Mengenal Sunarto Martaatmadja Maestro Tarling Cirebon, Pernah Jual Jerami untuk Beli Gitar

31 Juli 2021, 20:00 WIB
Maestro Tarling Sunarto Martaatmadja dalam kenangan. /Facebook Bima Manggala Yudah

 

PORTAL MAJALENGKA -- Polemik tentang siapa yang pertama kali memasukkan unsur drama ke dalam seni tarling, bisa berkepanjangan. Namun Sunarto Martaatmadja mengajukan pemikiran yang lebih argumentatif.

Tanpa pengalaman bersentuhan dengan seni drama, katanya, tidak mungkin bisa mengubah perjalanan seni tarling. Dari sekadar seni musik menjadi seni teater.

Saat masih muda Sunarto Martaatmadja pernah menjual jerami kering agar dapat membeli gitar. Tidak lain karena cintanya pada seni tarling.

Banyak kalangan meyakini, kata tarling merupakan akronim dari gitar dan suling. Dua instrumen penting dalam kesenian tradisional Cirebon tersebut.

Disebut tradisional, karena meskipun menggunakan instrumen modern seperti gitar, namun tarling merupakan hasil ciptaan seniman Cirebon yang tidak ditemukan pada jenis kesenian di daerah lain.

Baca Juga: Mengenal Abdul Adjib, Si Baridin Maestro Tarling Cirebon Pencipta Lagu 'Warung Pojok' yang Fenomenal

Seteman gitar pada tarling, sangat berbeda dan niscaya tidak ditemukan pada jenis musik lain. Selain itu, tarling juga dilahirkan pada zaman transisi. Ketika kebudayaan tradisional di tanah air beradaptasi dengan kebudayaan modern berbasis instrumen yang juga modern, ditandai dengan ketergantungan kepada listrik.

Tahun 1950-an, Sunarto Martaatmadja masih siswa SMP. Usianya masih belasan tahun, tapi sudah keranjingan pertunjukan seni Reog pimpinan Dawiyah, seniman asal Bayalangu, Gegesik Kabupaten Cirebon.

Tahun 1960, Sunarto juga menjadi menggemari seni Reog lainnya, dengan bodor Goyot. Salah seorang primadona rombongan kesenian tersebut adalah Tarsijem.

Sunarto muda sangat menginginkan agar seni Tarling mampu memiliki daya pikat seperti seni Reog yang digemarinya.

Di usia sekitar 20 tahun, Sunarto mengembangkan upaya gurunya, Uci Sanusi. Ketika itu Uci mulai memasukkan unsur drama ke dalam pertunjukan seni Tarling, meskipun masih berupa fragmen sepanjang sekitar 1 jam.

Baca Juga: Tradisi Gelar Seni Budaya Nunuk

Fragmen yang digemari masyarakat dari Uci, mengisahkan tentang riwayat kakak-beradik Saida dan Saeni.

Tahun 1965 Sunarto mengembangkan unsur drama lebih panjang, hingga berdurasi sekitar 4 jam. Lagu-lagu bahkan diciptakan berdasarkan cerita yang disajikan di dalam drama.

Ada kalanya lagu-lagu dipergunakan untuk menggantikan dialog. Kala lainnya, lagu-lagu menjadi ilustrasi yang makin mengiris hati penonton.

Sunarto juga menambahkan unsur lawakan. Di Cirebon disebut bodoran.

Sejak itu, Tarling di tangan Sunarto berubah dari seni musik menjadi opera, seni teater. Sunarto layak berbangga, karena masyarakat menyambut gagasannya.

Baca Juga: Selama PPKM Darurat Objek Wisata di Majalengka Ditutup

Sejak Nada Budaya yang ia pimpin memasukkan drama dan lawak ke dalam seni Tarling, permintaan agar naik pentas langsung meningkat tajam.

Sejak itu pula sejarah seni Tarling langsung berbelok, dari sekadar seni musik menjadi seni teater.

Grup-grup seni Tarling lain, yang bertebaran di Cirebon hingga Indramayu, mengadopsi gaya pertunjukan Nada Budaya. Tarling tampil dengan gaya oplosan drama, musik, lagu, dan lawak.

"Dulu karena Tarling hanya seni musik, maka tidak terlalu menarik masyarakat. Tapi setelah saya masukkan unsur drama, seni Tarling makin digemari masyarakat, jumlah permintaan pentas di acara hajatan masyarakat langsung naik," tutur Sunarto Martaatmadja dalam wawancara dengan penulis di bulan Agustus 2014.

