Bangunan-bangunan militer itu masih dapat dijumpai di sepanjang Jalan Gatot Subroto, Baros, dan Jalan Sriwijaya.
Namun, sebelum itu ingin rasanya lebih dulu memisahkan Cimahi menjadi dua bagian. Pertama, Cimahi yang terbangun sejak dibukanya jalan Daendels (Anyer-Panarukan), dan Cimahi yang terbangun sebagai kekuatan militer pasca dibukanya jalur kereta Oleh Hindia Belanda pada 1874.
Awalnya Cimahi merupakan daerah yang belum terlalu berarti sebelum dibangunnya rute Groote Postweg. Jalur utama di Cimahi barulah memiliki geliat saat proyek kerja paksa itu rampung.
Berkat pembangunan di era Gubernur Herman Willem Daendels itu, Cimahi cukup maju karena terhubung langsung dengan Padalarang dan Bandung.
Peradaban niaga yang cukup tua bisa ditemui sepanjang rute utama Jalan Raya Cimahi, tepatnya di pusat alun-alun kota.
Baca Juga: Kisah Cucu Kembar Prabu Siliwangi Berubah Jadi Macan, Bongbang Larang dan Bongbang Kencana
Satu bukti yang meyakinkan akan keberadaan Jalan Raya Pos adalah bangunan yang tepat berada di Sisi utara alun-alun. Sebuah bangunan tua yang konon merupakan bekas pos jaga dan perhentian kereta kuda.
Pos jaga itu kini telah berubah menjadi sebuah toko buku, Pustaka Nasution, yang dimiliki keluarga Nasution sejak 1960an.
Kendati begitu, bangunan itu masih mempertahankan gaya kekunoannya. Sayangnya, di sekitaran bangunan ditempati banyak pedagang kaki lima. Mulai penjaja makanan hingga toko kaset dan pengrajin stempel.
Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Jalan Raya Pos Jalan Daendels (2005) turut mengisahkan Cimahi.