Singgung RUU Pemilu, Demokrat : Pilkada dan Pilpres Jangan Serentak di Tahun 2024

- 17 Januari 2021, 03:30 WIB
Logo Partai Demokrat.  Partai Demokrat meminta Pilkada 2022 dan 2023 tidak diserentakkan dengan Pilpres 2024
Logo Partai Demokrat. Partai Demokrat meminta Pilkada 2022 dan 2023 tidak diserentakkan dengan Pilpres 2024 /Dok. Demokrat.or.id.

PORTAL MAJALENGKA – Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu masuk salah satu program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2021.

Partai Demokrat berharap pembahasan RUU Pemilu di Komisi II DPR RI tidak menyerentakkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2022 dan 2023 dengan pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) 2024.

“Demokrat meminta agar Pilkada tahun 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan, tidak digabung dengan Pileg dan Pilpres 2024,” ujar Kepala Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra kepada ANTARA di Jakarta, Sabtu 16 Januari 2021.

Baca Juga: 33 RUU Prolegnas Prioritas Disetujui, Fraksi Golkar dan Fraksi Gerindra Soroti RUU BPIP

Ada tiga pertimbangan yang disampaikan oleh Herzaky terkait mengapa Demokrat tidak ingin Pilkada, Pilpres, dan Pileg diserentakkan.

Pertama, menurut dia, Pilkada bersamaan dengan Pileg dan Pilpres 2024 akan menciptakan beban teknis pemilihan berlebih bagi penyelenggara pemilu.

Ketika baru Pileg dan Pilpres saja yang disatukan pada 2019 silam, telah jatuh korban 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit.

Menurut dia, beban kerja di Pemilu serentak 2019 yang cukup besar menjadi salah satu faktor banyak petugas yang sakit atau meninggal dunia.

Baca Juga: Pemilu 2024 PKS Targetkan 15 Persen Suara Nasional

Kedua, jika Pilkada ditunda, akan muncul permasalahan akibat pejabat kepala daerah yang terlalu lama menjabat.

Khususnya di daerah-daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya pada 2022 dan 2023, dan baru akan melaksanakan Pilkada tahun 2024 sesuai dengan Pasal 201 Ayat 9 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Pejabat kepala daerah itu tidak dapat mengambil keputusan strategis. Herzaky mencontohkan, apakah tahun 2022 dan 2023 nanti isu pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi yang menerpa saat ini sudah berakhir.

Dengan adanya kepala daerah definitif hasil pemilu, kebijakan strategis pro-rakyat untuk mengatasi pandemi Covid-19 maupun dampak ekonomi yang menyertai dapat diambil.

Baca Juga: Arief Budiman Tegaskan Tidak Pernah Mencederai Integritas Pemilu

Ketiga, bercermin dari pengalaman Pemilu 2019, kampanye legislatif tenggelam riuh rendahnya pemilu presiden.

Maka ketika diserentakkan, perdebatan visi-misi di tingkat pileg, pilpres, dan pilkada berpotensi tumpang tindih.

Isu pilkada juga bisa tenggelam jika pelaksanaannya berdekatan dengan Pileg dan Pilpres 2024.

Proses kompetisi juga sangat kompleks. Hal itu bisa memicu tindakan-tindakan ilegal layaknya politik uang, politisasi sara, dan politik identitas secara terstruktur, sistematis, dan masif, demi kemenangan semata.

Baca Juga: AHY Targetkan Demokrat Menang 50 Persen di Wilayah Pilkada

“Memang rekonsiliasi di tingkat elit sudah dilakukan pasca-pemilu, tetapi luka mendalam di masyarakat, terutama kalangan akar rumput, sudah terlanjur dalam dan sulit untuk dipulihkan. Kondisi seperti ini tentunya sangat tidak sehat untuk demokrasi Indonesia,” kata Herzaky. ***

Editor: Ayi Abdullah

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x