Omnibus Law, Konflik Lahan Dan Kerusakan Lingkungan

23 Oktober 2020, 05:00 WIB
Ilustrasi penolakan Omnibus Law di berbagai daerah di Indonesia. /ANTARA/Mohamad Hamzah

Oleh : Dwi P. Sugiarti

(Aktivis Muslimah Majalengka)

Pengesahan UU Omnibus Law telah menyisakan polemik berkepanjangan. Meski awalnya undang-undang ini disahkan bertujuan untuk menyederhanakan berbagai regulasi yang dinilai panjang dan tumpang tindih nyatanya hal tersebut tak semuanya benar.

Pasalnya undang-undang tersebut justru lebih banyak menguntungkan para investor. Salah satu undang-undang yang terdampak adalah Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Terdapat 30 pasal UU Nomor 32 Tahun 2009 yang berubah17 pasal yang dihapus dan 1 pasal tambahan.

Secara garis besar UU Omnibus Law Ciptaker telah menghapus, mengubah dan menetapkan aturan baru tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. (Katadata, 06/10/2020).

Baca Juga: Depresi dan Stress Perlu Penanganan Komprehensif

Pasal-Pasal Bermasalah

Beberapa pasal  yang dinilai bermasalah bahkan rentan merugikan rakyat tentang hal ini antara lain pertama, Pasal 24 UU Ciptaker tentang pemberian izin lingkungan dan Amdal.

Jika sebelumnya Amdal menjadi syarat izin lingkungan dan izin lingkungan menjadi syarat izin usaha, maka dalam UU Omnibus Law aturan itu disederhanakan.

Izin lingkungan menjadi bagian dari izin usaha. Amdal bukan lagi prasyarat perizinan namun sebatas sebagai faktor yang dipertimbangkan.

Baca Juga: Pesantren penyebab Meningkatnya Kasus Covid-19, Benarkah?

Selain itu, pemberian izin lingkungan kini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak dapat lagi memberikan rekomendasi izin apapun.

Padahal dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan, dokumen Amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangan.

Kedua, Pasal 26. Dalam pasal tersebut mengatur bahwa analisis dampak lingkungan (Amdal) disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan atau kegiatan.

Baca Juga: Fokus Membangun, Kepala Daerah Petahana Jangan Dulu Berpikir 2 Periode

Sementara di UU 32/2009, penyusunan Amdal harus melibatkan masyarakat yang terdampak, pemerhati lingkungan hidup dan yang terpengaruh atas keputusan dalam proses Amdal.

Artinya kelihatannya harus melibatkan seluruh masyarakat. UU ini justru menjadikan penyusunan Amdal hanya dianggap sebagai proses administrasi belaka.

Padahal, tujuan menyusun Amdal untuk memetakan dampak dan meminimalisir konflik dari kegiatan berusaha tersebut. Untuk memetakan hal tersebut, partisipasi masyarakat tidak bisa dibatasi.

Baca Juga: Pendidikan; Bukan Me-Yatim-Piatu-kan Anak dan Me-monster-kannya

Ketiga, Pasal 88. Sebelumnya dalam RUU Omnibus Law, bunyi pasal 88 UU PPLH adalah, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan".

Namun pemerintah menghapus ketentuan “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” sehingga pasal 88 tersisa, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya”.

Apalagi dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dapat menjerat pelaku pembakar hutan dan lahan (karhutla) namun pemerintah menghapusnya di UU Cipta Kerja.

Baca Juga: Bupati Bandung Layangkan Surat Penolakan UU Omnibus Law

Keempat, Pasal 93. Pasal 93 ayat (1) menyatakan “Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara.” Namun, pada RUU Cilaka hanya ditulis, “Pasal 93 Dihapus”.

Tentu ini adalah hal yang paling konyol. RUU ini pantas disebut sebagai RUU Cilaka, karena pengesahannya hanya memperhatikan dan mengakomodasi kepentingan bisnis semata.

Dengan banyaknya pasal-pasal bermasalah, wajar jika publik menolak UU ini sangatlah. Sebab bukan hanya manusia, lingkungan pun bisa terdampak bila UU ini diterapkan. Bahkan sejumlah organisasi lingkungan ikut bersuara lantang menolak UU ini.

Baca Juga: Pesantren Menjadi Klaster Baru Covid 19, Pemerintah Harus Ikut Bertanggungjawab

Undang-undang ini justru cenderung menguntungkan investor. Pemerintah dinilai memberikan hak imunitas terhadap korporasi melalui UU ini.

Dengan memberikan hak istimewa itu. apa yang dilakukan pemerintah hari ini tak jauh berbeda dengan masa kolonial Hindia Belanda di masa lalu.

VOC mendapat hak istimewa mengeksploitasi sumber daya alam, sementara rakyat diperlakukan bak sapi perah.

Baca Juga: Sistem Islam, Lindungi Generasi disaat Pandemi

Yang berbeda hanyalah penjelasannya. Atas nama investasi para investor justru akan semakin mengintervensi negeri ini.

Klaim pemerintah yang menyebut UU ini tidak melemahkan namun memperkuat hukum, bagai ilusi.

Sifat kapitalistik yang serakah inilah yang menjadikan korporasi berlindung di balik regulasi. Melalui tangan oligarki kekuasaan, regulasi itu disahkan.

Baca Juga: Rencana Mini Lockdown Kabupaten Bandung

Eksplorasi dan eksploitasi SDA di bawah sistem kapitalisme menimbulkan efek domino berkepanjangan.

Di antaranya kerusakan lingkungan, terganggunya habitat kehidupan, dan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Syariat Islam adalah Solusi

Kiranya ayat ini menjadi pengingat bahwa aturan apapun yang dibuat oleh manusia untuk mengatur bumi ini justru menimbulkan kerusakan.

Baca Juga: Saatnya Majalengka Berlari Maju, Mengejar Ketertinggalan

“Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar Ruum: 41).

Sistem kehidupan sekuler telah menjauhkan manusia dari ketaatan kepada Allah. Aturan yang diterapkan pun jauh dari syariat Islam.

Akibatnya, standar kehidupan tak lagi berpedoman pada syariat Islam. Manusia bermaksiat, lingkungan ikut rusak.

Baca Juga: UU Cipta Kerja: Perbudakan Moderen

Sehingga jalan untuk menyelamatkan bumi ini dari kerusakan adalah kembali pada aturan Allah SWT yakni syariat Islam. Ruang lingkup syariat Islam itu luas.

Aturannya menjangkau seluruh kehidupan manusia di seluruh tempat dan masa. Mulai dari yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.

Semua itu terefleksikan dalam aturan manusia dengan Tuhannya (mencakup akidah dan ubudiah); aturan manusia dengan orang lain (muamalat dan sistem sanksi); dan urusan manusia dengan dirinya sendiri (makanan-minuman, pakaian, dan akhlak).

Baca Juga: Beri Nama Anaknya Sama dengan Provider Internet, Orangtua Ini Berharap Dapat Wi-Fi Gratis

Sistem ini akan mampu mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.

Dengan penerapan Islam secara menyeluruh, berkah dan rahmat Allah akan menaungi. Menjadi negeri Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghofur.***

Editor: Andra Adyatama

Tags

Terkini

Terpopuler