Upayanya menyempurnakan eksperimen Uci Sanusi mengawinkan unsur drama, musik, lagu, dan lawak ke dalam seni Tarling, merupakan jasa sekaligus karya terbesar seorang Sunarto Martaatmadja yang dicatat pena emas sejarah seni Tarling. Ia bukan hanya seniman, tetapi juga perintis sekaligus pembaharu.

Baca Juga: Inilah 12 Alat Musik dari Jazirah Sunda yang Paling Dikenal, Beberapa di Antaranya Mulai Jarang Disebut

Tapi ia tak mempersoalkan seniman lainnya yang mengklaim menjadi orang pertama memasukkan unsur drama dan lawak ke dalam seni Tarling. Baginya, tiap orang memiliki keyakinan.

Ia lebih memilih untuk menyerahkan soal siapa pembaharu seni Tarling yang mengubah dari seni musik ke seni teater, kepada masyarakat. Namun menurutnya, mestinya klaim tersebut argumentatif.

"Masyarakat sudah cerdas, banyak juga peneliti, biar mereka yang menentukan," kata Sunarto di kediamannya, Desa Setu Kulon Kabupaten Cirebon.

Drama Tarling karya Sunarto Martaatmadja yang paling dikenal masyarakat berjudul 'Gandrung Kapilayu' (Kasih Tak Sampai). Namun masyarakat lebih mengenalnya sebagai 'Kang Ato Ayame Ilang' (Ayam Kak Ato Hilang).

Ungkapan itu diambil berdasarkan salah satu dialog dalam drama yang dimainkan Sunarto dan Dadang Darniyah.

Baca Juga: Lagu Delusi Kolaborasi Antara Rizky Febian dan Grup Musik L.Y.O.N

Hingga kini sebutan Kang Ato menyaingi nama asli pemainnya, Sunarto Martaatmadja.

Sunarto Martaatmadja, sejak masih bayi merah sudah diramalkan bakal menjadi seniman panggung terkenal. Ia dilahirkan di Jemaras Kidul, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon pada 19 Mei 1944.

Ketika itu orang tuanya sedang bersiap menggelar hajat sunatan salah seorang kakak Sunarto, menanggap (menyajikan hiburan) kesenian Tarling. Tarub (tenda) telah terpasang beberapa hari sebelum hari hajatan.

Tangisan pertama bayi yang kemudian bernama Sunarto Martaatmadja mengiringi lengkingan suara gitar seni Tarling di panggung hiburan.

Ramalan orang tuanya menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi kenyataan. Sejak SD ia menjagoi lomba-lomba menyanyi.

Baca Juga: Rizky Febian Sabet Penghargaan Musik di MAMA 2020

Ketika siswa SMP, Sunarto mulai gemar kelayaban malam. Ia berburu pertunjukan-pertunjukan kesenian di panggung-panggung hiburan hajatan masyarakat. Ia juga mulai sering meminjam gitar dan mencoba-coba memetik sesuai irama yang muncul di hatinya.

Di usia belia pula, Sunarto berguru kepada Uci Sanusi, seniman Tarling di desanya, juga kerabatnya. Ketika itu Uci telah memasukkan unsur gamelan ke dalam seni Tarling.

Uci pula yang mula-mula menyajikan seni Tarling dengan cara berdiri. Ia terpengaruh pertunjukan seni musik Keroncong.

Jayana, seniman Tarling lain yang juga terkenal di kemudian hari, disebut meniru cara Uci. Jayana juga mulai memasukkan unsur gamelan dan menyajikan Tarling dengan cara berdiri.

Sebelumnya Tarling disajikan dengan cara duduk di atas panggung, persis pesinden dalam pertunjukan seni Wayang Kulit maupun seni Wayang Golek.

Baca Juga: Tradisi saat Gerhana Bulan, Masyarakat Usir Naga dengan Kentongan

Semangat Sunarto untuk mempelajari seni Tarling membuat ia seperti tak mengenal lelah. Anak Kepala SD di Jemaras Kidul itu menggunakan sepeda bapaknya untuk membonceng Uci ke berbagai tempat di daerah Palimanan, Arjawinangun, Celancang, Plumbon, Jamblang, bahkan ke studio RRI di Kota Cirebon yang berjarak puluhan kilo meter dari rumahnya.

Di tempat-tempat itu ia mempelajari gaya Tarling Uci Sanusi. Tidak lama kemudian Uci mengizinkan Sunarto ikut memainkan gitar dan menembang.

Suaranya sangat merdu dan ekspresif. Tak jarang Sunarto muda mampu menghanyutkan suasana hati penonton dengan suara emasnya.

Kegemarannya pada seni Tarling sempat membuat Sunarto tidak lulus ujian STM Negeri di Kota Cirebon. Namun setahun kemudian, ia berhasil mendapatkan ijazah Jurusan Mesin Umum pada almamaternya itu.

Di sekolahnya itu, Sunarto sempat menjadi anggota grup band, tahun 1962. Ia bertugas menabuh tamtam.

Baca Juga: 'Guar Bumi' Adat Tradisi yang Masih dijunjung Masyarakat Desa Pilangsari Jatitujuh

Selain belajar pada Uci Sanusi, Sunarto juga mengembangkan bakatnya dengan cara mendatangi pertunjukan Wayang Kulit. Ia sibuk memetik gitarnya untuk mencari-cari nada lagu yang dilantunkan Sinden.

Cara belajar seperti itu membuat Sunarto kelak sangat mahir menyanyikan lagu-lagu klasik Cirebonan. Ia bahkan mahir menciptakan lagu-lagunya sendiri. Pula, ia piawai mengiringi lantunan lagu klasik Cirebonan dengan petikan gitarnya. Lagu-lagu yang diiringi petikan gitar Sunarto, kelak dikenal sangat menawan.

Ia memimpin anak-anak Karang Taruna desanya mengumpulkan uang, untuk membiayai kegiatan dan membeli beberapa perangkat kesenian. Sunarto dibantu kawan-kawannya bekerja membabat jerami padi yang telah dipanen. Jerami-jerami itu ia jual. Hasilnya, antara lain dipergunakan untuk membeli gitar.

Tahun 1964, di usia 20 tahun Sunarto memberanikan diri mendirikan Grup Tarling bernama Karya Muda. Merasa nama itu kurang gagah, Sunarto mengubahnya menjadi Nada Jaya.

Sunarto menggabungkan Nada Jaya ke Grup Tarling Asmara Budaya. Tanggal 15 Agustus 1965 Sunarto mengubah nama grup gabungan yang ia pimpin itu menjadi Nada Budaya.

Baca Juga: Makna Rebo Wekasan dan Tradisi Membuat Kue Apem di Bulan Safar  

Di masa awal, popularitas Nada Budaya sanggup menenggelamkan kecemerlangan grup Tarling pimpinan Uci Sanusi dan Jayana. Namun sekitar 10 tahun kemudian, muncul tandingan berat, yakni grup Tarling Putra Sangkala pimpinan Abdul Adjib.

Tahun 1967 hingga 1977 merupakan saat paling cemerlang bagi Sunarto Martaatmadja dengan Nada Budaya-nya. Di kurun itu, rata-rata Nada Budaya naik pentas sebanyak 204 kali dalam setahun.

Prestasi itu mengalahkan semua grup Tarling yang terdapat di Cirebon dan Indramayu. Grup Tarling Putra Sangkala kemudian mengambil alih rating pentas tertinggi sejak 1977.

Di masa jayanya, Nada Budaya laris diundang berpentas di Kabupaten Cirebon, Indramayu, Kuningan, Majalengka, Subang, Purwakarta, Bekasi, Jakarta, Serang, Banten, Brebes, Tegal, bahkan menyeberang ke Pulau Sumatera.

Dengan pertunjukan-pertunjukannya, Nada Budaya turut menyebabkan nama Cirebon kian dikenal luas. Saat itu warga asal Cirebon di perantauan sangat bangga menampilkan seni Tarling asal daerahnya.

Baca Juga: Ukur Bayi Dengan Kue Apem dan Tradisi Rebo Wekasan di Bulan Safar masih Lestari di Majalengka

Sunarto dengan Nada Budaya-nya, membuat seni Tarling juga disukai masyarakat yang bukan pengguna Bahasa Cirebon.

Redupnya jumlah pentas Nada Budaya juga dipengaruhi mulai bermunculan grup-grup Tarling di Cirebon dan Indramayu. Antara lain Cahaya Muda pimpinan Dariyah di Indramayu, Endang Darma pimpinan Dadang Darniyah mantan pesinden pasangan Kang Ato, Bayangkara pimpinan M Wakyad, dan terutama Putra Sangkala pimpinan Abdul Adjib.

Pembaharuan lain yang juga dilakukan Sunarto Martaatmadja, adalah merintis penciptaan lagu-lagu Cirebonan dari nada pentatonis ke diatonis. Sunarto tak ragu mengakui, penciptaan itu terilhami Abdul Adjib.

Pada sekitar tahun 1964, Abdul Adjib bermain gitar untuk pertunjukan Sunarto. Saat itu pula Abdul Adjib menyanyikan lagu ciptaannya, berjudul 'Penganten Baru' yang kemudian melegenda.

Sunarto sangat terkesan. Ia menyadari, lagu ciptaan Adjib itu menggunakan nada diatonis. Sunarto melihat, dengan menggunakan nada diatonis Tarling lebih fleksibel karena kelak dapat dimainkan menggunakan instrumen modern.

Baca Juga: Jamas Tosan Aji, Perpaduan Budaya dan Agama di Majalengka

Sejak saat itu Sunarto pun rajin melahirkan lagu-lagu Cirebonan bernada diatonis sehingga lebih mudah diaransir menggunakan instrumen musik yang sezaman.

Meskipun bukan orang pertama yang menciptakan lagu Cirebon modern, Sunarto boleh disebut juga perintis. Adjib dan Sunarto seperti berlomba melahirkan lagu-lagu Cirebon modern, menyebabkan seniman Tarling lainnya melakukan hal yang sama.

Kini lagu-lagu Cirebon modern merajalela di panggung-panggung Tarling Dangdut terutama di wilayah Pantura Jawa.

Sunarto juga berhasil melahirkan sejumlah sinden terkenal. Antara lain Sinden Asli, Asiati, Suteni, Serini, Sumiyati, Jamisah, dan Tumus.

Awalnya, sinden-sinden itu bernyanyi untuk pertunjukan Nada Budaya sambil berguru kepada Sunarto. Di kemudian hari, Sinden-sinden itu kerap diundang menyanyi untuk memperkuat pentas grup Tarling lain.

Baca Juga: Jabar Miliki Tiga Budaya, Nama Provinsi Sunda Harus Disepakati Semua Budaya

Sejumlah bodor terkenal juga lahir dari Nada Budaya. Antara lain Mang Towal, Si Kindung, Bendik, Rumi, Gendut, Jebod, dan Kampleng. Mereka juga kerap memperkuat pertunjukan grup Tarling lain.

Sunarto pernah berusaha menggabungkan potensi hebat dirinya dengan Jayana dan Abdul Adjib, tahun 1977. Ketiganya sepakat bergabung dan mendirikan Grup Tarling Putra Nada Jaya, namun hanya bertahan selama satu tahun. Grup ini sempat naik pentas sebanyak 90 kali.

Nama itu diambil dari grup-grup tarling pimpinan Abdul Adjib bernama Putra Sangkala, Sunarto Martaatmadja bernama Nada Budaya, dan Jayana bernama Jaya Lelana.

Kini seni Tarling mulai terlihat tak kuat melawan keinginan zaman. Jumlah permintaan pentas melorot jauh.

Sunarto di masa tuanya, hanya diundang pentas sekitar empat kali sebulan. Itu pun harus rela mengorbankan durasi drama dan lawaknya.

Baca Juga: Ketum Persit KCK Apresiasi Pelestarian Seni Sintren di Indramayu

Sekitar 70 persen dari pertunjukan, diisi Tarling Dangdut sesuai permintaan pemesan pentas, juga karena desakan penonton.

"Saya memadukan tarling dengan dangdut agar tarling tetap diminati. Pukul 21.00-24.00 saya menampilkan dangdut, pukul 24.00-03.00 tarling," ujar Sunarto di tahun 2014.

Sunarto Martaatmadja pernah memegang jabatan Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Cirebon. Pemerintah Kabupaten Cirebon pernah mengganjar dedikasi, prestasi, dan upaya pembaharuannya dengan anugerah gelar Maestro Tarling. Kang Ato juga pernah menerima penghargaan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Sunarto Marta Atmadja menghembuskan napas terakhir di usia yang ke-75 tahun pada Sabtu 5 Januari 2019 pukul 21.15 WIB di rumahnya di Kecamatan Palimanan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Jenazahnya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) di kompleks pemakaman keluarga besar Marta Atmadja di Desa Jemaras Kidul, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon.

Baca Juga: 5 Kuliner Khas Majalengka yang Tergolong Unik Termasuk Ketel, Berani Coba?

Di akhir masa hidupnya, Sunarto Martaatmadja yang pernah mendapat gelar Maestro Tarling itu menderita penyakit gula (diabet) dan paru-paru.

Almarhum meninggalkan enam orang anak dari istri, Mimi Yayah Darsiyah, asal Lombang, Juntinyuat, Indramayu yang dinikahi setelah sempat menjadi pesinden di grup musiknya “Nada Budaya” di era kejayannya di tahun 1970-an.***

Editor: Husain Ali

Tags

Terkini

Terpopuler