Pesantren Menjadi Klaster Baru Covid 19, Pemerintah Harus Ikut Bertanggungjawab

17 Oktober 2020, 13:12 WIB
Ilustrasi Covid-19. /Pixabay/Jeyaratnam Caniceus

Oleh: Ummu Silmi (Mubalighah Jawa Barat)

Akhir-akhir ini klaster covid di pesantren menjadi pemberitaan media karena ditemukannya kasus korona dibeberapa pesantren.

Ini menunjukan bahwa pandemi covid belum ada tanda-tanda akan berakhir, bahkan semakin meluas hingga ke pelosok.

Di Jawa Barat sendiri dua pesantren telah menjadi klaster penyebaran wabah, yaitu pondok pesantren di Kuningan dan di Tasikmalaya (https://prfmnews.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-13790984/dua-pesantren-jadi-klaster-corona-kegiatan-belajar-mengajar-diliburkan-14-hari).

Baca Juga: Sistem Islam, Lindungi Generasi disaat Pandemi

Ditemukannya klaster pesantren di Jawa Barat menambah daftar pesantren yang terkena wabah korona.

Sebelumnya pesantren Gontor telah lebih dulu mengalami kasus serupa, disusul puluhan pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Diperkirakan kasus ini akan terus bertambah apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat.

Kehidupan pesantren memang memiliki kekhasan dalam pola pembelajaran karena santri menimnba ilmu dengan berasrama (mondok).

Baca Juga: Penting! 5 Hal yang Wajib Dilakukan Saat Isolasi Mandiri

Oleh karena itu tidak mungkin disamakan dengan sekolah-sekolah pada umumnya dalam proses belajar mengajar.

Disinilah perlu kesiapan khusus ketika kegiatan belajar mengajar pesantren ingin dibuka, karena bukan saja menyangkut proses belajar mengajar di sekolahnya akan tetapi menyangkut kegiatan diluar sekolah seperti di asrama dan lingkungan sekitar.

Baca Juga: Vaksin Covid 19 Pemerintah Cari dari Tiga Sumber

Pemerintah Merestui Pesantren Buka Kembali

Pembukaan kembali aktivitas pesantren di Jawa Barat memang diijinkan oleh Ridwan Kamil sendiri.

Pada bulan Mei Gubernur Jabar mengaku telah menggodok dengan matang dan mengkomunikasikan dengan para kiyai tentang kesiapan membuka kembali pesantren di era pandemi.

Pada bulan Juni Ridwan Kamil selaku gubernur Jawa Barat memutuskan akan mempersilahkan pesantren untuk melakukan aktivitasnya dan mendahulukannya daripada sekolah umum. (https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01459762/ridwan-kamil-pesantren-akan-dibuka-lebih-dahulu-daripada-sekolah-umum).

Baca Juga: Rencana Mini Lockdown Kabupaten Bandung

Selain itu, panduan pelaksanaan kegiatan pesantren juga mengacu kepada Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama (Kemenag) yang sudah membuat panduan pendidikan dan protokol kesehatan di pesantren selama pandemi virus corona (Covid-19).

Di antaranya adalah sejumlah aturan protokol kesehatan dan penyediaan berbagai fasilitas dan infrastruktur yang mendukung dan memadai di pesantren yang akan membuka kembali aktivitasnya.

Kini, setelah berjalan beberapa bulan, terjadilah beberapa kasus covid 19 di beberapa pesantren.

Baca Juga: Jangan panik! Ini yang Harus Dilakukan Jika Anggota Keluarga Terkena COvid-19

Bagaimanakah sesuangguhnya mendudukkan persoalan penanganan wabah dari kacamata Islam?

Sesungguhnya ketidakseriusan pemerintah dalam merespon pandemi korona ini terlihat dari awal.

Dari mulai pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, ketika wartawan menanyakan dugaan virus corona di Batam.

