah-wilayah konflik antar agama di Indonesia misalnya Maluku, Poso adalah fenomena yang cukup mencolok.

Pada pemerintahan pasca Presiden Soeharto terjadi pembiaran seolah militer serta polisi tidak mampu, atau tidak bersedia untuk menghalangi para jihadis. Bertentangan dengan perintah tegas presiden, kelompok-kelompok tentara jihad dapat meninggalkan pulau Jawa menuju Maluku tanpa ada pemeriksaan oleh polisi atau militer, bahkan saat tiba di Maluku mereka diberikan senjata modern oleh beberapa perwira militer yang bersimpati pada perjuangan mereka.

Nyaris, masih menurut Martin terdapat mufakat di kalangan para pengamat politik Indonesia bahwa semua kekerasan antar suku dan agama selama beberapa tahun belakangan ini dipicu oleh perebutan kekuasaan  antara faksi-faksi elite yang bersaing, atau didalangi secara sengaja oleh beberapa faksi yang bertujuan menggoyahkan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (dan kemudian Megawati).

Baca Juga: KPK Selamatkan Potensi Kerugian Keuangan Negara Selama 2020, Ini Jumlahnya

Sangat jelas persaingan antar elite merupakan faktor penggoyah utama dan sebagian besar kekerasan itu didanai oleh kelompok-kelompok kepentingan sipil dan militer.

Tetapi, ini tentu tidak berarti kelompok-kelompok radikal yang melakukan kekerasan tersebut semata-mata boneka, alat di tangan dalang politik. Minimal sebagian kelompok ini berakar dari gerakan yang sudah ada sebelum krisis yang terjadi saat ini. 

Akar kelompok-kelompok muslim radikal di Indonesia saat ini bisa dirunut pada dua gerakan politik. Muslim yang relaatif ‘asli’, gerakan Darul Islam dan Partai Masyumi serta jaringan Islam tradisional yang lebih baru.

Baca Juga: Bengkak di Wajah Setelah Menjalani Vaksin Covid-19? Pakar : Itu Bukti Kekebalan Bekerja

Akankah munculnya gerakan-gerakan Islam radikal ini sebagai bentuk konsekuensi logis akibat ‘dipeliharanya’ dulu karena kepentingan politik dan elite tertentu demi mengejar kekuasaan—khususnya pasca Preseiden Soeharto—dan sekarang menerima akibatnya? Sekali lagi pada analisis Martin di bawah kepresidenan Habibiekaum Islam radikal dipersenjatai dan dipekerjakan sebagai tenaga bantuan paramiliter untuk polisi dan tentara.

Presiden Abdurrahman Wahid harus menghadapi kelompok-kelompok radikal ini dan berusaha mengekangnya, namun gagal karena kendalinya yang lemah pada angkatan bersenjata.

Wallahu a’lam bi al-sawab

*)Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu

Editor: Andra Adyatama

Tags

Terkini

Terpopuler