Ulul Albab; Muslim yang Berzikir dan Berpikir (Catatan Kecil Musibah di Awal Tahun 2021)

- 1 Februari 2021, 07:26 WIB
Dr H Masduki Duryat MPdI
Dr H Masduki Duryat MPdI /

Oleh: Dr. H. Masduki Duryat, M. Pd.I

Dewan Pakar PC Pergunu Indramayu

Fenomena alam yang menegaskan tentang sebagian dari tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran  Allah kembali terjadi. Banjir bandang, gempa bumi, longsor, gunung meletus, puting beliung dan bencana lain terjadi di bumi Indonesia yang kita cintai.

Tangisan Rasul

Menarik catatan Prof. Dr. Jalaluddin Rahmat pada bukunya “Khutbah-khutbah di Amerika”, beliau menguraikan; suatu malam setelah izin kepada istrinya ‘Aisyah untuk shalat malam, Rasul yang mulia mengambil air wudhu, kemudian shalat, selesai shalat membaca al-Quran.

Wudhu menangis, shalat menangis, baca Quran juga menangis, tangisan yang amat lama, bahkan lebih lama ketika beliau menangis mendapat tekanan yang berat, atau saat beliau ditinggal orang terkasihnya, paman dan istrinya Khadijah—lalu disebut tahun duka cita ('aam al-huzn). Tangisan terlama sepanjang sejarah. Bahkan Bilal sampai terlihat kebingungan melihat kondisi seperti itu.

Baca Juga: 3.300 Tenaga Kesehatan di Jawa Barat Ikut Vaksinasi Covid-19 Massal

Diriwayatkan, Bilal seperti biasa mengumandangkan adzan subuh. Sebelum adzan selesai, biasanya Rasulullah telah berada di masjid. Tapi hari itu tidak seperti biasanya, Rasul belum hadir meski Bilal sudah selesai mengumandangkan adzan.

Bilal dan para sahabat menunggu beberapa saat, tapi Rasul tak kunjung datang ke masjid. Karena hawatir, Bilal pun ahirnya mendatangi rumah Nabi untuk menjemputnya. Saat pintu bilik rumah Nabi diketuk, tidak langsung ada jawaban dari dalam bilik. Namun tak lama kemudian Bilal dipersilakan masuk.

Apa yang dilihat Bilal? Ia melihat kekasih Allah dalam keadaan sangat mengharukan. Air matanya berlinang, menetes di pipinya. Matanya sembab menunjukkan betapa beliau telah menangis cukup lama semalaman. 

Baca Juga: Diduga Terkena Senjata Tajam, BKSDA Beri Sembilan Jahitan di Kepala Orangutan Berusia 25 Tahun

Kekhawatiran Bilal memuncak dan bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasul yang mulia, ada apakah sehingga engkau menangis seperti itu. Apakah sakit, atau ada teguran dari Allah, bukankah dosamu yang lalu, kini dan akan datang diampuni oleh Allah, atau ada kejadian hebat lainnya?”. Kemudian Rasul yang mulia menjawab, “Aku ingin menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah dan baru saja turun wahyu kepadaku, dan celakalah ummatku jika tidak mampu memikirkannya”.  Lalu wahyu apakah yang beliau terima, sehingga beliau sampai menangis sedemikian lama.

Tangisan Rasul yang lama ternyata disebabkan karena beliau menerima wahyu QS. Ali Imran ayat 190-191:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): _"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.

Baca Juga: Peringati Harlah NU, GP Ansor Jatitujuh Lakukan Bersih-bersih Masjid

Di Balik Penciptaan Alam

Pertanyaannya, ada apa dengan ayat ini? Pada buku “Nalar Ayat-Ayat Semesta (AAS)”, Dr. Agus Purwanto ahli Fisika Lulusan Universitas Hiroshima, Jepang dengan lugas menyatakan: “Aksiologi Islam adalah dikenalnya Sang Pencipta melalui pola-pola ciptaannya—termasuk alam semesta,  pergantian siang dan malam—dan diketahuinya watak sejati segala sesuatu—sebagaimana yang diberikan oleh Tuhan—akan memperlihatkan kesatuan hukum alam, sunnatullah, keteraturan seluruh bagian dan aspeknya sebagai refleksi dari kesatuan prinsip ilahi”.

