Islam dan Kearifan Lokal Tradisi di Nusantara

14 Agustus 2022, 15:39 WIB
Wayang menjadi salah satu media dakwah Walisongo yang merupakan bagian dari akulturasi budaya masyarakat lokal. /Dimas/banjarnegaraku.com

TIDAK semua tradisi itu kaku dihadapkan dengan agama. Dalam kaidah fikh atau hukum Islam dikatakan, "Al-hukmu yaduuru ma'a al 'illati wujudan wa 'adaman" (ada atau tidaknya suatu hukum itu amat tergantung pada sebab-sebab yang mempengaruhinya).

Tradisi-tradisi lokal (local wisdom) sesungguhnya diperbolehkan sepanjang tidak menyimpang dari tauhid. Konon dasarnya adalah ada sebagian tradisi-tradisi sebelum Islam tetapi Nabi tidak melarang dan tetap diteruskan dalam masyarakat Quraisy.

Kakbah di Mekkah zaman Nabi sebetulnya juga akulturasi budaya peninggalan tradisi kaum kafir Quraisy. Bukan Kakbah seperti yang dibangun Nabi Ibrahim.

Baca Juga: Lebih Dekat dengan Sosok Imam at-Tirmidzi, Pakar Hadits dan Penulis Kitab Sunan At Tirmidzi

Namun begitu Nabi Muhammad tidak mengubahnya dan tetap menghormatinya. Sebab tujuan dakwah Nabi adalah tauhidnya itu, bukan pada bentuk fisiknya tradisi.

Baru di zaman zaman Abdullah ibn Zubair Kakbah dikembalikan mengikuti seperti zaman Nabi Ibrahim.

Sebelum Islam masuk Nusantara, kepercayaan masyarakat asli adalah memuja animisme dinamisme. Percaya kekuatan gaib arwah nenek moyang dari peninggalan tradisi megalitik (Zaman Batu) masyarakat Prasejarah.

Baca Juga: Kisah Habib Luthfi bin Yahya Menyamar Preman Hadiri Haul di Ploso Kediri

Bentuknya antara lain pemujaan kepada "cikal bakal" desa (danyang) dengan pemberian sesaji pada setiap acara hajatan agar diberi "keselamatan". Sehingga sering juga disebut slametan.

Pada zaman walisongo menyebarkan agama Islam upacara-upacara adat itu tidak serta merta dihilangkan. Tetapi tetap dipakai, bahkan digunakan untuk menyebarkan agama Islam dengan mengganti mantera-mantera dalam selamatan dengan kalimat tauhid atau dzikir-dzikir seperti tahlilan.

Sehingga setiap selamatan upacara adat apa saja dari nikah, sunat, mendirikan rumah, syukuran, kematian dan lain-lain doanya kalimah tauhid dalam tahlilan tadi dimasa lalu.

Baca Juga: IJAZAH UMUM! Dzikir Pelunas Utang yang Dapat Dibaca Di Rumah Menurut Kang Ujang Busthomi

Penyertaan jamuan makan dalam upacara adat atau membagikan makanan kepada tetangga sekitar itu juga sesuai agama Islam. Menurut Sunan Kalijaga namanya “sedekah” (shodaqoh).

Dikatakan, dalam ajaran agama rasul (Islam) shodaqoh itu bisa menolak bala' agar selamat terhindar dari bencana.

Salah satu bentuk kearifan lokal lain adalah akulturasi, paduan dari unsur budaya yang berbeda. Misalnya, bentuk masjid kuno di Nusantara zaman dulu seperti Masjid Demak, Banten, Cirebon, Minangkabau sampai Nusa Tenggara atap masjidnya berbentuk tumpang, berundak atau tingkat-tingkat memadukan dengan unsur budaya lokal (Hindu?).

Baca Juga: Apa Dalil Hukum Perayaan 17 Agustus? Gus Muwafiq Jawab dengan Kedalaman Ilmunya

Cerita wayang sesungguhnya adalah juga cerita Hindu yang oleh Sunan Kalijaga digunakan untuk menyebarkan agama Islam. Hal demikian juga untuk mengesankan bahwa Islam itu “ramah”, toleran dan universal agar bisa diterima masyarakat.

Bahkan bentuk masjid sekarang yang berbentuk kubah seperi bentuk masjid-masjid pada umumya diadopsi dari bentuk Gereja Aya Shopia ketika Islam menguasai Eropa zaman Perang Salib.

Baju koko sebagai identitas baju takwa muslim ternyata aslinya pakaian budaya China yang banyak dijumpai di kuil-kuil agama Budha. Baju gamis yang sering dicap identitas baju muslimah adalah bajunya para bangsawan dari Timur Tengah sebelum Islam.

