Pendidikan; Bukan Me-Yatim-Piatu-kan Anak dan Me-monster-kannya

19 Oktober 2020, 07:28 WIB
Dr H Masduki Duryat MPdI /

 

Oleh: DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)

Ujian berat benar-benar sedang dihadapi sektor pendidikan pada era milenial ini, yaitu era kelahiran 80-an hingga 2000-an. Era ketika segala proses kehidupan berjalan serba cepat, serba instant.

Bagaimana  tidak, anak-anak masa kini mendapatkan informasi dan pendidikan tidak  hanya dari guru atau  orang tuanya langsung, melainkan dapat melalui berbagai macam alat teknologi canggih yang tergenggam di tangannya dan setiap saat  muncul ketika dibutuhkan. Apa yang dibutuhkan, terjawab secara instant.

Teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang sangat pesat, memberikan kemudahan-kemudahan dalam mengakses informasi dan pendidikan, melebihi kemudahan yang diberikan guru dan kedua orang tuanya di rumah.

Kemudahan ini sekaligus sebagai jebakan yang  dengan sadar dilakoninya dengan taat, ditambah tidak adanya perhatian pemerintah dalam hal regulasi pendidikan masyarakat, telah secara nyata mementahkan seluruh proses pendidikan pada lembaga formal, non formal, maupun informal.

Baca Juga: Bupati Bandung Layangkan Surat Penolakan UU Omnibus Law

Menelisik makna Pendidikan

Pendidikan  menurut Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 merupakan usaha sadar dan terencana untuk meuwujudkan suasana belajar dan proses pemeblajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, kepribadiannya, kecerdasan, aklak mulia, serta keagamaan, pengendalian dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Sisdiknas,2009).

Muaranya tentu mendudukkan manusia sebagai subjek dan objek pembelajaran agar menjadi mahluk yang beretika, bermoral, berbudaya, dan beradab sebagai orientasi utama. Tataran narasi yang sangat indah, namun terasa pahit getir dalam prakteknya di lapangan.

Idealisme yang sangat tinggi, sehingga mustahil digapai, saking tingginya gagasan tersebut sehingga bukan upaya cerdas yang dicari untuk mencapainya, melainkan upaya menghindar dan membiarkan proses yang terjadi di lapangan.

Baca Juga: Pesantren Menjadi Klaster Baru Covid 19, Pemerintah Harus Ikut Bertanggungjawab

Akibat pembiaran oleh pemerintah, proses pendidikan tidak dapat menghasilkan manusia berkarakter sebagaimana yang diidealitaskan dalam Undang-undang. Pendidikan berjalan liar, nilai-nilai positif berbenturan keras dengan nilai-nilai negatif yang dibawa oleh kemajuan teknologi informasi tanpa pengawasan yang memadai.

Sikap serba boleh (permisif) terhadap ideologi merusak tidak diantisipasi secara serius sehingga muatan negatif lebih menonjol dan menguasai hampir semua lini hasil pembelajaran yang akan, sedang, dan telah dilaksanakan hingga saat ini.

Idealisme pendidikan nasional yang digagas Undang-undang Sisdiknas adalah membentuk mentalitas dan pribadi peserta didik yang unggul, namun dalam perjalanan membentuk mentalitas tersebut, nyaris tidak ada pengawasan sehingga liar dan berjalan 'srugal-srugul' menuju ke jurang kehancuran.

Baca Juga: Sistem Islam, Lindungi Generasi disaat Pandemi

Pendidikan yang berorientasi penanaman nilai budaya dan akhlak tergerus oleh pendidikan instant melalui HP, Gadget, dan media online lainnya yang lebih menarik dan efektif, tidak banyak aturan dan birokrasi.

HP dan media online lainnya menjadi bagian tak terpisahkan pada generasi milenial, hampir-hampir benda gepeng itu menjadi benda kesayangannya melebihi apa dan siapa pun yang ada di lingkungan sekitarnya. Perubahan perilaku pun akan terjadi secara sistematik dan massif mengingat tuntunan moral dan etika begitu sangat tidak penting dalam dunia online.

Kebebasan anak-anak memegang peralatan komunikasi tanpa kendali, satu sisi menjadi bukti bahwa generasi masa kini akrab dengan perubahan zaman, namun karena penuh jebakan akan muatan nilai-nilai yang merusak, maka tetap harus diberikan rambu-rambu dan aturan yang jelas disertai sangsi yang tegas mengenai jam penggunaan dan konten yang diakses.

Baca Juga: Saatnya Majalengka Berlari Maju, Mengejar Ketertinggalan

Di sinilah kecolongannya sistem pendidikan kita, lepas kontrol dan tidak waspada terhadap  produk pendidikan yang berjalan melenceng dari tujuan yang telah ditetapkan.

Tidak adanya aturan penggunaan alat akses telekomunikasi dan informasi menjadikan proses pendidikan menjadi mentah dan tidak mencapai hasil yang diidam-idamkan. Pendidikan instan tidak membentuk pola budaya baru yang lebih humanis dan beradab.

Me-yatim-piatu-kan Anak

Bayangkan saja, pembelajaran di sekolah hanya berlangsung sekitar 3-5 jam dari 24 jam sehari semalam. Sedangkan proses pendidikan di luar sekolah, yaitu rumah tangga dan masyarakat berlangsung selama kurang lebih 19-21 jam setiap harinya.

Baca Juga: UU Cipta Kerja: Perbudakan Moderen

Mana yang lebih membekas dalam jiwa anak? Tidak usah dijawab keras-keras, cukup pelan tapi tandas.

Di sekolah anak-anak selaku peserta didik ditanamkan nilai-nilai disiplin, kebersamaan, dan ketuhanan, namun setelah sampai di rumah, kedua orang tua tidak memperdulikan mereka sehingga mencari perhatian pada subjek dan objek yang lain yang dipandang lebih tahu isi hatinya, ya HP, gadget, game online, dan media online menjadi jawabannya.

Maka, penanaman nilai-nilai hanya ada dan terjadi di sekolah saja, di luar sekolah suka-suka saja, tidak ada lagi aturan yang mengikat dan harus ditaati.

Baca Juga: Sempat ada Tambahan 13 Kasus, Kini 133 Orang Pasien Covid 19 di Majalengka Dinyatakan Sembuh

Pendidikan norma, etika, dan budaya hanya ada di sekolah saja, sekeluar anak-anak dari sekolah selesai sudah, tidak ada yang perlu ditaati. Kedua orang tua bahkan tidak jarang justru me-yatimpiatu-kan anak-anaknya dengan membiarkan mencari jalan pendidikan sendiri di rumah dan di lingkungannya tinggal.

Kedua orang tua tidak mau tahu anaknya bergaul dengan siapa, berkegiatan apa dengan teman-teman sebayanya, dibiarkan liar. Sehingga runtuhlah bangunan pendidikan yang dilakukan oleh guru di sekolah, anak-anak sebagai peserta didik telah menentukan pilihannya dengan meniru pola sikap dan perilaku tokoh idolanya di luar institusi pendidikan yang dengan bebas diaksesnya kapan saja mau. Lalu apa yang diharapkan dari proses besar pendidikan kita? Kesia-siaan yang dipertontonkan secara jelas, proses pendidikan berjalan tanpa arahan pasti.

Baca Juga: Percepatan Pembangunan Pelabuhan Patimban  Saat Pandemi, Urgenkah?

Pendidikan Berkebudayaan

Kebudayan adalah kegiatan pikiran, serta kemampuan mencerap keindahan dan perasaan manusia. Ia tidak ada hubungnaya dengan kepingan-kepingan informasi. Orang yang tahu banyak adalah orang yang membosankan iatas bumi Tuhan ini. Apa yang harus kita tuju dan hasilkan adalah manusia-manusia yang memiliki budaya dan pengethauan ahli di bidang-bidang tertentu.

Idealnya pendidikan akan menjadikan budaya manusia lebih meningkat, dengan kualitas  kebudayaan yang meningkat arah peradaban yang mencerahkan menjadi semakin jelas. Namun sekali lagi, antara yang terjadi  (das sein) dan yang seharusnya terjadi (das solen) terlalu jauh jaraknya, alias tidak nyambung.

Keinginan hati proses pendidikan memunculkan manusia yang berbudaya, berahlak, dan beradab, namun yang mewujud adalah manusia yang bengal dan biadab.

Baca Juga: Kamu Harus Tahu! Ini 7 Manfaat Buah Anggur untuk Kesehatan

Bagaimana tidak, fakta-fakta  tak terbantahkan bahwa munculnya koruptor-koruptor adalah produk pendidikan yang selama ini dilaksanakan, artinya proses pendidikan tidak mempengaruhi pola pikirnya dalam menjalani kehidupan nyata. Pendidikan nilai tidak memanifes dalam perilaku dan budaya yang terbentuk, pendidikan macan ompong.

Pendidikan tidak membekas dalam pola pikir dan perilaku kehidupan, tidak membawanya pada taraf perbaikan pola pikir (mindset) yang lebih baik dalam memandang diri dan lingkungannya.

Para koruptor bukanlah orang yang berpendidikan rendah, bahkan tak jarang mereka menyandang serentetan gelar, pelaku krimimal terdidik ini lebih berbahaya dibandingkan yang berasal dari latar belakang tak terdidik karena memiliki daya rusak yang lebih dahsyat.

Baca Juga: Ternyata, Mertua Luhut Binsar Pandjaitan Adalah Menteri di Era Presiden Soekarno

Fenomena maraknya para pejabat yang korup menjaid tontonan yang kian hari kian menjangkit. Pentingnya sekali pendidikan karakter ditanamankan sejak dini.