Baca Juga: Latihan Simulasi Kebakaran di SPBU, Pertamina Asah Kesigapan dalam Situasi Darurat

Luhut menjawab, "(Corona masuk Batam?) Hah? Mobil Corona?" katanya, ditulis Detiknews.

Demikian pula pernyataan Menhub yang menyatakan orang Indonesia kebal korona karena makan nasi aking.

Bahkan Menteri Kesehatan Terawan pada wakatu itu menyatakan korona tidak akan masuk ke Indonesia berkat yang Maha Kuasa dan doa.

Baca Juga: Bupati Majalengka Minta Kepala Organisasi Perangkat Daerah Perhatikan Kesejahteran THL

Ketika terjadi kasus korona di Indonesia barulah pemerintah merespon dan memberikan perhatian terhadap pandemi global ini.

Kebijakan penanganan korona yang dilakukan pemerintah pun tak luput dari kritikan. Disaat berbagai negara menerapkan lockdown, pemerintah menerapkan istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Di masa ini pemerintah tak maksimal dalam mengantisipasi dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi.

Baca Juga: Ini 3 Masalah kesehatan Mental Saat pandemi, Nomor 3 Sering Terjadi

Maka tak ayal banyak protes yang dilakukan masyarakat terkait minimnya bantuan dan perhatian pemerintah sementara masyarakat disuruh “stay at home”.

Peraturan pun berubah lagi dengan terbitnya “new normal” atau AKB (Adaptasi Kebiasan Baru). Sampai saat ini sudah berbagai kebijakan yang dikeluarkan di era “new normal” ini.

Namun masyarakat kian terpuruk dan virus pun semakin menyebar ke seluruh pelosok Indonesia, hingga ke lingkungan keluarga dan pesantren-pesantren.

Baca Juga: Studi Ungkap Bermain di Alam Membuat Kekebalan Tubuh Lebih Kuat

Pemerintah tidak boleh cuci tangan dengan semakin merebaknya wabah termasuk di lingkungan pesantren karena pemerintah sendiri yang mengijinkan pesantren di buka kembali.

Ketika ada kasus korona di pesantren, maka pemerintah harus ikut turun tangan membantu menyelesaikannya dengan segenap upaya baik menyengkut bantuan penanganan medis maupun non medis, bukan dengan menyalahkan dan menyudutkan pesantren.

Apalagi kalau pesantren tersebut sudah mematuhi dan memenuhi prasyarat yang ditetapkan pemerintah ketika pembukaan kembali pesantren.

Baca Juga: Anggap UU Cipta Kerja Sangat Penting, Sofyan Djalil: Demonstrasi Terjadi Karena Salah Paham

Pernyataan pejabat publik yang menyetakan bahwa pesantren adalah sumber “limbah” dikala dijumpai kasus korona di pesantren adalah pernyataan yang sentiment terhadap pesantren.

Demikian pula tindakan pemerintah yang terburu-buru meminta memulangkan santri ketika terjadi kasus di pesantren Kuningan adalah tindakan kurang tepat.

Karena hal ini justru berdampak semakin menyebarnya virus ke daerah yang lain. Tindakan seperti ini bukan hanya bagian dari cuci tangan pemerintah tapi juga kurangnya empati dan simpati terhadap musibah yang menimpa.

Baca Juga: Tengah Menjadi Sorotan, Prabowo Ungkap Alasan lakukan Perjalanan ke Luar Negeri

Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Penanganan Wabah?

Wabah adalah musibah yang biasa saja terjadi dimanapun dan kapanpun. Dalam sejarah Islam, wabah pernah terjadi di masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam yaitu wabah kusta dan thaun. SAW memerintahkan untuk memisahkan mereka yang terkena wabah agar tidak menimbulkan penularan kepada yang lain.

Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta" (HR al-Bukhari). Demikian pula sabda Nabi SAW:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

"Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu" (HR al-Bukhari).

Baca Juga: Survei Indometer : Masyarakat Percaya Jokowi Bisa Tangani Resesi dan Pandemi Covid-19

Apa yang dilakukan baginda SAW adalah metode karantina sebagaimana yang dikenal saat ini oleh kebanyakan orang.