Baca Juga: Mengenal Sosok Ibnu Majah, Pengarang Kitab Hadits Sunan Ibnu Majah

Dengan kearifan lokal tidak serta merta mengharamkan segala sesuatu yang berbeda, bahkan justru bisa digunakan sebagai “sarana” atau “alat syiar”.

Mantera-mantera yang menyebut lafal danyang roh leluhur atau dewa yang dipuja diganti dengan kalimat tauhid (tahlilan). Atau bahkan Sultan Agung bagaimana menarik rakyatnya agar beragama Islam dengan menciptakan Kalender Jawa dari paduan Kalender Hijriyah (Islam) dengan Kalender Caka (Hindu).

Sebaliknya kalau tidak menggunakan kearifan lokal misalnya tiba-tiba dakwah di masyarakat pelosok desa-desa tradisi-tradisinya dibabat atau dibumihanguskan dengan mengatakan syirik, bid`ah, masuk neraka dijamin 100% tersinggung dan menentang.

Baca Juga: GUS MUWAFIQ BLAK-BLAKAN Ungkap Alasan Gus Dur Berkunjung ke Israel

Hal demikian setidaknya ada dua kerugian. Pertama, harusnya bisa diajak ke agama tauhid tetapi justru menjadi antipati. Pepatah Jawa mengatakan, “wis ora keno iwake, buthak banyune” (tidak mendapat ikannya, ditambah keruh airnya).

Kedua, citra agama yang disyiarkan juga menjadi jelek karena kurang menghargai budaya masyarakat, mereka berbalik membalas merasa kepercayaannya disalahkan. Dampaknya, nama agama yang disyiarkan menjadi jelek dikesankan oleh masyarakat.

Persinggunggan demikian sering terjadi di masyarakat-masyarakat pedesaan (tradisional). Tidak hanya di Jawa, bahkan nyaris merata di pelosok-pelosok nusantara masa lalu, bahkan mungkin sampai sekarang.

Baca Juga: KAROMAH WALISONGO: Sunan Ampel Dapat Berjalan di Atas Air Tanpa Basah Sedikitpun

Dalam "hidup bermasyarakat" terutama di desa-desa mengubah tradisi itu memang pekerjaan tidak mudah.

Masyarakat Sumatra Barat atau Aceh misalnya, kendatipun dikenal sebagai daerah yang religius, tetapi juga memiliki tradisi yang kuat dan apabila dilanggar akan memiliki sanksi sosial tersendiri. Seolah-olah tradisi itu sebuah pemersatu masyarakat setempat.

Di Jawa juga ada tradisi bersatunya keluarga setiap hari raya lebaran Idul Fitri dengan halal bihalal saling memaafkan. Sehingga anak atau keluarga yang dari jauh bermudik pada berkumpul semua.

Baca Juga: Berani Sakiti Hati Wali Allah, Seorang Presiden Dzolim Kualat Seumur Hidup

Apabila seseorang tidak pernah datang pada tradisi demikian, rasanya juga tidak enak dalam sistem kekerabatan keluarga. Walaupun tradisi ini dianggap perekat dalam tubuh keluarga dan masyarakat, tetapi kebiasaan tradisi demikian sesungguhnya tidak memiliki dalil langsung dalam agama. Sehingga bagi yang berpaham ekstrem kurang menghargai kearifan lokal akan bertanya, "itu dalilnya mana?".

Tradisi adalah bukan agama. Namun demikian kadang memiliki nilai pemersatu.

Sholat tarawih berjamaah yang sekarang marak di dunia Islam setiap bulan Ramadhan sesungguhnya juga sebuah tradisi dari kreasi yang dirintis sahabat Umar bin Khatab dalam posisinya sebagai kholifah waktu itu.

Baca Juga: ALLAHU AKBAR! Sunan Ampel Mampu Hidupkan Muridnya yang Telah Meninggal Hingga 9 Kali: Kesaktian Walisongo

Uniknya pada masa Nabi, agak dihindari karena khawatir kalau dianggap sebagai sebuah kewajiban. Tetapi dimasa Khalifah Umar justru dihidupkan dan disatukan. Sehingga menjadi kebiasaan rutin tahunan yang tetap lestari di masjid-masjid dan surau setiap bulan Ramadhan sampai sekarang. Kata Khalifah Umar, "Ni'mat al-bid'atu hadzihi”, (Sebaik-baik bid'ah adalah ini).

Tradisi adalah sama dengan "kebiasaan" saja pada diri seseorang, masyarakat, suku atau bangsa. Ada yang sesuai dengan ajaran agama dan sebaliknya.

