Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam (Refleksi Hari Amal Bakti ke-75 Kementerian Agama)

3 Januari 2021, 14:24 WIB
Dr H Masduki Duryat MPdI /

Oleh: Masduki Duryat*)

Pada momentum Hari Amal Bakti (HAB) Kementerian Agama (Kemenag) ke-75 tahun tepatnya tanggal 3 Januari tahun 2021 ini, Kementerian Agama mengangkat tema “Indonesia Rukun”. Tema ini merupakan sebuah harapan dan doa dari seluruh insan Kementerian Agama untuk Indonesia.

Betapapun, kita sekarang ini sedang menghadapi sebuah fase ‘ujian’ untuk tetap mempertahankan sebagai sebuah bangsa yang berdiri di atas kemajemukan, multikultultural.

Kita bangga bangsa ini berdiri di atas kemajemukan dan lebih bangga lagi sebagai sebuah bangsa kita masih survive, tetap tegak berdiri.

Baca Juga: Kang Uu Nyatakan Siap Menjadi Orang Pertama Penerima Vaksin Covid-19

Kemajemukan ini dalam dimensi ikatan Bhinneka Tunggal Ika, satu sisi merupakan opportunity tetapi sisi lain merupakan sebuah ancaman.

Salah satu bentuk ancaman dalam berbangsa dan bernegara adalah konflik horizontal, diperlukan sikap moderat dalam beragama dan langkah tepat dalam menanamkan sikap beragama yang moderat adalah melalui pendidikan.

Korelasi Pendidikan (Islam) dengan Sikap Moderat

Pendidikan (Islam) dengan sikap moderat saling berkelindan dengan argumentasi penguatan pemahaman tentang moderasi dan paham keagamaan dalam upaya untuk menanggulangi munculnya pemikiran keagamaan konservatif yang tidak mau menerima realitas keragaman dan perbedaan.

Baca Juga: Pemkab Garut Bangun Bamboo Creative Centre di Selaawi Senilai Rp8,8 Miliar

Padahal seperti yang diungkapkan oleh Husein Shahab kebenaran itu bisa didapat dengan dua sisi; kebenaran filosofis dan kebenaran sosiologis. Secara filosofis, kebenaran yang sbenarnya adalah satu, tunggal dan tidak majemuk—yakni sesuai dengan realitas—tetapi pencapaian kebenaran pada setiap orang bisa berbeda.

Dalam konteks agama, semua agama—Yahudi, Nasrani, Islam, Budha, Hindu termasuk aliran kepercayaan—ingin mencapai Realitas Tertinggi (The Ultimate Reality).

Kristen dan Islam menerjemahkan Realitas tertinggi sebagai Allah (dengan pelafalan yang sedikit berbeda), Yahudi sebagai Yehova, demikian juga dengan keyakinan yang lain. Ini berarti bahwa yang dikejar sebagai realitas tertinggi itu sebenarnya adalah yang satu.

Baca Juga: Subsidi Listrik Berlanjut, Cek Siapa yang Bakal Menerima dan Sampai Kapan Berlaku

Itulah kenapa menurut Frithjof Schoun semua agama itu sama dalam alam transendental. Pada alam itu, semua agama mengejar Realitas Tertinggi.

Sisi kedua adalah sosiologis. Dalam pencapaian dan penerjemahan Realitas Tertinggi mulai terjadi klaim pembenaran yang berbeda.

Islam mengatakan bahwa agamanyalah yang paling benar; begitu juga Kristen, yahudi, Hindu, Budha dan aliran kepercayaan menyatakan demikian. Padahal, perbedaan yang terjadi secara hakiki bukan terletak pada Realitas tertinggi. Di sini mulai timbul konflik kebenaran, baik ekstra-agama maupun intra-agama.

Baca Juga: Tahun 2021 Pelajar DKI Jakarta Tetap Belajar di Rumah

Dalam al-Quran terdapat tuntunan yang banyak membicarakan Realitas Tertinggi yang menunjukkan bahwa secara filosofis tidak menerima kebenaran selainnya. Namun di sisi lain (sosiologis) dengan sangat toleran menerima kehadiran keyakinan lain (lakum dinukum waly al-din). Di samping memang secara realitas juga para pemikir Islam cenderung bersikap sangat toleran dan moderat.

Ketidakmaun untuk menerima keragaman dalam keberagamaan pada bahasa Zada cenderung memunculkan identitas baru dalam mengekspresikan sikap keberagamaannya yang resisten terhadap budaya dan kearifan lokal, bahkan mengarah pada sikap tidak mau menerima dasar negara.

Paham keagamaan tersebut memiliki keinginan militan dan kuat untuk menjadikan tafsir paham keagamaannya sebagai sistem negara yang diilhami oleh narasi ideologi seperti ideologi kebangkitan Islam dengan cita-cita untuk mendirikan sistem kepemimpinan Islam global semacam khilafah, darul Islam, maupun imamah. Konsekuensinya, sikap resisten dan ketidakmauan tersebut kemudian menjadikan ideologi ini lebih mengarah kepada gerakan ekstrim, radikal dan intoleran.

Baca Juga: Mensos Lakukan Pemetaan Calon Penerima Bansos Tiap Daerah

Pendidikan (Islam) dalam hal ini menjadi katalisator, jembatan untuk meluruskan pemahaman yang sempit dan mengarah pada sikap dan ekspresi keagamaan yang konservatif.

Pemahaman keagamaan yang ditawarkan melalui konsep moderasi yang berusaha untuk mencari titik temu dari berbagai aspek keagamaan dan ketika dikorelasikan dengan paham keislaman tidak bisa dipisahkan dari aspek teologis, syariah dan mistisisme.

Dengan bahasa yang berbeda, moderasi dalam hal ini memiliki peran penting dalam mengatur pola relasi antara paham keagamaan, kemasyarakatan dan kebangsaan melalui paradigma keagamaan yang kontekstual. Di sini penting hadirnya lembaga pendidikan (Islam) dengan segala pirantinya.

Baca Juga: Status Siaga, Gunung Merapi Keluarkan Guguran Material Sejauh 1,5 Kilometer

Prinsip Moderasi Beragama

Moderasi merupakan sikap jalan tengah atau sikap keragaman yang hingga saat ini menjadi terminologi alternatif dalam diskursus keagamaan baik di tingkat lokal maupun global. Moderasi masih dianggap sebagai sikap keragaman yang paling ideal di tengah kemelut konflik keagamaan yang terus memanas.

Beberapa prinsip moderasi beragama itu adalah (1) Tawasuth, sikap tengah-tengah atau sedang di antara dua sikap yang tidak terlalu jauh ke kanan (fundamentalis) dan terlalu jauh ke kiri (liberalis). (2) Tawazun,  pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan—baik ukhrawi maupun duniawi—tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf (perbedaan). (3) I’tidal, lurus dan tegas. Menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional. I’tidal merupakan bagian dari implementasi keadilan dan etika bagi setiap muslim. (4) Tasamuh, pendirian atau sikap seseorang yang termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beranekaragam, meskipun tidak sependapat dengannya. (5) Musawah/Egaliter, persamaan dan penghargaan terhadap sesama manusia sebagai makhluk Allah. (6) Syura, saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat terhadap suatu perkara.

Dengan prinsip-prinsip ini, kita akan dapat menerima perbedaan—sepanjang wilayah furu’iyah—adalah sebuah realitas dan menambah khazanah untuk sepakat dalam perbedaan.

Baca Juga: Angin Puting Beliung Terjang Slangit Kabupaten Cirebon, 278 Rumah Rusak

Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan (Islam)

Nilai-nilai moderasi beragama atau prinsip wasathiyah dalam menjalankan ajaran agama Islam harus diimplementasikan melalui dunia pendidikan.

Dalam konteks Kementerian Agama, hal ini berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia dalam berbagai jenjang.

Pendidikan Islam tidak boleh hanya berorientasi pada persoalan-persoalan teoretis keagamaan yang bersifat kognitif semata, tetapi perlu internalisasi dalam diri peserta didik yang kemudian sedapat mungkin dapat dipraktekkan dalam kehidupan nyata.

Baca Juga: Khofifah Indar Parawansa Terpapar Covid-19, Satgas Penanganan Covid-19 Telusuri Ring Terdekat

 

Oleh karena itu, diperlukan dua orientasi sekaligus dalam mempelajari Islam; yaitu (1) mempelajari Islam untuk mengetahui bagaimana cara beragama yang benar; (2) mempelajari Islam sebagai sebuah pengetahuan untuk membentuk perilaku keagamaan yang memiliki komitmen, loyal dan penuh dedikasi, dan sekaligus mampu memposisikan diri sebagai pembelajar, peneliti, dan pengamat yang kritis dalam melaksanakan dan pengembangan konsep moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks ini harus diperhatikan tujuan dan sasaran yang akan dicapai pada waktu yang akan datang serta strategi untuk mewujudkan tujuan dan strategi tersebut. Sehingga diperlukan interaksi dengan lingkungan dan melihat kemampuan internal serta eksternal dengan melihat kekuatan dan kelemahan institusi.

Selamat Hari Amal Bakti Kementerian Agama, semoga seluruh ikhtiar menjadi kenyataan meminjam bahasa Taofikurrahman, segenap upaya nyata yang terpancar dari bilik keikhlasan dan relung ketulusan dapat terus kita semaikan. Sehingga apa yang menjadi cita dan gita idaman kita dapat teraih walau itu bukan utama, karena yang utama adalah prosesnya.

Baca Juga: Sampai Akhir 2020, Sebanyak 237 Dokter Meninggal Karena Covid-19

*)Penulis adalah salah satu penulis buku “Implementasi Moderasi beragama dalam Pendidikan Islam” yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI, tinggal di Kandanghaur Indramayu

Editor: Andra Adyatama

Tags

Terkini

Terpopuler