Sedemikian luar biasa ciptaan Tuhan dan bagi Ulul Albab—ilmuwan—keberhasilan upaya menguak pola ciptaan dan kesatuan hukum alam akan membuatnya makin tunduk kepada Sang Khalik, sebagaimana diisyaratkan pada QS. Ali Imran tersebut:

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): _"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.

Baca Juga: Selamatkan Bumi, Slankers Fans Club Majalengka Lakukan Penanaman Pohon

Semua ilmuwan melakukan hal yang standar. Lalu apa yang membedakan antara ilmuwan muslim dengan ilmuwan non-muslim? Pada ayat di atas dipadu antara pikir dan zikir, bahkan zikir disebut lebih dahulu, baru kemudian pikir. Urutan ini bukan secara kebetulan, tetapi menegasikan bahwa sebelum menjadi ilmuwan yang banyak berpikir, seorang muslim harus mentarbiyah dirinya dengan zikir.

Zikir dilakukan secara formal—dengan melafalkan kalimat tasbih, tahmid, takbir dan tahlil—maupun zikir substansial, yakni jiwa terus berselancar dengan sang khalik. Kewajiban sebagai seorang muslim, seperti shalat wajib dan puasa pada bulan Ramadhan, telah dikerjakan dengan baik. Juga ibadah sunnah, seperti zikir asmaul husna, puasa Senin Kamis, dan shalat tahajud menjadi bagian dari tradisi kehidupannya.

Ketika seorang muslim menjadi ilmuwan, ia tidak pernah berhenti mengingat atau menyebut asma Allah, baik ketika berdiri, duduk, maupun berbaring. Pengamatan dan perenungannya atas fenomena alam tidak membuatnya berlepas diri dari sang Maha Pencipta semua fenomena ini. Fenomena alam dengan aneka pola dan keteraturannya adalah bagian dari kehendak-Nya.

Baca Juga: Masyarakat dan Pemerintah Bersama Tekan Penularan Covid-19 Lewat Protokol Kesehatan

Aneka fenomena alam tidaklah berdiri sendiri, ia saling terkait satu sama lain. Fenomena alam tidak muncul sia-sia tanpa pesan—pasti ada blessing in disgues—bukan tanpa pesan. Ilmuwan Islam mencoba memahami dan menangkap pesan yang terkandung di balik aneka fenomena alam.

Mengamati dan merenungkan alam berarti memahami kebijakan-Nya. Ketika misteri dari sebuah fenomena alam tersibak, ilmuwan muslim secara spontan akan menyucikan Sang Pengendali yang tersembunyi di balik fenomena tersebut. Tidak sekedar bertasbih, melainkan juga memohon agar upaya menyingkap tabir alam dan hasilnya tidak menggelincirkannya serta menyeretnya ke dalam azab-Nya dengan berzikir. “Rabbanaa maa khalaqta haadza baathilaa”

Inilah aksiologi dalam bangunan sains Islam, yakni menyibak rahasia alam yang tidak satupun tercipta dengan sia-sia. Keberhasilan sang ilmuwan menyibak rahasia alam tidak membuatnya takabur, arogan, dan mengabaikan Sang Pencipta. Sebaliknya, mereka semakin takjub pada kekuasaanNya hingga semakin tunduk, dekat dan takut kepadaNya.

Baca Juga: Problematika Dana Bencana

Musibah; Pespektif Ulul Albab

BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana)  mencatat 236 kejadian bencana  yang terjadi sejak 1 Januari 2012.  Dari total bencana tersebut, bencana hidrometeorologi masih mendominasi hingga  28 Januari 2021 yakni bencana banjir, tanah longsor dan puting beliung.

Catatan BNPB, sebanyak 151 kejadian banjir terjadi di beberapa wilayah di tanah air, sedangkan tanah longsor 38 dan putting beliung 36. Kejadian bencana lain yang tercatat yaitu  gelombang pasang 5 kejadian, gempa bumi 5 karhutla 1 kejadian.

