Penguatan Pendidikan Politik untuk Menyambut Pemilu Serentak 2024

- 5 Juni 2023, 21:31 WIB
 Ilustrasi Pemilu 2024
Ilustrasi Pemilu 2024 /ANTARA/Kliwon/

Oleh: Firdaus Alahudi SPdI MM

DEMOKRASI meniscayakan adanya pemilihan umum. Sosok pemimpin dan wakil-wakil di parlemen tidak lagi dinisbahkan pada dewa-dewa atau segala yang supra natural. Mereka adalah orang-orang yang dipercaya dapat memikul tanggung jawab dalam menata dan mengelola kehidupan publik. Oleh karena itu, dalam konteks demokrasi dan pemilu, visi-misi berkemajuan dan kredibilitas para kontestan pemilu hendaknya menjadi pertimbangan utama bagi para pemilih.

Pemilu Serentak 2024 akan menjadi momentum penting bagi itu semua. Di mana kita akan kembali memilih pemimpin dan para wakil rakyat untuk kehidupan berbangsa dan bernegara hingga lima tahun berikutnya. Pemilu 2024 di Indonesia akan menentukan arah pembangunan, kebijakan publik, dan strategi penyelesaian segala tantangan yang akan dihadapi dalam beberapa tahun ke depan. Tentu saja keterlibatan dan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pemilu sangat penting. Dan sekali lagi, itu tidak hanya sebatas rampungnya suksesi, melainkan benar-benar terjadi seleksi.

Meski masih harus terus berbenah, namun saya mengapresiasi upaya-upaya yang dilakukan penyelenggara untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap kontestasi politik. Di era Orde Baru, semangat untuk golput begitu besar. Celakanya, angka golput pada masa itu justru lebih rendah jika dibandingkan dengan angka golput di era reformasi. Di Pemilu 1999, angka golput mencapai 10,4 persen. Lalu di Pemilu 2009, golput legislatif mencapai angka 29,01 persen, di Pilpres 2009 angka golput mencapai 27,77 persen, sementara di Pileg 2004 jumlah golput mencapai 15,9 persen. Angka itu terus meningkat pada pemilu presiden putaran pertama dan kedua masing-masing 21,8 persen dan 23,4 persen.

Baca Juga: JPPR, NU dan Muhammadiyah Cirebon Inisiasi Forum Masyarakat Sipil, Bahas Isu Kebangsaan dan Demokrasi

Dengan demikian, penyelenggara pemilu memiliki dua tugas pokok yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Yang pertama adalah upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemilu, sedang yang kedua adalah peningkatan pemahaman masyarakat terhadap demokrasi dan kebijakan publik. Yang pertama sudah disentuh dengan berbagai upaya, sedang yang kedua masih sangat minim sekali. Padahal yang kedua lebih bersifat substansial karena akan menentukan budaya demokrasi dan prilaku dalam berdemokrasi. Oleh karenanya, penulis akan lebih berfokus pada pendidikan politik demokrasi secara substansial.

Wacana tentang demokrasi sudah demikian luas diterima oleh masyarakat dunia (Asshiddiqie, 2009). Demokrasi juga sudah banyak diterima dan dipraktikkan di seluruh dunia dengan cara berbeda-beda (Zaini, 2019). Diterimanya konsep Demokrasi disebabkan oleh keyakinan bahwa konsep ini merupakan tata pemerintahan yang paling unggul di bandingkan dengan tata pemerintahan lainnya. Dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi, demokrasi harus berdasarkan pada suatu kedaulatan rakyat, artinya kekuasaan negara itu dikelola oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat (Noviati, 2016).

Sejak awal berdiri, Indonesia juga sudah menganut sistem demokrasi. Namun tampaknya itu belum seiring sejalan dengan budaya dan prilaku dalam berdemokrasi. Terlebih jika demokrasi itu sendiri ditautkan dengan pancasila hingga menjadi demokrasi pancasila. Soemarno S. Dalam bukunya, Karakter Bangsa dari Gelap Menuju Terang (h.19, 2010) mempersoalkan itu. Ia kembali mengingatkan kita pada terminologi character building yang pernah dianggap begitu kunci oleh Bung Karno.

Halaman:

Editor: Husain Ali


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x