Potensi Politik Uang Ada di Pilkada Apapun

6 September 2020, 08:48 WIB
Mahfud MD berikan penjelasan perbedaan resesi dan kritis /Antara

PORTAL MAJALENGKA - Selain politik dinasti dan kampanye hitam, politik uang selalu menjadi tema hangan dalam setiap perhelatan politik.

Nilai demokrasi Indonesia dinilai masih rendah, salah satunya disebabkan praktik bagi-bagi uang tersebut.

Meski berbagai upaya dilakukan, namun politik uang tetap massif dilakukan khususnya menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020.

Baca Juga: Tidak Diusung Partai Politik, Pasha Ungu dan Aldi Taher Gagal Maju di Pilkada Sulteng

Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menilai pilkada yang diselenggarakan secara langsung atau lewat DPRD sama-sama berpotensi terjadi politik uang.

Hal itu disampaikan Mahfud MD dalam webinar bertajuk Pilkada dan Konsolidasi Demokrasi Lokal yang diselenggarakan MMD Initiative di Jakarta, Sabtu 5 September 2020).

Menurut Mahfud, potensi terjadinya politik uang pada dua sistem pemilihan itu sama saja hanya berbeda modelnya saja.

Baca Juga: Anies Dinilai Gagal dalam Memimpin Jakarta

“Sama-sama ada money politics-nya, mau eceran atau mau borongan kan begitu, kan sama-sama tidak bisa dihindari,” kata dia.

Ketika ada perdebatan pilkada harus langsung atau tidak dia sudah pernah menyampaikan bahkan ditulis di keputusan MK, bahwa potensi politik uang di pilkada sama saja.

“Kalau pilihan langsung kepada rakyat itu money politics-nya eceran, kalau lewat DPRD itu borongan. Bayar ke partai, selesai. Kalau ke rakyat seperti sekarang, bayar ke koordinator atau langsung pakai amplop satu-satu,” katanya.

Baca Juga: Ketua DPRD Nyaris Adu Jotos dengan Kepala BKAD

Saat menjadi Ketua MK, dia menemukan kecurangan-kecurangan dalam pilkada yang luar biasa.

Seperti penggunaan dana pemerintah oleh petahana di masa lalu, hingga bermacam-macam kejadian kriminalitas.

“Kalau nggak salah ada 12 jenis pelanggaran pilkada mulai dari pidana sampai administratif,”katanya.

Pada waktu itu memang ada pemikiran soal kemaslahatan, sehingga tercetus pilkada sebaiknya kembali ke DPRD.

Baca Juga: Ini Strategi KPU Gelar Pilkada Serentak di Tengah Pandemi

Namun setelah itu, dalam prosesnya Indonesia memilih, pilkada digelar secara langsung dan dipilih rakyat bukan DPRD.

Dengan pertimbangan sejumlah hal-hal positif yang didapat dari sistem tersebut.

“Jadi itu sudah final secara hukum itulah pilihan kita. Itulah sejarahnya mengapa kita harus tetap melaksanakan pilkada langsung, karena kita tidak bisa lagi memutar jarum sejarah, perdebatan sudah selesai,” pungkasnya. ***

 

Editor: Ayi Abdullah

Tags

Terkini

Terpopuler