Bahkan ada kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak  jatuh dengan membawa penumpang 62 orang meninggal dunia dalam kecelakaan tersebut. Rasanya bencana itu juga semakin melengkapi kurva pandemi Covid-19 yang tidak kunjung melandai kasusnya. Saat ini menembus angka 1 juta lebih kasus dan menjadi negara tertinggi kasus Covid-19 di ASEAN.

Baca Juga: Ridwan Kamil Minta Pemkab Karawang Evaluasi Penanganan Covid-19

Ketika antropologi sebagai ‘biangnya’ penelitian ilmu social, maka banyak yang mengkorelasikan bencana dengan agama. Misalnya gunung Merapi dan gempa di Jogja meletus dihubungkan oleh banyak peneliti dengan alasan ‘agama’ yang irrasional secara empirik.

Demikian juga ada yang berpandangan dengan beberapa narasi dibangun bahwa gempa, tsunami, dan ditenggelamkan suatu wilayah. Pemantiknya adalah kemaksiatan yang bagi agamawan dipercaya sebagai katalisator Tuhan untuk menurunkan bencana/musibah.

Lalu benarkah demikian? Bagi agamawan hal itu bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran. Apalagi dengan melihat realitas kitab suci—sebagaimana diungkapkan Quraish Shihab dalam Menabur Pesan Ilahi, Pertama, musibah/bencana terjadi karena ulah manusia (QS. 42: 30), Kedua, musibah/bencana tidak terjadi kecuali atas izin Allah (QS. 64: 11), Ketiga, bencana/musibah bertujuan untuk menempa manusia dan terlarang berputus asa—walaupun hal tersebut akibat kesalahan sendiri—sengaja atau tidak, (QS. 57: 22-23).

Baca Juga: Pemprov Jabar Perkuat 100 Puskesmas Untuk Tangani Covid-19 pada 2021

Tapi ada hal yang menarik uraian Amin Rais, jauh sebelum kejadian banjir bandang di kalimantan pada tulisannya tentang Tauhid Sosial; Rasanya QS. Al-Anfal (8): 53 seperti diturunkan kepada kita. Allah tidak akan mencabut kenikmatan yang diberikan kepada suatu bangsa atau kaum, kecuali bangsa itu dengan tangannya merusak, mendestruksi, menghancurkan kenikmatan yang telah diberikan Tuhan.

Hutan di Kalimantan orang menyebutnya sebagai ‘paru-parunya dunia’, hutan terbesar ketiga di dunia setelah Brazilia dan Zaire, tapi apa yang terjadi sekarang sudah gundul, ditebangi, dibakar dan dirusak oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Sekitar 1,2 juta hektar telah dibakar, yang menurut WALHI kalau dirupiahkan kerugiannya mencapai 11 Trilyun rupiah.

Menurut ahli kehutanan, kerusakan hutan yang paling ringan, merehab tanahnya memerlukan waktu sekitar 30 tahun. Sedangkan kerusakan yang parah memerlukan waktu sekitar 400-500 tahun, sampai 25 generasi belum tentu hutan kita pulih kembali.

Baca Juga: Penuh Haru Jenazah Kapten Afwan Akhirnya Teridentifikasi

Majalah News Week menyebut kasus ini dengan the most scandalous man made catastrophe in the modern time,  bencana buatan tangan manusia yang paling skandalus di zaman modern.

Akibatnya kita rasakan sekarang, Kalimantan banjir bandang, dan kita tercatat sebagai bangsa yang tidak pandai bersyukur.

Inikah yang membuat mata Rasulullah sampai menangis begitu mendalam ketika menerima wahyu tentang fenomena alam ini?

Baca Juga: Sebanyak 13.513 Warga Bekasi Sudah Terjangkit Covid-19

Berat memang, tetapi bagi ulul albab akan segera menyadari untuk segera berdzikir dan kembali pada kebenaran, “liyudziqohum ba’dhalladzi ‘amiluu la’allahum yarji’un”.

Allahu Akbar, God is not retired, Tuhan tidak pernah pensiun, tidak pernah mengundurkan diri dengan segala kreatifitas ciptaanNya yang tidak sia-sia.

Wallahu a’lam bi al-shawab

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah