Perempuan Di Sekitaran Pilkada Bandung

- 15 November 2020, 17:00 WIB
Ilustrasi Pilkada Serentak 2020. /
Ilustrasi Pilkada Serentak 2020. / /Pikiran-Rakyat.com/Fian Afandi/
 
Oleh: Tiktik Maysarah
 
Pilkada sudah di depan mata, para paslon sudah mempersiapkan berbagai jurus andalan guna meyakinkan dan menarik simpatik masyarakat. 
 
Walau keadaan mencekam, kondisi kesehatan masyarakat terancam karena jumlah korban pandemi yang semakin meninggi.
 
Namun, kampanye tetap di lakukan dengan himbauan menjalankan protokol kesehatan.
 
 
Di kabupaten Bandung sendiri, pilkada tahun ini diikuti oleh 3 paslon, 2 diantaranya kandidat perempuan.
 
Bukan hal yang mustahil jika kandidat perempuan ini akan membuka peluang untuk menjadi kepala daerah pertama di kabupaten Bandung.
 
Sebab masyarakat saat ini tidak peduli dengan kompleksitas, yang penting masyarakat menyukai paslon yang di jadikan kandidatnya, mengetahui program visi misinya serta adanya dukungan penuh dari tokoh-tokoh masyarakat.
 
 
Dan ada 2 paslon yang paling menonjol saat ini adalah paslon Nia-Usman yang diusung Golkar dan Yena-Asep yang diusung PDIP.
 
Adalah bukan hal yang aneh di era ini, kaum perempuan terjun ke dunia perpolitikan, karena mereka menganggap bahwa terjunnya perempuan ke dalam dunia perpolitikan adalah sebuah nilai universal yang harus diperjuangkan semua orang. 
 
Kaum perempuan yang menginginkan sebuah pengakuan kesetaraan dalam kepemimpinan dan berada dalam kondisi dan status yang sama untuk merealisasikan hak asasinya dan sama-sama berpotensi menyumbang kemajuan pembangunan. 
 
 
Pandangan seperti ini lahir dari pemikiran barat yang kemudian memunculkan ide feminisme yang merupakan induk dari kesetaraan gender yang orientasi gerakannya bersifat sosial politik, perjuangannya dilakukan melalui parlemen. 
 
Lalu apakah dengan dijadikannya perempuan sebagai seorang pemimpin, mampu merubah tatanan sosial politik dalam pemerintahan menjadi lebih baik?
 
Islam menyatakan bahwa kemuliaan adalah milik laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan islam, laki-laki dan perempuan dilihat secata proporsional.
 
 
Yang mempunyai kedudukan dan tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan tujuan-tujuan luhur masyarakat. 
 
Namun, Islam tidak menafikan adanya perbedaan jenis yang realitasnya membawa konsekuensi pada perbedaan peran sosial sebagaimana yang dinafikan kalangan feminis.
 
Termasuk ketika perempuan akhirnya diberi peran sosial khusus sebagai istri dan ibu, sementara laki-laki diberi peran khusus sebagai kepala keluarga berikut hak dan kewajiban, serta aturan-aturan menyangkut relasi keduanya yang berbeda. 
 
 
Di sinilah letak keadilan Islam Karena Islam memberi nilai kemuliaan bukan pada jenis peran sosialnya, tetapi pada sejauh mana kedua pihak melaksanakan peran-peran sosial ini sesuai tuntunan Allah SWT (Itulah yang disebut dengan kadar ketakwaan).
 
Maka jelas, dengan terjunnya perempuan untuk menjadi seorang pemimpin, tak akan mampu menghantarkan perempuan pada kemuliaan namun, justru akan menghantarkan kepada kerusakan.
 
 
Hanya dengan menerapkan syariah kaffah dalam bingkai negara Khilafah Islamiyyah negara akan mendapatkan keberkahan dan masyarakat senantiasa sejahtera. 
 
Wallahu A’lam bishshawwab.***

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x