Amanah Jabatan Dan Kekuasaan, Harus Berorientasi Pada Kepentingan Rakyat

9 Februari 2021, 06:00 WIB
Lilis Suryani /Portal Majalengka/Pikiran Rakyat/Lilis Suryani

Oleh: Lilis Suryani

Meritokrasi merupakan sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan, senioritas, dan sebagainya.

Penerapan sistem merit dalam manajemen ASN diharapkan dapat memicu perubahan mendasar manajemen ASN di seluruh wilayah Indonesia ke arah yang lebih baik.

Mengingat, hingga kini masih ada anggapan dari masyarakat bahwa kualitas pelayanan publik masih kurang dan tidak efisien terutama di daerah. Berbagai masalah masih muncul dari birokrasi hingga sumber daya aparaturnya.

Baca Juga: Polri Ungkapan Kronologi Meninggalnya Ustadz Maaher di Rutan Bareskim Polri

Berkaitan dengan itu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil telah berhasil membawa daerah yang dipimpinnya meraih peringkat tertinggi dalam ajang Anugerah Meritokrasi yang diadakan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). 

Provinsi Jawa Barat dengan torehan 375.5 poin, berhak menjadi yang terbaik alias peringkat pertama. Sehingga, masuk kategori Sangat Baik dalam penerapan Sistem Merit bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkup pemerintahannya.

Gubernur Jabar mengungkapkan bahwa memang selama ini Jabar telah melaksanakan mekanisme birokrasi pemerintahannya berdasarkan sistem Merit.

Baca Juga: Terjebak Banjir di Dalam Rumah, Seorang Gadis di Pamanukan Subang Menangis Minta Tolong

Penghargaan ini menjadi bukti tidak ada lagi kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) pada manajemen ASN di wilayah Jabar.

Masyarakat mungkin menaruh harapan besar terhadap penerapan sistem ini agar dapat membantu mengontrol korupsi, suap dan praktek-praktik tidak etis yang lainnya dalam birokrasi.

Namun ternyata sejauh ini sistem meritokrasi baru ada pada tataran konsep saja, sedangkan pada prakteknya masih jauh panggang dari api. Pasalnya, kasus korupsi dari hari kehari justru mengalami peningkatan.

Baca Juga: Jelang Lawan Barcelona, France Football Pajang Foto Messi Berseragam PSG

Penerapan sistem demokrasi yang menjadi penyebab tidak berjalannya konsep meritokrasi, sekalipun konsep ini dinilai konsep yang efektif dan efisien.

Sebagaimana diketahui, dalam sistem politik demokrasi, rakyat diberikan kedaulatan penuh untuk membuat undang-undang.

Kala manusia diberikan hak untuk membuat sebuah peraturan, produk hukum yang dihasilkan berpeluang memiliki kecenderungan kepentingan.

Baca Juga: Imbas Banjir di Indramayu, Stasiun Terisi Jadi Tempat Pengungsian Warga

Walhasil politik yang dilakukan bukan lagi politik pelayanan kepada masyarakat, namun lebih pada tendensi kepentingan individu dan kelompok.

Bila kita berkaca pada Islam saat diterapkan dulu dalam tataran kenegaraan, sejak jaman Rasulullah hingga kekhilafahan setelahnya sistem meritokrasi ini telah nampak di terapkan juga.

Sejak lama, mekanisme pemerintahan dalam Islam tidak hanya efektif dan efisien, tetapi juga menutup peluang lahirnya diktatorianisme dan dominasi kekuasaan oleh kelompok tertentu.

Baca Juga: 2 Rumah Warga Kamarung Subang Hanyut Diterjang Banjir Bandang, Puluhan Lainnya Terendam

Sebab, baik rakyat maupun penguasa tidak diberi hak untuk membuat hukum yang lazim digunakan untuk memaksa orang lain. Do dalam Islam kedaulatan ada ditangan Syara'.

Pada dasarnya, seluruh kekuasaan di dalam Islam ditujukan untuk menegakkan hukum Allah SWT dan amar makruf nahi mungkar.