Dalam Alquran dikatakan Allah itu menciptakan manusia dengan beragam, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa yang tentu saja dari masing-masing suku dan bangsa itu memiliki kebiasaan (tradisi) yang berbeda-beda. Ini sudah sunatullah yang tidak bisa diingkari.

Baca Juga: Detik-detik Harimau ke Habib Luthfi bin Yahya Mengulurkan Tangan Mengajak Salaman

Namun demikian dari ketidaksamaan berbagai macam suku bangsa itu ditujukan untuk saling kenal-mengenal dan menghargai. Sehingga bisa diambil sebagai hikmah atau pelajaran.

Ada kata bijak yang terkenal dari seorang ulama besar madzab Maliki, Imam Syihab al-Din al-Qarafi, “Manakala tradisi telah terbarui, ambillah, jika tidak, biarkanlah. Janganlah kamu bersikap kaku terhadap sumber-sumber tertulis dalam buku-bukumu sepanjang hidupmu. Jika ada seseorang datang kepadamu dari negeri lain dengan maksud meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu sampaikan fatwa berdasarkan tradisi negerimu. Bertanyalah lebih dulu tentang tradisinya, dan berikanlah fatwa berdasarkan tradisinya, bukan tradisimu dan bukan pula menurut yang ada di buku-bukumu. Ini adalah cara yang benar dan jelas."

Dalam perubahan kaidah fikih Imam Syafii berkait latar belakang munculnya "qoul jadid" (pendapat-pendapat yang baru tentang hukum Islam) menggantikan "qoul qodim" (pendapat-pendapatnya yang lama) setelah beliau pindah ke Mesir. Ternyata juga disebabkan antara lain perbedaan budaya tradisi adat-istiadat dan geografisnya tidak sama dengan di Irak tempat tinggalnya yang terdahulu.

Baca Juga: KAROMAH WALISONGO: Selalu Menang Saat Sabung Ayam, Jago Sunan Ampel Bukan Jago Biasa

Di semua wilayah memiliki cara, kebiasaan atau tradisi yang berbeda-berbeda, bersuku-suku, berbangsa-bangsa adalah tidak mungkin diseragamkan menjadi satu dan sudah sunnatullah berdasarkan ayat AlQuran.

Dalam pandangan ulama yang terpenting sebagai parameter adalah sebagaimana dirumuskan oleh para ahli fikih tidak bertabrakan dengan hukum Islam yang lima (wajib, sunat, haram, makruh, mubah).

Dengan kata lain, tidak harus sama persis seperti Rasul. Tetapi yang penting sesuai sunnah-sunnah atau sabda-sabda beliau.

Baca Juga: Kisah Nyata Amplop Gus Dur, Kiai Fuad, dan Habib Luthfi bin Yahya

Misalnya, tradisi dalam madzab 4 kendatipun tidak seragam tetapi semua ulamanya juga mendasarkan sunnah beliau Nabi Muhammad SAW. Adapun soal penyampaiannya mengapa tidak sama, ada yang adaftif dengan budaya setempat, tetapi juga yang keras itu soal teknis saja menurut kebenaran masing-masing.

Bagi yang moderat dan adaptif dengan tradisi juga mendasarkan dalil agama. Misalnya dari para wali dan ulama terdahulu bisa diterima orang banyak lebih disebabkan kearifan dan sikap bijaknya.

Mereka merujuk anjuran atau perintah dalam kitab suci. Pertama, “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas; maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut" (QS. Thaha: 43-44).

Baca Juga: Keramat Syekh Kholil Bangkalan Madura Tongkat Sakti Nabi Musa AS

Dalam tafsir al-Qurthubi dijelaskan: “Jika Nabi Musa dan Harun saja diperintahkan untuk mengatakan perkataan yang lemah-lembut kepada Fir’aun, maka orang yang derajatnya jauh di bawahnya seperti kita-kita ini lebih pantas meneladani hal itu di dalam pembicaraannya, dan di dalam perkataannya saat memerintahkan yang ma’ruf”.

Kedua, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (QS. Ali Imron: 159).

Ketiga, kebiasaan Rasulullah jika mengutus seseorang dari para sahabatnya di dalam sebagian keperluan beliau bersabda: “Sampaikan berita gembira dan janganlah membuat (orang) lari (menjauhi agama), mudahkanlah dan janganlah membuat susah!” (HR. Muslim).***


Artikel ini ditulis Haryanto. Penulis adalah alumni Jurusan Sejarah UNY mengajar di SMP Negeri 1 Paliyan Gunungkidul Yogyakarta.

Editor: Husain Ali

Tags

Terkini

Terpopuler