Dari beberapa informasi serta cerita yang berkembang di masyarakat, saat peristiwa tersebut konon Syekh Magelung Sakti harus berfikir keras mengenai syarat permintaan para makhluk gaib yang menghuni tiap gamelan Ki Gedeng Tersana yang meminta untuk diberi sesaji.
Awal mereka mengajukan permohonan tumbal manusia yang ditolak keras Syekh Magelung Sakti. Mereka kemudian diberi penjelasan bahwa dalam islam tidak mengenal sistem persembahan tumbal, tapi kurban hewan dan dilakukan sesuai kemampuan.
Dijelaskan pula pada para makhluk tersebut bahwa pelaksanaan kurban hanya dilakukan satu kali dan dagingnya kemudian dibagi-bagi kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan.
Baca Juga: Abu Nawas Bisa Ambil Mahkota dari Surga, Raja Harun Ar Rasyid Terdiam Mendengar Syaratnya
Konon Syekh Magelung Sakti menegaskan kepada Ki Gedeng Tersana dan para makhluk gaib tersebut, jika berkenan masuk agama Islam dan ingin tinggal bersama di Karangkendal maka wajib atas mereka untuk bersikap dan bertindak Islami serta mampu menjaga keharmonisan hidup dengan sesama makhluk hidup.
Sebagai kebijakan sekaligus menjadi simbol kebersamaan sejak Ki Gedeng Tersana serta para makhluk gaib tinggal di wilayah Karangkendal, maka dalam tiap tahun yang jatuh pada bulan maulid diadakan penyembelihan satu ekor hewan kerbau sebagai kurban.
Kebiasaan ini kemudian terus berlanjut hingga sekarang, dan momen itu lebih dikenal dengan adat unjungan Desa Karangkendal.
Dalam hal ini penting untuk digaris bawahi bahwa pelaksanaan kurban dalam perayaan unjungan Desa Karangkendal, menurut para tetua bukan sebagai bentuk persembahan melainkan tradisi syukuran atas nikmat yang telah diberikan Tuhan.
Daging kerbau yang dikurbankan kemudian dibagikan ke masyarakat.
Baca Juga: Dibuat Ketar-ketir Sunan Gunung Jati, Prabu Siliwangi Gandeng Portugis