Tujuan seperti ini hanya bisa diwujudkan ketika tugas pemerintahan didelegasikan kepada ahlut-taqwa (amanah) dan ahlul-kifâyah (orang-orang yang memiliki kapabilitas). Untuk itu, prinsip umum pendelegasian tugas pemerintahan adalah ketakwaan dan kafâ’ah.

Baca Juga: Akibat Pergeseran Tanah, Jalan Nasional Ponorogo-Pacitan Kembali Ambles

Berkaitan dengan ketakwaan, dalam riwayat sahih dituturkan, ketika Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengangkat seseorang untuk menangani detasemen tempur, beliau selalu berwasiat takwa kepada mereka (HR Muslim dan Ahmad).

Berkenaan dengan kemampuan (kafâ’ah), Nabi saw. selalu mendelegasikan tugas penting kepada orang yang memiliki kekuatan (HR Muslim dari Abu Dzar ra.).

Ditinjau dari aspek akuntabilitas, seluruh penguasa dan pejabat yang ada di dalam Daulah Khilafah Islamiyah bertanggung jawab sepenuhnya terhadap apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab mereka.

Baca Juga: Abu Janda dan Natalius Pigai Bertemu Duduk Berhadapan, Bicara Apa ya Keduanya?

Tanggung jawab di sini bukan semata-mata tanggung jawab yang berkenaan dengan aspek-aspek profesionalitas atau legal formal belaka, tetapi juga menyangkut pertanggungjawaban yang bersifat ruhiah.

Sebab, jabatan adalah amanah yang akan diminta pertanggung jawaban tidak hanya di depan orang yang mendelegasikannya, tetapi juga di hadapan Allah SWT.

Tatkala Umar bin Abdul Aziz ra. diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau menyita dan menyerahkan kepada baitulmal semua harta benda, tanah garapan, dan harta-harta milik umum yang diambil dan dikuasai para penguasa Bani Ummayah dengan jalan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Baca Juga: Isu Kudeta, Pakar Sebut Elektabilitas Demokrat Naik hingga 2 Persen

Namun, sebelum melakukan semua itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. memulai dari dirinya sendiri.

Beliau ra. melepaskan hak atas semua kekayaan, kepemilikan, hewan tunggangan (kendaraan), perkakas rumah tangga, dan semua minyak wangi simpanannya.

Semuanya dijual dengan harga 23.000 dinar, atau setara dengan 4,25 gram emas X 23.000 = 97.750 gram emas, dan diserahkan kepada baitulmal. Jika harga 1 gram emas = Rp. 200.000, 00, maka total kekayaan beliau ra. yang diserahkan kepada baitulmal adalah Rp19,550 miliar (Hulyat al-Awliyâ’, V/253).

Baca Juga: Inalillahi, Ustaz Maaher Meninggal karena Sakit di Rutan Mabes Polri

Abdullah bin Umar ra., putra Umar bin al-Khaththab ra., pernah melaporkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab ra. memerintahkan pencatatan kekayaan para kepala daerah (wali), di antaranya adalah Saad bin Abi Waqqash ra.

Jika ada kelebihan kekayaan, beliau memerintahkan untuk membagi dua; separuh untuk pejabat tersebut dan sisanya diserahkan ke baitulmal. (As-Suyuthi, Târikh al-Khulafâ’, hlm. 132).

Kisah-kisah di atas menunjukkan bahwa penguasa di dalam Daulah Islamiyah bertanggung jawab terhadap tugas dan amanah mereka.

Baca Juga: Jaksa Pinangki Divonis 10 Tahun Penjara, Tak Bisa Buktikan Uang Warisan Suami

Tindakan itu dilakukan karena jabatan dan tugas dipandang sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah SWT.

Sehingga para pejabat negara di dalam Islam berorientasi pada kesejahteraan rakyat sebagai wujud dari tujuan untuk meraih keridhaan Allah. Bukan untuk mendapatkan award atau penghargaan dari manusia saja.

Wallahua'lam

Editor: Andra Adyatama

Tags

Terkini

Terpopuler