Pendidikan yang berimpilimntasi pada nilai-nilai budaya dan nilai karakter yang memang sudah harus diterapkan sejak dini. Anak-anak tak perlu lagi dijelajali segala macam hafalan dan teori tanpa nilai, hingga akhirnya kosong.

Pendidikan harus terdesain dalam aspek formal di sekolah-sekolah, terealisasikan dalam aspek non formal dalam masyarakat, dan berbasiskan pada pendidikan nilai dari dalam  keluarga (informal). Keluarga sebagai institusi dasar pendidikan keberadaannya harus terus-menerus dikuatkan agar dapat menjadi mitra aspek pendidikan formal dan non formal secara efektif dan efisien di lapangan.

Baca Juga: Mengenal Puan Maharani dan Karirnya dari Mulai Menteri Hingga Jadi Ketua DPR RI

Perlu kurikulum terintegrasi pendidikan formal, non formal, dan informal untuk capaian tujuan pendidikan yang lebih terarah, terukur, dan terencana secara optimal.

Pendidikan bukan me-Monster-kan Anak

Mahluk macam apakah monster itu? Inilah mahluk yang dikhawatirkan muncul dari proses pendidikan yang selama ini kita laksanakan.

Monster adalah sesosok mahluk ganas, hitam, bergigi tajam, bermata merah dan nanar, berambut gimbal awut-awutan, dan akan melumat siapa saja yang akan menghalangi keinginan dan cita-citanya. Masa iya pendidikan menghasilkan mahluk sejenis itu? Jawabannya, kenapa tidak?

Baca Juga: Maman Imanulhaq: Kader PKB Harus Miliki Komitmen Program Lingkungan yang Sehat

Pendidikan hanyalah sarana untuk membentuk watak dan karakter peserta didik, kalau pendidikan tidak terarah dan awut-awutan, tidak berdasarkan pada nilai-nilai dan budaya bangsa, maka yang akan muncul adalah mahluk ganas tersebut, ya monster itu.

Hanya saja, monster ini secara fisik masih berwujud manusia, hanya pikiran, mentalitas, dan jiwanya saja yang rusak, menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan dan cita-citanya akan dihancurkan karena dianggap sebagai penghalang. Bukankan mentalitas tersebut sudah nampak dalam kehidupan kita secara nyata?

Lihatlah para calon pejabat kita ketika berusaha mencapai tujuannya, mereka saling sikut, saling jegal, dan tak jarang saling mencelakai satu dengan yang lain, baik dengan cara halus maupun kasar.

Baca Juga: Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetyani: Pengadaan Vaksin Covid 19 Jangan Dimanfaatkan Golongan

Tidak ada lagi nilai-nilai Pancasila di dadanya, hilang. Tidak ada lagi nilai ketuhanan, kamanusiaan, rasa nasionalisme, musyawarah untuk kebaikan bersama, dan rasa untuk mencapai kesejahteraan bersama. Semua nilai itu ditanggalkan demi materi dan jabatan yang diimpikannya, mereka menjadi manusia monster sejati.

Manusia monster sebagai produk pendidikan yang asal-asalan, berorientasi materi, pemuja kesenangan, dan meninggalkan aspek nilai dan norma yang diagungkan, menjauh dari aspek kemanusiannya.

Penutup

Reorientasi dan revisi konsep pendidikan dan implementasinya harus dilakukan untuk hasil proses pendidikan yang lebih baik. Masalah membangun manusia tidak dapat dilakukan  sambil lalu, terlebih pada era milenial yang berjalan sangat cepat. Sekali salah dalam membangun SDM, akan berakibat fatal bagi pembangunan bangsa secara keseluruhan.

Baca Juga: Ketimpangan Masyarakat Pantura, Mendorong Provinsi Cirebon Berpisah dari Jawa Barat

Cita- cita pendidikan adalah mewujudkan manusia menjadi beradab dan berbudi luhur, manusia yang berperasaan dalam dan menghargai hakikat mansuia lainnya sebagai sesame yang harus dicintai.

Pendidikan tidak memandang si kaya dan si miskin. Pendidikan memperlakukan manusia sebagai mansuia, tidak perduli berasal dari keluarga ningkrat atau bukan. Sebab, pendidikan adalah wikayah netral yang bisa dimasuki oleh siap saja tanpa memandang identitas, pendidikan bersifat objektif.

Oleh karena itu, selama revolusi pendidikan tidak dijalankan, jangan berharap lahir manusia Indonesia yang bermutu.

Baca Juga: Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan Dinilai Gagal dalam Memimpin Ibu Kota

Revolusi pendidikan perlu segera dijalankan dengan mengubah orientasi pendidikan dari watak elitis, hanya mengejar-ngejar pangkat, kedudukan tanpa memperhatikan pembentukan karakter manusianya. Dengan mengabaikan hal ini berarti pendidikan hanya sekadar transfer ilmu saja.

*)Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu

Editor: Andra Adyatama

Tags

Terkini

Terpopuler