Hari Pahlawan! Mengenal Sjafrudin Prawiranegara, Presiden ke-2 RI yang Terlupakan (Bagian 1)

- 10 November 2020, 08:00 WIB
Tugu PDRI, Gunung Omeh, Koto tinggi, Lima Puluh Kota Sumatera Barat
Tugu PDRI, Gunung Omeh, Koto tinggi, Lima Puluh Kota Sumatera Barat /

PORTAL MAJALENGKA - Jika bertanya tentang Presiden, Pada umumnya orang Indonesia hanya mengenal Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri Susilo Bambang Yudhoyon dan Joko Widodo.

Padahal masih ada dua lagi Presiden Indonesia dan jarang sekali disebut. Yaitu Sjafrudin Prawiranegara dan Mr. Assat.

Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten pada 28 Februari 1911. Beliau adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.

Baca Juga: Indonesia Memasuki Jurang Resesi, Ini 5 Pilihan Mobil dengan Harga Murah

Di masa kecilnya akrab dengan panggilan "Kuding", dalam tubuh Sjafruddin mengalir darah campuran Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri.

Menikah dengan putri bangsawan Banten, lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Itulah ayah Kuding yang, walaupun bekerja sebagai Jaksa, cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang Belanda ke Jawa Timur.

Kuding, yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, memiliki cita-cita tinggi, "Ingin menjadi orang besar," katanya. Itulah sebabnya ia masuk Sekolah Tinggi Hukum di Batavia.

Baca Juga: Kasus Covid-19 Dunia 50 Juta Lebih, Amerika Serikat 10 Juta Kasus

Soekarno-Hatta  menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra.

Ketika Belanda melakukan agresi militernya yang kedua di Indonesia pada tanggal 19 Desember 1949, Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berbunyi, "Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas Ibu-Kota Jogyakarta.

Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewadjibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra".

Baca Juga: Bupati Majalengka Bagikan Sertifikat Tanah PTSL

Telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi di karenakan sulitnya sistem komunikasi pada saat itu, namun ternyata pada saat bersamaan ketika mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Sjafruddin Prawiranegara segera mengambil inisiatif yang senada.

Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government).

Gubernur Sumatra Mr TM Hasan menyetujui usul itu "demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara". Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dijuluki "Penyelamat Republik".

Baca Juga: Penting! Warna Mobil Pengaruhi Harga Jual, Benarkah?

Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, pemerintahan Republik Indonesia masih tetap eksis meskipun para pemimpin Indonesia seperti Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta.

Sjafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya yang terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan waktu itu "ketua", namun kedudukannya sama dengan presiden.

Sadar jika kejadian itu sangat membahayakan pemerintahan Indonesia, Soekarno dan Mohammad Hatta segera melakukan sidang kabinet kilat yang menghasilkan dua keputusan.

Baca Juga: Gunakan DD Melalui Skema Padat Karya, Desa Sumber Kulon Jatitujuh Bangun Lapang Voli

Pertama Soekarno dan Hatta tetap tinggal di Yogyakarta meski menghadapi risiko penangkapan, kedua memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera untuk membentuk pemerintah Darurat. Soekarno dan Hatta mengirim telegram kepada Mr Syafruddin Prawiranegara

Isi telegram tersebut berbunyi: "Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan, bahwa pada hari inggu tanggal 19 Desember 1948 pukul 6 pagi Militer Belanda telah melakukan Agresi ke Ibukota Yogyakarta.

Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewadjibannya lagi, maka kami menguasakan/menunjuk Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk Pemerintah Daerah di Sumatera".

Baca Juga: Angka Kesembuhan Pasien COVID-19 di Jabar Masih di Bawah Nasional

Namun, operasi rahasia tersebut tidak berjalan dengan mulus karena sudah hadir saksi dari delegasi komite tiga negara (KTN) yaitu Amerika Serikat, Belgia dan Australia, untuk memantau perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Belanda pun mengubah rencananya untuk menawan Soekarno-Hatta, Sjahrir dan Agus Salim ke Berastagi dan Bangka, telegram itu tak pernah sampai ke tangan Sjafruddin Prawiranegara lantaran terbatasnya komunikasi pada saat itu.

Baca Juga: Pemekaran 3 DOB Baru di Jawa Barat Akan Disampaikan ke Pusat

Namun, kabar agresi militer Belanda di Yogyakarta segera menyebar cepat melalui siaran radio sampai pula ke telinga Sjafruddin Prawiranegara. Begitu ia mendegar, militer Belanda sudah berhasil menguasai ibukota Yogyakarta.

Bersamaan dengan penyerangn terhadap Yogyakarta, pada 19 Desember 1948 pagi, Belanda juga melancarkan aksi militer di Sumatera.(Bersambung)

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x