Kisah Suram di Curam Cadas Pangeran, Jalan Anyer Panarukan Warisan Daendels (Bagian 13)

- 4 Juni 2022, 10:00 WIB
Patung Cadas Pangeran yang lama (kiri) dan patung Cadas Pangeran yang baru (kanan)
Patung Cadas Pangeran yang lama (kiri) dan patung Cadas Pangeran yang baru (kanan) /dok Kodar Solihat

PORTAL MAJALENGKA – Penelusuran Jalan Raya Pos atau lebih dikenal Jalan Anyer Panarukan kali ini membahas sekitar daerah Sumedang, Jawa Barat.

Jalan poros yang dibangun Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels itu memanjang dari ujung Barat hingga Timur Pulau Jawa.

Di lokasi ini, Pramoedya berani mengatakan genosida secara tidak langsung dilakukan Daendels kepada masyarakat pribumi. Direkam dalam ingatannya, 5.000 pekerja pribumi tewas lantaran kelelahan, lapar, dan pekerjaan yang dipaksa membabi-buta.

Baca Juga: Kesaktian Suku Baduy Warisi Mantra-mantra Sakti Prabu Siliwangi, 3 Suku Paling Ditakuti di Indonesia

Cadas Pangeran merupakan jalan raya berkelok curam menanjak dan menurun sepanjang tiga kilometer. Wilayahnya murni sebuah pegunungan cadas yang dibobok demi terhubungnya jalan antara Bandung dan Sumedang.

Di lokasi ini diabadikan sebuah monumen berbentuk patung dua orang tokoh terpenting: Patung Pangeran Kornel (Pangeran Kusumadinata IX, bupati Sumedang 1791-1828) bersalaman dengan Daendels, yang masyarakat Sumedang sebut saat itu dengan Mas Guntur.

Seperti yang dikisahkan secara turun-temurun di sini, peristiwa Cadas Pangeran berawal dari pertemuan Pangeran Kusumadinata IX dengan Gubernur Daendels di tengahtengah proses pembangunan jalan raya.

Baca Juga: Padalarang Menuju Cimahi, Menelusuri Jalan Anyer Panarukan Warisan Daendels (Bagian 11)

Dikisahkan, Pangeran Kusumadinata IX melakukan jabat tangan dengan sang gubernur menggunakan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya, siap menghunus keris pusaka yang kemudian dikenal dengan nama keris Nagasasra.

Monumen yang dibuat pada 1975 ini digadang-gadang menjadi sebuah refleksi dari kisah heroik masyarakat Sumedang. Menurut cerita, Pangeran Kornel juga menantang Daendels bertarung secara fisik.

"Lebih baik gugur bersama sekaligus, daripada mengorbankan rakyat Sumedang yang tak berdosa." Sebuah ungkapan yang kini masih dipercayai masyarakat Sumedang pernah terucap dari mulut sang bupati.

Baca Juga: Jejak Prabu Siliwangi di Leuweung Sancang Hindari Pertempuran dengan Raden Kian Santang Paman Sunan GunungJati

Seiring munculnya banyak penelitian tentang sejarah Cadas Pangeran, keaslian kisah heroik sang bupati pun mulai dipertanyakan. Beberapa pihak meragukan.

Sebab, Pangeran Kornel masih berusia muda saat itu. Bila dilihat wilayah kekuasaannya pun, Sumedang dicap sebagai produk feodalisme Mataram, kerajaan yang lebih sering mengutamakan kompromi dengan Belanda.

Ada setitik sejarah terungkap. Tepatnya saat penulis menemui R Moch Achmad Wiriaatmadja di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang.

Pria berusia 73 tahun itu pelukis peristiwa Cadas Pangeran, yang sebagian dalam lukisan itu diabadikan dalam sebuah patung yang saat ini masih berdiri gagah. Lukisan yang dibuat pada 1974 itu masih disimpan di kediamannya.

Baca Juga: Sunan Gunung Jati Marah Besar Hingga Usir Sunan Kali Jaga! Gagalnya Sunan Kalijaga Menjadi Murid Sang Sunan

"Banyak yang mempersoalkan kebenaran itu," ujar Achmad. Ini mengingat, kata dia, memang tidak ada dokumen Belanda yang membenarkan peristiwa tersebut.

Achmad mengaku ide gambar adegan itu tercetus setelah ia melakukan perenungan semalaman mencari inspirasi untuk membangun sosok Pangeran Kornel dalam lukisannya.

Sang pelukis lantas mengurai nilai filosofi di balik pembuatan lukisan tersebut. Pertama, jika dilihat dari arah Sumedang, Daendels berada di sebelah kiri.

Merupakan perlambang sebuah pengkhianatan. Ini mengingat Daendels yang ditunjuk langsung oleh Louis Napoleon, pimpinan Prancis usai menaklukkan Belanda saat itu.

Baca Juga: Julukan Maung Bandung bagi Persib Bandung Tidak Lepas dari Prabu Siliwangi, Berikut Asal Usulnya

Kedua, soal tangan kiri Pangeran Kornel, berarti keburukan yang diberikan bagi Belanda. "Kiri juga berarti perlawanan," kata lelaki yangjuga salah satu keturunan sang bupati.

Sementara itu Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia, Djoko Marihandono menjelaskan soal mitos di Cadas Pangeran.

Menurut dia, peristiwa pertemuan Daendels dan Pangeran Kusumadinata tidak tertulis dalam arsip mana pun, termasuk juga dalam laporan Daendels.

Selain arsip, beberapa tulisan leksikografi yang membahas tentang masa pemerintahan Daendels juga tidak menyebut sebuah peristiwa terjadi di Cadas Pangeran.

Baca Juga: Keramat Sunan Gunung Jati, Perut Wanita yang Buncit Seketika Langsung Kempis

Lebih lanjut, Djoko mencoba menganalisis dari kesesuaian bukti autentik yang ada dalam prasasti Cadas Pangeran. Dalam prasasti itu tertulis tanggal pembuatannya antara 26 November 1811 sampai dengan 12 Maret 1812.

Bertentangan, sebab berdasarkan sumber arsip, Daendels mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 16 Mei 1811 ketika harus menyerahkan jabatannya kepada Jan Willem Janssens.

Pada tanggal 29 Juni 1811 Daendels berlayar kembali ke Eropa dari pelabuhan di Surabaya. Pada bulan September 1811 ia diterima oleh Napoleon Bonaparte di Paris.

Baca Juga: Penantian Dewi Rengganis Terhadap Raden Kian Santang Putra Prabu Siliwangi, Batu Cinta di Situ Patenggang

"Masa itu, masa prasasti dibuat, Daendels telah kembali ke Eropa," ujar Djoko seperti dikutip Portal Majalengka dari buku Napak Tilas Jalan Daendels Karya Angga Indrawan.

Tanpa terus mempertanyakan nilai kebenaran tersebut, Cadas Pangeran memang mengurai banyak kisah tragis. Di wilayah ini, terhampar kuburan masal di sepanjangjalannya.

Mantan sekretaris Paguyuban Kuncen se-Kabupaten Sumedang, Yadi Ahyadi, mengaku menjadi saksi penemuan tulang-belulang di Cadas Pangeran.

"Sekitar 2007, saat pemetaan kembali kawasan wisata Cadas Pangeran," ujarnya saat penulis temui di kompleks pemakaman Pangeran Kornel, Pasarean, Sumedang.

Baca Juga: Kisah Cucu Kembar Prabu Siliwangi Berubah Jadi Macan, Bongbang Larang dan Bongbang Kencana

Di Cadas Pangeran, juga masih terdapat kampung dengan nama berkaitan dengan peristiwa bersejarah tersebut.

Ada Kampung Singkup, nama yang diambil lantaran dulu kampung ini tempat meletakkan semua perkakas para pekerja yang didominasi Oleh sekop (schoop=singkup).

Ada juga Kampung Pamucatan yang berada di satu turunan Cadas Pangeran. Istilah ini diambil dari kata mucat dalam bahasa Sunda, yang berarti waktunya melepas ikatan kerbau yang membantu transportasi di jalur ini.

Hanya perlu sepuluh kilometer dari Cadas Pangeran, penulis tiba di pusat Kota Sumedang. Sumedang merupakan wilayah dari perjalanan panjang Kerajaan Sumedang Larang.

Baca Juga: Bikin Merinding, Ungkapan Perpisahan Ridwan Kamil Melepas Almarhum Eril di Sungai Aare Swiss

Wilayah kerajaan ini sempat mencapai puncak kekuasaannya pada abad ke-16 pascakeruntuhan Kerajaan Pajajaran.

Kerajaan Sumedang diklaim memiliki wilayah hampir seluruh Jawa Barat kecuali Jakarta dan Cirebon. Pada abad ke-18, kerajaan ini juga sempat mendapat pengaruh kuat Kerajaan Mataram.

Kata Sumedang berasal dari insun medal, insun madangan, insun artinya saya, medal artinya lahir. Sedangkan madangan artinya memberi penerangan. "Saya lahir untuk memberi penerangan".

Kalimat iłu terucap ketika Prabu Tadjimalela, Raja Sumedang Larang I melihat ketika langit benderang oleh cahaya yang melengkung mirip selendang (malela) selama tiga hari tiga malam.

Baca Juga: Denny Sumargo Dihujat Warganet Terkait Eril karena Podcast Lawas dengan Ridwan Kamil, Begini Klarifikasinya

Sepanjang perjalanan Kerajaan Sumedang Larang, pemerintahan berpindah-pindah tempat. lni juga yang kemudian menjadikan Sumedang dikenal dengan negeri seribu satu raja.***

Editor: Andra Adyatama

Sumber: Buku Napak Tilas Jalan Daendels


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x