DEMOKRASI DAN BLACK CAMPAIGN; Kasus Pemilihan Bupati Indramayu

5 Desember 2020, 08:32 WIB
Dr H Masduki Duryat MPdI /

Oleh: Masduki Duryat

Best sellernya buku How Democracies Die yang ditulis oleh Steven Levistsky dan Daniel Ziblatt semakin populer—di Indonesia—ketika Anies Baswedan sambil duduk santai dengan membaca buku ini.

Yang menarik salah satu di antara tulisan judul kecil pada buku ini tentang “Pagar Demokrasi”, selama bertahun-tahun orang AS mempercayai konstitusi AS sebagai pusat keyakinan sebagai negara dan bangsa yang terpilih, dibimbing Ilahi, mercusuar harapan dan kemungkinan dunia. Berbagai piranti demokrasi dibuatnya untuk mencegah pemimpin berkonsentrasi dan menyalahgunakan kekuasaan.

Namun, apakah sarana perlindungan konstitusional itu bisa memadai untuk mengamankan demokrasi? Penulis buku ini meyakini, tidak. Konstitusi yang dirancang dengan baik pun kadang gagal.

Baca Juga: Subang Masuk Salah Satu Fokus Kementerian PUPR

Konstitusi yang dirumuskan dengan baik pun tidak dengan sendirinya menjamin tegaknya demokrasi, memang konstitusi selalu tidak lengkap.

Ada saja kesenjangan dan ambiguitas di dalam semua sistem hukum, maka tidak bisa hanya mengandalkan konstitusi untuk menjaga demokrasi.

Baca Juga: Petani dan Teknologi

Demokrasi dan Menahan Diri

“Tuhan tidak pernah menganugerahi negarawan atau filosof, atau siapapun”, tulis mantan presiden AS Benjamin Harrison, “dengan cukup banyak kebijaksanaan untuk merumuskan suatu sistem pemerintahan yang bisa langsung dijalankan semua orang begitu saja”.

Itu yang kemudian dengan mengadaptasi pandangan Gunnar Myrdal karena nilai-nilai tidak dapat terlaksana dengan sendirinya diperlukan sikap saling toleran dan menahan diri secara kelembagaan maupun individu untuk bagaimana harus berbuat—di luar batas hukum—untuk menjalankan fungsinya secara kelembagaan maupun individu.

Baca Juga: Potensi Kredit Tumbuh, Persepsi Risiko Perbankan Tinggi

Dalam konteks pemilihan bupati Indramayu adalah sebuah keharusan menjaga nilai-nilai demokrasi dengan tetap memagarinya melalui sikap santun dan toleran serta mampu menahan diri.

Tidak serta-merta atas nama demokrasi lalu mendiskreditkan, menjelekkan, dan melakukan ‘pembunuhan’ karakter seseorang melalui kampanye negatif secara membabi buta.

Baca Juga: Pangkas Cuti Bersama, Kurangi Potensi Kerumunan

Black Campaign dan Negative Campaign

Pada pandangan Mahfud MD memang ada perbedaan antara kampanye hitam (black campaign) dengan kampanye negatif (negative campaign).

Kendati tidak dilarang dalam pemilu, kampanye negarif lebih mengemukakan sisi kelemahan faktual tentang lawan politik dan tidak bisa dihukum.

Kampanye hitam lebih cenderung bermuatan fitnah dan penuh kebohongan tentang lawan politik. Kampanye hitam ini jelas dilarang oleh undang-undang. Mahfud MD menyebut contoh, “kalau anda bilang bahwa Jokowi PKI atau bahwa Prabowo terlibat ISIS itu sudah black campaign.  

Baca Juga: Liga PB Djarum 2020 Digelar Tanpa Penonton

Tapi kalau anda bilang Jokowi kerempeng atau Prabowo kalah terus dalam Pilpres, itu tergolong negative campaign.” Black campaign  bisa dipidana, negative campaign bisa dilawan dengan argumen.

Kampanye negatif dilakukan untuk menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan politik. Kampanye hitam dilakukan misalnya dengan menuduh pihak lawan dengan tuduhan palsu atau belum terbukti atau melalui hal-hal yang tidak berkelindan terkait kapasitasnya sebagai pemimpin.

Sanksi pidana terhadap pelaku kampanye hitam misalnya disebut pasal 280 ayat (1) huruf   c berbunyi, “Menghina  seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu lain”. Pasal 521, “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan dalam pasal 280 ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,g,h,I atau j, dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak 24 juta rupiah”.

Baca Juga: Antisipasi Kenaikan Harga Beras di Akhir Tahun

Dalam konteks Indramayu, munculnya tabloid yang bernuansa kampanye hitam atau dalam sebuah acara salah satu juru kampanye dengan menyebut terma kerajaan jin, fir’aun, pimpinan kaum Quraisy dan lainnya yang ditujukan kepada salah satu pasangan calon bupati adalah sesuatu yang sangat tidak mendidik dan sebuah kemunduran dalam berdemokrasi, berkontestasi dalam pemilihan bupati.

Tentu tindakan pembiaran akan membuat rusaknya proses demokrasi, menciderai dan bahkan akan memunculkan kemarahan bagi para pendukung fanatiknya. Demokrasi harus dijaga dan mengedepankan etika dengan penuh kesantunan, jangan dimatikan dengan tindakan yang arogan  dan bernuansa pembusukan terhadap lawan politiknya.

Dalam bahasa Aisyah Dara Pamungkas munculnya kampanye hitam menjadi cerminan bobroknya moral bangsa. Karena tidak bisa dielakkan bahwa black campaign akan sangat berdampak buruk bagi pendidikan politik bangsa Indonesia. Seakan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu walaupun melalui jalan yang salah.

Baca Juga: 112 Atlet Muda Bulu Tangkis Ikuti Liga PB Djarum 2020

Mengedepankan Program

Akan lebih elegan kampanye dengan mengedepankan program ketimbang dengan mencari-cari kelemahan—atau bahkan cenderung dengan kampanye hitam—dengan menyebarkan berita hoax.

Kampanye merupakan hak pasangan calon yang dilindungi oleh undang-undang. Kampanye yang dilakukan untuk menyampaikan visi, misi, program kepada masyarakat yang akan dilaksanakan selama lima tahun ke depan lebih mencerdaskan dan mendidik masyarakat.

Masyarakat  harus cerdas dalam mencerna  seluruh informasi yang diterima. Demokrasi memerlukan partisipasi yang luas dari masyarakat dan individu yang memenuhi syarat.

Baca Juga: 65 Kasus Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan Terjadi di Cirebon

Nilai-nilai demokrasi mengajarkan kepada kita bahwa perbedaan bukanlah sumber bencana. Bukan awal perpecahan, bukan menjadi penyebab permusuhan, tetapi sebaliknya sebagai kekuatan—dan pada saat yang sama—manusia diajarkan untuk tahu diri dan saling menghormati.

*)Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu

Editor: Andra Adyatama

Tags

Terkini

Terpopuler