Nabi SAW pernah membuat tembok dan mengisolasi mereka yang terkena wabah, kemudian diberikan pengobatan dan baru boleh kembali setelah mereka sembuh.

Pada masa Khalifah Umar bin Khatab ujian wabah juga terjadi yaitu dengan datangnya wabah Thaun di wilayah Syam.

Baca Juga: Alami Gangguan Organ, Wapres ke-9 Hamzah Haz Dirawat

Diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa Khalifah Umar sendiri tidak memasuki wilayah yang terkena wabah akan tetapi hanya sampai perbatasan dan mengirimkan bantuannya:
أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّأْمِ. فَلَمَّا كَانَ بِسَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّأْمِ، فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ‏ ‏إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْه‏.

Khalifah Umar pernah keluar untuk melakukan perjalanan menuju Syam. Saat sampai di wilayah bernama Sargh, beliau mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam.

Abdurrahman bin Auf kemudian mengabari Umar bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meningggalkan tempat itu.” (HR al-Bukhari).

Baca Juga: BEM SI Kembali Padati Istana Merdeka, PT KAI Hentikan 8 Kereta Ini di Jatinegara

Riwayat ini juga dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Kitab Al-Bidayah wa al-Nihayah. Menurut Imam al-Waqidi saat terjadi wabah Tha’un yang melanda seluruh negeri Syam, wabah ini telah memakan korban 25.000 jiwa lebih.

Bahkan di antara para sahabat ada yang terkena wabah ini. Mereka adalah Abu Ubaidah bin Jarrah, al-Harits bin Hisyam, Syarahbil bin Hasanah, Fadhl bin Abbas, Muadz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan dan Abu Jandal bin Suhail.

Demikianlah karantina atau isolasi adalah metode penanganan wabah yang sudah dikenal dalam sejarah Islam, jauh sebelum masyarakat mengenalnya sekarang.

Baca Juga: Masih Ingat Stephen Chow? Kabarnya Aktor Kungfu Hustle Ini Mendadak Bangkrut

Negara Memegang Peranan Penting

Kesehatan masyarakat adalah tanggung jawab negara. Negaralah yang memiliki kewajiban memastikan warganya sehat dan menjamin tersedianya sarana prasarana kesehatan warganya.

Ketika terjadi pandemi wabah korona seperti sekarang, negara seharusnya dari awal sudah mengantisipasi dan membuat kebijakan yang melindungi warganya, seperti pelarangan keluar masuk orang asing.

Disamping itu wajib bagi negara untuk memberlakukan karantina wilayah dengan menjamin ketersediaan pangan dan segala kebutuhan rakyat selama pandemi.

Baca Juga: PIlek Bukan Gejala Utama Penyebab Covid-19

Negara juga harus memberikan pelayanan kesehatan gratis buat warganya misalnya berupa tes swab PCR gratis, tunjangan tenaga medis yang memadai, dan memperbanyak posko-posko pelayanan kesehatan.

Namun sayang, saat ini negara abai dengan kewajiban melindungi warganya. Hal ini bisa dilihat dari tingginya kasus korona, kematian nakes yang terus meningkat, tidak ada solusi dampak ekonomi yang diderita warga, dan minimnya bantuan pemerintah dalam penanggulangan wabah.

Baca Juga: HATI-HATI, Ruam Kulit Bisa Jadi Tanda Terpapar Covid-19

Alhasil, kasus terjadinya klaster pondok pesantren akan terus terjadi ketika pemearintah tidak membantu secara total mempersiapkan, mengantisipasi, dan mengatasi manakala wabah semakin merajalela.

Hanya dengan sistem Islamlah penanganan wabah mendapatkan perhatian serius dalam menanganinya. Wallahu a'lam bishshawab.***

Editor: Andra Adyatama

Tags

Terkini

Terpopuler