Perilaku Pemimpin Islam; Sebuah Cermin

- 9 September 2020, 09:59 WIB
Dr H Masduki Duryat MPdI
Dr H Masduki Duryat MPdI /

Oleh: Masduki Duryat

Perilaku pemimpin Islam dalam konteks antikorupsi ini melekat pada kepemimpinan nabi Muhammad—yang oleh Syafii Antonio disebutnya sebagai pemimpin yang holistic, accepted dan proven—yang dalam satu kesempatan dengan tegas mengatakan: “law anna fathimata binti Muhammadin syaraqat, laqata’tuha”,

seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya saya potong tangannya. Sebuah sikap yang tanpa pandang bulu dengan menempatkan siapapun sama di mata hukum.

Baca Juga: PCNU Majalengka Tetap Gulirkan Beragam Program Keumatan Ditengah Pandemi

Abu Bakar, Umar Bin Khaththab; Generasi Didikan Nabi

Abu Bakar Shiddiq, Umar Bin Khathab, amirul mu’minin didikan nabi Muhammad, ketika menjadi pemimpin sungguh-sungguh meletakkan amanat—walaupun berat—sebagai sesuatu yang harus disampaikan di atas segalanya.

Baca Juga: Ditengah Keterbatasan, PDAM Berikan Kontribusi Positif Terhadap PAD Majalengka

Abu Bakar selesai dibaiat menjadi pengganti nabi sebagai pemimpin ummat Islam, langsung berpidato;

“Para hadirin sekalian, sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik. Maka jika aku berbuat kebaikan bantulah aku. Dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku.

Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian, sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya, insya Allah.

Baca Juga: Bupati Berharap Objek Wisata Mampu Tingkatkan PAD ditengah Pandemi Covid-19

Sebaliknya siapa yang kuat di antara kalian, maka dialah yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya.

Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan timpakan kepada mereka suatu kehinaan, dan tidaklah suatu kekejian terbesar di tengah suatu kaum kecuali adzab Allah akan ditimpakan kepada seluruh kaum tersebut. Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan RasulNya.

Tetapi jika aku tidak mematuhi keduanya maka tiada kewajiban taat atas kalian terhadapku. Sekarang berdirilah kalian untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian.” (Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah 4/413-414, tahqiq Hamma Sa’id dan Muhammad Abu Suailik).

Baca Juga: Pemerintah Perpanjang Keringanan Biaya Listrik, Siapa Saja yang Dapat?

Demikian pula Umar bin Kaththab ketika menjadi khalifah—yang sebelumnya pernah didoakan oleh rasulullah; “Ya Allah kokohkanlah Islam dengan salah satu dari dua orang yang paling Engkau cintai, dengan ‘Umar bin Khaththab atau dengan Abu Jahal bin Hisyam.” (HR Tirmidziy, dari Ibnu Umar)—tegas dan menjadi pengikut nabi yang setia membela dan memperkokoh risalah Islam.

Beliau tidak pandang bulu. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan di padang rumput milik Baitul Mal. Ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.

Kerisauan Umar ra. yang takut kelak akan dihadapkan pada pengadilan Allah, kemudian beliau risau kalau ditanya tentang rakyatnya.

Baca Juga: Bukan Hanya Batuk dan Demam, Diare Juga Gejala Covid-19

Kata beliau, “demi Allah kalau benar aku telah berbuat adil terhadap mereka, aku tetap khawatir akan diri ini. Aku khawatir tidak dapat menjawab pertanyaan Allah. Dan risau kalau ada rakyat yang terzalimi olehku, sedangkan aku tidak menyadarinya”

Umar bin Khaththab terkenal tegas dan kukuh dalam berpegang kepada kebenaran. Namun, dalam hal kematian beliau pun senantiasa teringat padanya. Beliau menangis saat mendengarkan ayat-ayat atau peringatan tentang akhirat.

Bahkan cincin yang dikenakannya bertuliskan “Kematian itu sudah cukup sebagai peringatan, wahai Umar!” Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah Umar bin al-Khaththab di awal pemerintahannya pernah menyatakan, “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam maka luruskan aku walaupun dengan pedang.”

Baca Juga: Calon Kepala Daerah Ada yang Positif Covid-19, Status Calon Tidak Gugur

Beliau juga mengajarkan para pemimpin di bawahnya, yakni para gubernur untuk tidak menyalahgunakan kekuasaannya.

Pernah ‘Amru bin Ash, gubernur yang sangat berjasa menaklukkan Mesir, diberi hukuman cambuk karena seorang rakyat Mesir melapor bahwa dirinya pernah dipukul sang gubernur. Orang yang melapor itu sendiri yang disuruh memukulnya.

Riwayat yang melegenda dalam sejarah kepemimpinan Umar adalah perhatiannya yang tulus kepada rakyatnya.

Baca Juga: Kasus Terkonfirmasi Positif Covid-19 di Majalengka Nyaris Sentuh Angka 100

Pada suatu saat secara diam-diam dia turun berkeliling di malam hari untuk menyaksikan langsung keadaan rakyatnya. Pada suatu malam, saat sedang berkeliling di luar kota Madinah, di sebuah rumah dilihatnya seorang perempuan sedang memasak sesuatu, sedang dua anak perempuan duduk di sampingnya berteriak-teriak minta makan.

Perempuan itu, saat menjawab pertanyaan khalifah, menjelaskan bahwa anak-anaknya lapar, sedangkan di ceret yang dia jerang tidak ada apa-apa selain air dan beberapa buah batu.

Itulah caranya dia menenangkan anak-anaknya agar mereka percaya bahwa makanan sedang disiapkan.

Baca Juga: Meninggal Saat Rapat Anggaran, Anggota DPRD Sulsel Diduga Terkena Serangan Jantung

Tanpa menunjukan identitasnya, khalifah bergegas kembali ke Madinah yang berjarak tiga mil. Dia kembali dengan memikul sekarung terigu, memasakkannya sendiri, dan baru merasa puas setelah melihat anak-anak yang malang itu sudah merasa kenyang.

Keesokan harinya, dia berkunjung kembali, dan sambil meminta maaf kepada perempuan itu dia meninggalkan sejumlah uang sebagai sedekah kepadanya.

Pada masa pemerintahannya dibentuk lembaga peradilan yang independen. Selama masa pemerintahan Umar diadakan pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif.

Baca Juga: Ini Tahapan Pilkada Serentak tahun 2020

Von Hamer mengatakan, “Dahulu hakim diangkat dan sekarang pun masih diangkat. Hakim ush-Shara ialah penguasa yang ditetapkan berdasar undang-undang, sebab undang-undang menguasai seluruh keputusan pengadilan, dan para gubernur dikuasakan menjalankan keputusan itu.

Dengan demikian dengan usianya yang masih sangat muda, Islam telah mengumandangkan dalam kata dan perbuatan, pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif.”

Pemisahan seperti itu belum lagi dicapai oleh negara-negara paling maju, sekalipun di zaman modern ini.

Baca Juga: Uji Coba Pembelajaran Tatap Muka Hanya Berlangsung 4 Jam

Pemisahan wewenang ini menghidupkan check and balance antara eksekutif yang melaksanakan pemerintahan dengan lembaga peradilan sebagai ujung tombak penegakkan hukum.

Dengan sistem ini eksekutif tidak dapat meng-intervensi keputusan dan proses hukum yang sedang berjalan, hingga jauh dari budaya korupsi, kolusi dan nepotisme.

Maka sesungguhnya, jauh sebelum ada teori mengenai Trias Politica (Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif), Umar bin Khattab sudah menerapkan hal itu.

Baca Juga: Kemenkeu Berikan Bantuan Pulsa, Cek Saldo Anda

Cuma perbedaannya Umar tidak menjadikannya sebagai teori, tapi Umar menerapkan dalam pemerintahannya.

Umar pernah menyampaikan pidatonya di depan kaum muslimin: “Saudara-saudaraku! Aku bukanlah rajamu yang ingin menjadikan Anda budak. Aku adalah hamba Allah dan pengabdi hamba-Nya. Kepadaku telah dipercayakan tanggung jawab yang berat untuk menjalankan pemerintahan khilafah.

Adalah tugasku membuat anda senang dalam segala hal, dan akan menjadi hari nahas bagiku jika timbul keinginan barang sekalipun agar anda melayaniku.

Baca Juga: Bupati Majalengka Akan Berikan Satu Unit Damkar Bulan Ini

Aku berhasrat mendidik anda bukan melalui perintah-perintah, tetapi melalui perbuatan.”

Umar bin Abdul Aziz; Generasi Terbaik Berikutnya

Satu lagi generasi terbaik yang pernah dilahirkan oleh Islam ketika menjadi pemimpin—dari sekian banyak generasi terbaik—adalah Umar bin Abdul Aziz.

