Meneladani Rasulullah SAW Harus Secara Kaffah Bukan Setengah-Setengah

- 30 Oktober 2020, 19:13 WIB
Tawati (Muslimah Revowriter dan Member Writing Class With Hass)
Tawati (Muslimah Revowriter dan Member Writing Class With Hass) /

Oleh: Tawati (Muslimah Revowriter dan Member Writing Class With Hass)

Kalender Hijriah memasuki bulan Rabiul Awal atau dikenal juga dengan bulan Maulid atau bulan Maulud. Pada bulan ini terdapat peringatan Maulid Nabi yakni pada tanggal 12 Rabiul Awal. Hari itu merupakan hari lahir Nabi Muhammad SAW.

Pada tahun 2020, 1 Rabiul Awal bertepatan dengan Minggu, 18 Oktober. Sehingga peringatan Maulid Nabi jatuh pada tanggal 29 Oktober 2020 bertepatan dengan hari Kamis. Di Indonesia, hari Maulid Nabi merupakan hari libur nasional.

Mengingat kelahiran Nabi SAW bukanlah merayakan ulang tahun beliau. Mengenang momentum kelahiran beliau adalah upaya memfokuskan kembali mata batin kita pada sosok manusia yang paling berjasa dalam hidup dan peradaban.

Baca Juga: Penyerapan Pasien BPJS Bukan Sebuah Prestasi

Teladan Membangun Peradaban

Ada sebab kuat mengapa Allah SWT mengutus Rasulullah SAW. Diantaranya adalah untuk memberikan keteladanan yang paripurna. Pribadi Nabi SAW seluruhnya adalah kebaikan untuk semua bidang kehidupan. Akhlak, ibadah bahkan hingga pemerintahan yang beliau jalani penuh dengan keteladanan. Sepatutnya kaum Muslim menjadikan Nabi SAW sebagai satu-satunya contoh kebaikan dalam kehidupan.
Allah SWT berfirman:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا

"Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu bagi siapa saja yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Akhir dan dia banyak mengingat Allah". (QS al-Ahzab [33]: 21).

Baca Juga: Dimensi Cinta; Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW (Refleksi Peringatan Maulid Nabi)

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjabarkan bahwa ayat yang mulia ini adalah pokok yang besar dalam mengikuti Rasulullah SAW dalam berbagai perkataan, perbuatan dan keadaan beliau. Imam Ibnu Katsir juga menuturkan, inilah perintah kepada manusia (para Sahabat) untuk meneladani Nabi SAW pada saat Perang Ahzab; dalam hal kesabaran, kedisiplinan, kesungguhan dan penantian beliau terhadap pertolongan dari Tuhannya (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 6/391).

Rasulullah SAW adalah satu-satunya insan yang berhasil membangun peradaban manusia yang mulia. Di tengah-tengah kompetisi Kekaisaran Romawi dan Kerajaan Persia, Nabi Muhammad SAW berhasil mengangkat harkat-martabat bangsa Arab dan umat manusia menuju peradaban yang sama sekali baru.

Bangsa Arab dan umat manusia pada umumnya kala itu tenggelam dalam kubangan lumpur peradaban jahiliah. Di bidang keyakinan/akidah masyarakat tenggelam dalam takhayul, khurafat dan syirik. Bidang sosial dipenuhi oleh lautan syahwat yang merendahkan dan menindas kaum perempuan. Dalam bidang perekonomian, praktik tipu-menipu dan riba merajalela. Bidang politik dan pemerintahan didominasi oleh kelas borjuis atau tunduk pada penindasan imperium Romawi.

Baca Juga: Program Indonesia Pintar Belum Jadi Solusi

Nabi SAW berhasil mengubah mereka menjadi masyarakat yang bertauhid, berhukum hanya pada hukum Allah SWT, berakhlak luhur, menjalankan muamalah secara jujur dan amanah, serta memiliki sistem pemerintahan yang kokoh dan sukses menciptakan keadilan.

Peradaban itu lalu dilanjutkan oleh para Khalifah setelah beliau, yakni Khulafaur Rasyidin dan para Khalifah sesudahnya.

Mereka sukses menyebarluaskan Islam hingga menguasai 2/3 dunia. Peradaban inilah yang dikagumi oleh bangsa Barat.

Baca Juga: Omnibus Law, Konflik Lahan Dan Kerusakan Lingkungan

Di antaranya oleh Raymound Leruge, seorang tokoh Katolik terkemuka. Dia mengagumi Muhammad SAW bukan sebagai nabi, tetapi sebagai seorang pemimpin yang berhasil melakukan perubahan total (revolusioner) dan membangun suatu negara yang berkeadilan.

Dalam bukunya, La Vie De Mahomet, dia menulis: “Dalam kenyataannya, ia (Muhammad SAW) adalah promotor revolusi sosial dan revolusi internasional yang pertama…Ia meletakkan dasar-dasar suatu negara yang disiarkan ke seluruh dunia, yang semata-mata hanya menjalankan hukum keadilan dan kasih sayang. Ia mengajarkan persamaan di antara seluruh manusia serta kewajiban untuk saling menolong dan persaudaraan sedunia.”

Rasulullah SAW bukan semata teladan dalam akhlak dan ibadah. Beliau juga memberikan tuntunan dalam politik dan pemerintahan. Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW mempersatukan kaum Anshar dan Muhajirin, menata Negera Islam di Madinah dengan menyusun Piagam Madinah (Watsiqah al-Madinah). Dengan itu semua elemen masyarakat selain kaum Muslim, seperti kaum Yahudi, dapat ditundukkan.

Baca Juga: Depresi dan Stress Perlu Penanganan Komprehensif

Baginda Nabi SAW juga mengangkat sejumlah pejabat negara seperti para pembantu beliau dalam urusan pemerintahan, para gubernur, amil, juga panglima perang. Beliau menetapkan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab ra. sebagai pembantu dalam bidang pemerintahan (mu’awin). Beliau pun mengangkat Muadz bin Jabal ra. sebagai gubernur (wali) di wilayah Janad, Ziyad bin Walid di wilayah Hadhramaut serta Abu Musa al-‘Asy’ari di wilayah Zabin dan ‘Adn. Untuk kesekretariatan pemerintahan, Rasulullah di antaranya menunjuk Zaid bin Tsabit ra. sebagai sekretaris dan pemegang stempel beliau.

Di bidang ekonomi, Rasulullah SAW mengangkat Abdurrrahman bin Auf sebagai pejabat yang mengurusi zakat unta, Bilal menangani zakat buah-buahan dan Muhmiyah bin Jaza’ mengurusi khumus. Beliau sendiri sering membagi-bagikan harta milik negara kepada yang berhak mendapatkannya.

Baca Juga: Pesantren penyebab Meningkatnya Kasus Covid-19, Benarkah?

Di bidang militer beberapa kali Nabi SAW langsung memimpin peperangan yang disebut ghazwah. Tidak kurang Nabi memimpin 27 kali peperangan. Beliau juga beberapa kali mengangkat sejumlah sahabat sebagai pimpinan pasukan ke medan perang yang disebut saraya. Misalnya, dalam Perang Mu’tah diangkatlah tiga orang sahabat bergantian sebagai panglima perang: Ja’far bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah dan Abdullah bin Rawahah. Ketiganya syahid dalam perang tersebut. Akhirnya, mereka digantikan oleh Khalid bin Walid ra.

Karena itu siapa saja yang mengingkari fakta bahwa Rasulullah SAW adalah sosok pemimpin negara dan pemerintahan, maka mereka telah berdusta dan mengingkari kebenaran. Jelas, pada diri Nabi SAW terdapat keteladanan sebagai kepala negara dan pemerintahan yang wajib diteladani.

Baca Juga: Pesantren penyebab Meningkatnya Kasus Covid-19, Benarkah?

Kunci Sukses Mengelola Negara

Ada sejumlah kunci kesuksesan Nabi Muhammad SAW sebagai seorang kepala negara dan pemerintahan. Pertama: Pribadi beliau yang berakhlak mulia. Sebagai seorang kepala negara, Rasulullah SAW menunjukkan pribadi pemimpin yang mengayomi. Beliau bukan seperti raja yang selalu mendapat pelayanan dari rakyat. Beliau justru menjadi pelayan masyarakat. Nabi SAW nyata hidup sederhana bukan karena pencitraan.

