Bukan hanya itu, lanjut Firdaus Cahyadi, tambang batu bara juga menyebabkan persoalan lingkungan hidup dan sosial bagi masyarakat sekitar. Tambang batu bara memiliki karakteristik yang merusak karena membuka lahan dan mengubah bentang alam secara luas.
“Karakteristik yang merusak itu tentu saja akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan seperti penurunan kesuburan tanah, kualitas air, kualitas udara, terjadinya ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan pencemaran lingkungan lainnya di sekitar area tambang,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, saat ini banyak negara telah meninggalkan penggunaan energi fosil, termasuk batu bara, untuk beralih ke energi terbarukan. Pertanyaannya, kenapa pemerintah seperti menjerumuskan NU untuk mengelola industri yang sudah tidak memiliki masa depan, tanya Firdaus Cahyadi.
“Jika alasannya kesejahteraan rakyat, mengapa pemerintah tidak memberikan kesempatan bagi NU dan ormas keagamaan lainnya untuk mengembangkan energi terbarukan berbasis komunitas seperti pembangkit listrik tenaga surya, mikro hidro dan sebagainya,” ujarnya.
Menurut penelitian Celios dan 350.org, yang berjudul Dampak Ekonomi dan Peluang Pembiayaan Energi Terbarukan Berbasis Komunitas menunjukkan bahwa energi terbarukan berbasis komunitas mampu menciptakan kontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar Rp10.529 triliun selama 25 tahun.
“Penelitian itu juga mengungkapkan bahwa energi terbarukan berbasis komunitas juga mampu menurunkan angka kemiskinan hingga lebih dari 16 juta orang. Bukan hanya itu, dari sisi ketenagakerjaan, energi terbarukan berbasis komunitas juga membuka peluang kerja sebesar 96 juta orang,” tegasnya.
Lebih jauh, Firdaus Cahyadi mengungkapkan bahwa upaya melibatkan ormas keagamaan dalam mengelola tambang batu bara untuk melawan desakan transisi energi dengan menghadap-hadapkan ormas keagamaan itu dengan gerakan lingkungan hidup.
Baca Juga: Peringati Hari Lahir Pancasila, FORMASAA-I Tebar Paham Perdamaian lewat Pesantren