Suatu hari Umar bin Abdul Aziz menyewa seekor unta dari seorang pemilik unta untuk perjalanan ke luar kota. Di tengah perjalanan yang kanan dan kirinya penuh dengan pepohonan, tiba-tiba serban Umar tersangkut pohon dan jatuh ke tanah.

Baca Juga: Timnas U-19 Waspadai Set Piece Kroasia

Setelah satu kilometer, Umar baru diberi tahu bahwa serbannya terseret pohon. Lalu, Umar turun dari unta dan berjalan mengambil sorbannya.

“Wahai Amirul Mukminin mengapa engkau mengambil sendiri sorban itu? Bukankah kita bisa mengambilnya dengan mengendarai unta,” tanya sang pemilik unta kepada Umar terheran-heran. “Tidak, saya menyewa unta hanya untuk pergi bukan untuk kembali,” ujar Umar.

“Mengapa engkau tidak menyuruhku mengambilnya,” tanya pemilik unta penasaran. “Tidak juga, karena sorban itu bukan milikmu, tapi milikku,” ujarnya dengan mantap.

Kisah di atas menggambarkan keteladanan seorang pemimpin yang patut ditiru dalam memanfaatkan kedudukannya.

Baca Juga: Jokowi Pastikan Bansos Berlanjut Tahun 2021

Meski Umar berkedudukan sebagai khalifah, ia tidak ingin seenaknya memerintah atau memperlakukan rakyatnya tanpa kendali.

Baginya, kedudukan bukanlah sekat atau struktur egoisme atau kesombongan, tapi menjadi jembatan untuk memberikan jalan terbaik bagi rakyatnya.

Umar juga tak pernah melampaui batas dalam menggunakan barang milik rakyat ketika dia harus menyewanya.

Ringkasnya, Umar Abdul Aziz adalah sosok pemimpin lurus (adil) yang tidak semaunya menggunakan tenaga kaum lemah. Ia tidak duduk terlena di atas tahta singgasana.

Baca Juga: Tuntut Permintaan Maaf, Trump Sebut Biden “Bodoh”

Umar Abdul Aziz adalah pemimpin yang sangat cepat mencairkan kebekuan rakyat dengan jalan arif dan memudahkan.

Pangkat dan kedudukannya tidak menjadikannya jadi penghalang untuk turun ke lapangan guna membantu dan menyelesaikan segala kesulitan yang dihadapi rakyat. “Permudahlah urusan umat manusia dan jangnlah kalian persulit,” sabda Nabi SAW.

Kisah di bawah ini, cukup menjadi cerminan bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah pemimpin yang amanah, sederhana dan menempatkan sesuatu pada tempatnya (adil)—dikisahkan kembali dalam Republika.

Sebelum menjadi khalifah, Umar gemar memakai wangi-wangian dan pakain sutra. Namun, semenjak diangkat menjad khalifah, ia justru mengganti pakaiannya yang terbuat dari kain yang kasar. Perhiasan istrinya ia jual dan uangnya dimasukkan ke kas negara (baitul mal).

Baca Juga: Muncul Paguyuban yang Janjikan Uang dari Bank Swiss Resahkan Warga

Suatu hari, istrinya mendapat hadiah sebuah kalung dari seorang raja negara lain. Umar meminta istrinya memberikan kalung tersebut pada baitul mal. Istrinya menolak dengan alasan kalung itu hadiah untuknya.

“Kau diberi hadiah karena kau istri khalifah. Kalau seandainya kau bukan siapa-siapa, tentu kau tidak akan mendapatkannya,” ujar Umar mengingatkan istrinya.

Begitu juga pada suatu malam anaknya berkunjung ke kantor ayahnya. Maka, Umar bertanya terlebih dahulu, “Kau datang untuk urusan negara atau urusan keluarga?”

Anaknya menjawab bahwa ia datang untuk urusan keluarga, seketika Umar pun mematikan penerang yang ada di dalam ruangannya.

Baca Juga: Selama Agustus Konsumsi BBM Meningkat, Potensial Tumbuhkan Ekonomi

Menurut Umar, penerang yang disediakan itu memakai uang kas negara, sehingga harus dipakai untuk kepentingan negara saja.

Gaya kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz diterapkan atas dasar Alquran dan sunah Rasul. Masa kepemimpinannya telah memberikan dampak positif pada negara.

Dalam 2,5 tahun, seluruh rakyat merasakan kemakmuran kesejahteraan dan keamanan.

Wallahu a’lam bi al-shawab***

Editor: Andra Adyatama


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x