Beliau pun selalu bekerja keras mengurus segenap urusan masyarakat dan memenuhi segala keperluan mereka. Inilah akhlak pemimpin yang sejatinya pelayan umat. Sabda beliau: "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka". (HR Ibnu Majah)

Kedua: Rasulullah SAW menjadikan akidah Islam sebagai landasan hidup bermasyarakat dan bernegara. Sebelum membangun negara dan pemerintahan di Madinah, dakwah Islam ditujukan untuk membongkar berbagai keyakinan batil yang ada di tengah-tengah masyarakat. Kemudian Nabi SAW menggantikan keyakinan mereka dengan akidah Islam. Beliau mengajak umat manusia mentauhidkan Allah SWT sekaligus tunduk hanya pada syariah-Nya.

Baca Juga: Fokus Membangun, Kepala Daerah Petahana Jangan Dulu Berpikir 2 Periode

Ketiga: Rasulullah SAW hanya menerapkan syariah Islam secara paripurna (kaffah) dan konsisten. Beliau tidak pernah berkompromi dengan siapapun saat menjalankan hukum-hukum Allah SWT. Saat Penaklukan Makkah, Nabi SAW tidak membiarkan satu berhala pun tersisa. Seluruh berhala dihancurkan oleh kaum Muslim atas perintah beliau. Perjuangan dakwah beliau SAW adalah dakwah fikriyah untuk menerapkan Islam kaffah bukan ruhiah semata.

Rasulullah SAW juga menegur sebagian orang yang membujuk beliau agar tidak menjatuhkan sanksi pidana potong tangan kepada seorang perempuan dari keluarga bangsawan Bani Makhzum. Beliau berkhutbah kepada kaum Muslim: "Sungguh orang-orang sebelum kalian hancur lantaran jika ada bangsawan mencuri, dibiarkan, sementara jika ada kaum lemah mencuri, dihukum. Demi Allah, andai Fathimah putri Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya". (HR al-Bukhari).

Baca Juga: Pendidikan; Bukan Me-Yatim-Piatu-kan Anak dan Me-monster-kannya

Meneladani Nabi SAW Secara Kaffah

Jelas, umat wajib mengikuti dan meneladani Rasulullah SAW secara kaffah. Tidak boleh setengah-setengah. Umat tidak boleh melepaskan sosok Nabi SAW dari syariah Islam yang beliau bawa. Umat tidak boleh mengambil sebagian keteladanan dari Nabi SAW lalu mencampakkan sebagian lainnya. Misalnya meneladani kelembutan akhlak Nabi SAW, tetapi meninggalkan keteladanan beliau dalam pemerintahan yang hanya menerapkan syariah-Nya. Di dalam Kitabullah telah diingatkan agar kaum Muslim mengambil semua yang dibawa Nabi SAW dan meninggalkan segala hal yang beliau larang.
Allah SWT berfirman:

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

"Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah amat keras hukuman-Nya."(QS al-Hasyr [59]: 7).

Baca Juga: Pendidikan; Bukan Me-Yatim-Piatu-kan Anak dan Me-monster-kannya

Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW bukanlah pilihan bagi umat, melainkan wajib diambil secara keseluruhan. Bentuk pemerintahan dan kenegaraan yang dipraktikkan oleh Nabi SAW yang diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin dalam wujud Khilafah, juga wajib untuk diambil, sebagaimana kaum Muslim berkewajiban mengikuti tatacara shalat yang dicontohkan oleh beliau.

Karena itu tentu aneh dan ironis jika ada keinginan meneladani Rasulullah SAW tetapi menolak dengan keras sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang menerapkan syariah secara kaffah yang notabene warisan Nabi SAW karena dianggap bertentangan dengan kesepakatan. Tentu meneladani Rasulullah SAW hanya dengan mengambil sebagian sunnah beliau sembari mencampakkan sebagian yang lain adalah kedurhakaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Wallahu a'lam bishshawab.***

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah