Sejarah Pandemi Penyakit di Cirebon, Ratusan Ribu Penduduk Meninggal Dunia karena Wabah Ini

23 Maret 2022, 17:15 WIB
Wabah Covid-19 merebak di awal 2020 sampai sekarang, wabah penyakit juga sempat menerjang Cirebon di awal tahun 1900-an. /Ilustrasi/Freepik.com

PORTAL MAJALENGKA - Sejarah akan mencatat, tahun 2020-2021 merupakan salah satu periode paling kelam bagi perkembangan peradaban umat manusia di dunia.

Sejarah perkembangan wabah penyakit terjadi pada periode tersebut, karena merebaknya Covid-19 yang mulai dari Kota Wuhan di China.

Dari Wuhan, virus itu menyebar ke seluruh penjuru dunia dan mengakibatkan jutaan manusia meninggal karena terinfeksi virus Covid-19.

Setiap negara menerapkan kebijakan darurat sipil. Seluruh aktivitas manusia dihentikan demi mengurangi penyebaran virus tersebut.

Baca Juga: Kritisi Kebijakan Relaksasi Karantina, Epidemiologi UI: Wabah Belum Sepenuhnya Terkendali

Pergerakan dunia menjadi lumpuh akibat penyebaran virus tersebut, termasuk Indonesia, khususnya Cirebon yang notabene sebagai wilayah perdagangan barang dan jasa.

Jika flasback di akhir abad ke 18 dan memasuki abad 19, wabah penyakit juga pernah menyerang Cirebon.

Saat itu Cirebon masih dalam tahap pengembangan dari wilayah kesultanan menjadi wilayah administrasi kolonial Belanda.

Sebagai kota yang berada di wilayah tropis, wabah Malaria menjadi momok yang cukup menakutkan.

Dalam ulasan buku Wabah Penyakit dan Penanganannya di Cirebon 1906-1940 karya  Imas Emalia (2020), wabah Malaria mulai muncul di  Cirebon tahun 1805.

Baca Juga: Dua Kabar Luar Biasa Terkait Pandemi COVID-19 Akan Bikin Hati Kita Gembira, Simak di Sini

Penyebabnya bukan karena erupsi Gunung Ciremai, melainkan karena kondisi lingkungan yang berawa-rawa, kumuh dan tidak terawat.

“Bila dibandingkan dengan kota-kota lain yang boleh saya kunjungi, seperti Batavia dan Semarang. Cirebon yang paling kotor,” kata dr Douglas, seorang dokter yang melakukan penelitian di sejumlah kota-kota Hindia-Belanda yang dikutip dalam buku tersebut.

Namun, kesimpulan dari penelitian dr Douglas tidak ditanggapi oleh pemerintah kolonial saat itu. Karena masih berpegang pada dugaan, jika penyakit yang menjangkit penduduk bukan dari malaria, melainkan pes.

“Pemerintah beralasan, penyakit malaria hanya ada di India, karena lingkungannya kotor dan berawa-rawa dengan kualitas udara yang buruk, angin laut dan air dingin. Sementara, Cirebon tidak separah itu,” demikian kutipan dalam buku tersebut.

Kemudian, penyakit malaria muncul lagi di  Cirebon pada tahun 1873 di wilayah Cirebon Barat. Namun, ditemukan juga di wilayah lainnya, seperti Majalengka, Galuh dan Kuningan.

Baca Juga: Berikut Cara Copas Caption Instagram Tanpa Gunakan Aplikasi Tambahan

“Ratusan penduduk dilaporkan meninggal dunia akibat wabah Malaria ini,” kutip buku tersebut dari dokumen ANRI “Malaria Bestrijding Verondening Regentschap Koeningan,” Departement van Binnendlandsch 1940-1942.

Kasus yang sama juga terjadi pada tahun 1876, 1889,1903, 1906, 1910, dan 1917. Pada periode tersebut, Cirebon tengah membangun rel kereta api Cikampek-Cirebon dan Cirebon-Semarang.

Para insinyur yang bekerja dalam pembangunan rel kereta api tersebut, sebenarnya sudah memberikan peringatan kepada pemerintah kolonial Belanda bahwa penggalian tanah untuk rel bukan prioritas utama.

Tapi yang perlu diprioritaskan untuk menanggulangi wabah Malaria adalah dengan normalisasi Kali Bacin dan Kali Sukalila. Karena genangan air dari dua sungai tersebut yang menjadi berkembangnya nyamuk malaria.

Lagi-lagi, saran tersebut tidak diperhatikan oleh pemerintah kolonial saat itu.

Baca Juga: Kisah Masa Kecil Sunan Gunung Jati, Kebiasaan yang Aneh Hingga Ingin Mengembara

Selain kebijakan pemerintah kolonial yang tidak peduli dengan persoalan wabah, aktivitas penduduk saat itu juga turut mempengaruhi.

Misalnya membuang sampah ke sungai dan menyiram air got ke jalanan agar tidak berdebu pada saat musim kemarau.

Pada tahun 1915, Residen Feith mengirim sebuah telegram kepada der Volksgezondheid (DVG) atau layanan kesehatan publik (dinas kesehatan, red) Jawa Barat terkait penyebaran wabah Malaria di Cirebon.

Menjawab telegram tersebut, DVG Jawa Barat menugaskan dr O Shiau Dhai ke Cirebon untuk mengatasi penyakit malaria.

Dari hasil pemeriksaannya, dia menemukan dari 37 anak yang tinggal di daerah Kejaksan diambil sampel darahnya, ada 11 anak yang mengandung parasit malaria.

Baca Juga: Benarkah Makam Tan Malaka Tidak Ada? Berikut Ulasannya

Lalu, Dokter O juga mengumpulkan data kematian yang terjadi di tahun 1915.

“Grafik hasil penelitian menunjukkan tingkat kematian tertinggi di Cirebon terjadi di 3 tempat, yakni Kejaksan, Mundu dan Cangkol,” kutip buku Wabah Penyakit dan Penanganannya di Cirebon 1906-1940 karya Imas Emalia (2020) dari De Gezondmaking van Cheribon, Overdruk uit De Koloniale Studien, Vierde Jaargang, Deel 1, 1916-1917.

Tingkat kematian akibat malaria di Cirebon tertinggi terjadi pada tahun 1915. Dari 450 jumlah penduduk di Kejaksan 161 menderita malaria.

“Dari 26.000 orang yang ada di Cirebon, 1.200 orang meninggal dunia akibat malaria,” sumber dari surat kabar de Preanger Bode terbit 10 Februari 1915. *

Editor: Ayi Abdullah

Sumber: Buku Wabah Penyakit dan Penanganannya di Cirebon 1906-1940

Tags

Terkini

Terpopuler