Omnibus Law, Konflik Lahan Dan Kerusakan Lingkungan

- 23 Oktober 2020, 05:00 WIB
Ilustrasi penolakan Omnibus Law di berbagai daerah di Indonesia.
Ilustrasi penolakan Omnibus Law di berbagai daerah di Indonesia. /ANTARA/Mohamad Hamzah

Jika sebelumnya Amdal menjadi syarat izin lingkungan dan izin lingkungan menjadi syarat izin usaha, maka dalam UU Omnibus Law aturan itu disederhanakan.

Izin lingkungan menjadi bagian dari izin usaha. Amdal bukan lagi prasyarat perizinan namun sebatas sebagai faktor yang dipertimbangkan.

Baca Juga: Pesantren penyebab Meningkatnya Kasus Covid-19, Benarkah?

Selain itu, pemberian izin lingkungan kini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak dapat lagi memberikan rekomendasi izin apapun.

Padahal dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan, dokumen Amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangan.

Kedua, Pasal 26. Dalam pasal tersebut mengatur bahwa analisis dampak lingkungan (Amdal) disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan atau kegiatan.

Baca Juga: Fokus Membangun, Kepala Daerah Petahana Jangan Dulu Berpikir 2 Periode

Sementara di UU 32/2009, penyusunan Amdal harus melibatkan masyarakat yang terdampak, pemerhati lingkungan hidup dan yang terpengaruh atas keputusan dalam proses Amdal.

Artinya kelihatannya harus melibatkan seluruh masyarakat. UU ini justru menjadikan penyusunan Amdal hanya dianggap sebagai proses administrasi belaka.

Padahal, tujuan menyusun Amdal untuk memetakan dampak dan meminimalisir konflik dari kegiatan berusaha tersebut. Untuk memetakan hal tersebut, partisipasi masyarakat tidak bisa dibatasi.

Halaman:

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah