Pakar : Instruksi Mendagri Bukan Instrumen Hukum Memberhentikan Kepala Daerah

- 20 November 2020, 21:20 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid menilai Instruksi Mendagri tidak bisa jadi landasan untuk memberhentikan kepala daerah
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid menilai Instruksi Mendagri tidak bisa jadi landasan untuk memberhentikan kepala daerah /HO-Dok. Pribadi

Dengan demikian, kata Fahri, Beleid selain dari jenis perundang undangan seperti yang diatur oleh UU PPP adalah bukan bersifat “regeling” yang dapat mengatur sanksi ataupun larangan terhadap sesuatu.

“Terkait dengan materi muatan instruksi sepanjang berkaitan dengan sanksi pemberhentian kepala daerah yang diangap serta dapat dikualifisir melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya UU Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, UU RI Nomor 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan serta berbagai peraturan derifatif dari UU tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah kurang proporsional serta cenderung eksesif,” katanya.

Baca Juga: Mendagri Tito Karnavian Bantah Melarang Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Disebutkan Fahri, ada semacam surplus kebijakan yang pada akhirnya instruksi tersebut sulit dan tidak dapat dieksekusi, karena tidak sejalan dengan prinsip hukum itu sendiri.

Menurut dia, jika dilihat dari optik hukum tata negara, proses pengisian kepala daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi dengan mengedepankan prinsip daulat rakyat.

Maka secara teoritik proses pemberhentian kepala daerah tentunya melalui mekanisme yang melibatkan rakyat yaitu lembaga perwakilan (DPRD).

Baca Juga: Kemugkinan Libur Panjang Akhir Tahun 2020 Ditiadakan

Secara khusus, kata dia, prosedur pemberhentian kepala daerah telah diatur sedemikian rupa dalam UU RI Nomor 23/2014 khususnya ketentuan norma Pasal 79 sampai dengan Pasal 82 terkait Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Secara teknis yuridis, konstruksi pranata pemakzulan (impeachment) kepala daerah yaitu melalui pintu DPRD setempat kemudian diajukan kepada Mahkamah Agung untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD.

“Apakah kepala daerah atau wakil kepela daerah itu dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, atau MA memeriksa dugaan pelanggarannya menurut hukum,” jelasnya.

Halaman:

Editor: Hanif Maulana

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah