Hari Pahlawan! Mengenal Sjafrudin Prawiranegara, Presiden ke-2 RI yang Terlupakan (Bagian 3, Tamat)

10 November 2020, 10:00 WIB
Tugu PDRI, Gunung Omeh, Koto tinggi, Lima Puluh Kota Sumatera Barat /

PORTAL MAJALENGKA - Dalam rapat yang dihadiri Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta, dan para anggota kabinet; Sjafruddin yang berbicara atas nama PDRI mengatakan bahwa radiogram yang dikirim dari Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948 untuk memberikan kekuasaan kepadanya, tidak pernah diterima di Bukittinggi.

Artinya, pembentukan PDRI sungguh-sungguh prakarsa murni Sjafruddin dan para pemimpin Republik di Sumatera.

Meski, Sjafruddin berperan besar dalam PDRI itu, ia enggan disebut presiden.

Baca Juga: Indonesia Memasuki Jurang Resesi, Ini 5 Pilihan Mobil dengan Harga Murah

Dalam buku berjudul "Presiden Prawiranegara: Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia (2011: 345-346)" ditulis Akmal Nasery Basral, ada percakapan antara Kamil Koto dengan Sjafruddin yang menolak disebut sebagai presiden.

Akmal menuliskan percakapan antara Kamil Koto dengan Sjafruddin:

Kamil memberanikan diri untuk bertanya, “Jadi, Pak Syaf adalah presiden yang menggantikan Bung Karno?”

Baca Juga: Kasus Covid-19 Dunia 50 Juta Lebih, Amerika Serikat 10 Juta Kasus

“Tidak persis begitu. Saya lebih suka menyebutnya sebagai Ketua PDRI, bukan Presiden PDRI,” jawab Syafruddin.

Kamil rupanya belum puas. Pemuda asli Minangkabau ini bertanya lagi, “Jadi, di bawah Pak Syaf sekarang ini ada banyak menteri dan panglima perang?”

Syafruddin mengamini sebelum balik bertanya, “Ya, betul sekali. Apa maksudmu dengan menanyakan ini, Kamil?”

Baca Juga: Penting! Warna Mobil Pengaruhi Harga Jual, Benarkah?

“Maafkan saya yang bodoh ini, Pak Syaf,” ucap Kamil buru-buru. “Kalau kejadiannya seperti yang Bapak jelaskan itu, maka menurut saya yang tidak mengerti politik ini, Bapak adalah Presiden Syafruddin Prawiranegara.”

Untuk sesaat, Syafruddin tampak tercenung, barangkali mencari-cari balasan yang paling tepat untuk menjawab rasa penasaran Kamil. Namun, akhirnya ia mengelak dan mengalihkan topik pembicaraan.

Kamil tidak menyerah. Sekali lagi, ia mendesak, “ Jadi betul kesimpulan saya, Pak Presiden?”

Baca Juga: Bupati Majalengka Bagikan Sertifikat Tanah PTSL

Dengan mata terpejam, bibir Syafruddin berucap tegas, “Dalam politik itu sama sekali tidak mudah sekadar untuk mengatakan betul atau salah, Kamil. Kalau memang niatmu sangat kuat untuk membantu perjuangan PDRI ini, semoga suatu saat nanti kau akan temukan jawaban atas pertanyaanmu sendiri.”

Kali ini, Kamil terpaksa memuaskan dirinya dengan jawaban itu. Ia mendekat untuk menyalami sekaligus mencium tangan Syafruddin Prawiranegara sembari berpamitan. “Terima kasih, Presiden Prawiranegara,” gumamnya lirih.

“Sama-sama, Kamil,” timpal Syafruddin sambil merangkul erat. “Dan jangan pernah lupa satu hal. Saya tidak pernah menjadi presiden. Saya hanya Ketua PDRI.”

Baca Juga: Gunakan DD Melalui Skema Padat Karya, Desa Sumber Kulon Jatitujuh Bangun Lapang Voli

“Bagi saya, Pak Syaf adalah presiden saya, presiden dunia-akherat,” pungkas Kamil sebelum pergi.

Jejak jasa dan sumbangsih Sjafruddin dalam mengawal tegaknya NKRI seakan terkikis nyaris habis, justru setelah Indonesia benar-benar menjadi negara berdaulat. Citranya pun merosot drastis, dari penyelamat negara menjadi lekat dengan cap sebagai pemberontak.

Mr Sjafruddin Prawiranegara meninggal dunia di Jakarta tanggal 15 Februari 1989.

Baca Juga: Angka Kesembuhan Pasien COVID-19 di Jabar Masih di Bawah Nasional

Seakan lupa, pemerintah Republik Indonesia baru memberikan gelar pahlawan nasional pada 7 November 2011.

Sjafruddin menyerahkan mandatnya kemudian kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta.

Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia sebagai negara bangsa yang sedang mempertaankan kemerdekaan dari agresor Belanda yang ingin kembali berkuasa.

Baca Juga: Pemekaran 3 DOB Baru di Jawa Barat Akan Disampaikan ke Pusat

Setelah menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden Soekarno, Sjafruddin Prawiranegara tetap terlibat dalam pemerintahan dengan menjadi menteri keuangan.

Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.

Pada peristiwa PRRI, akibat ketidakpuasan terhadap Pemerintah Pusat karena ketimpangan- ketimpangan sosial yang terjadi dan juga pengaruh Partai Komunis Indonesia yang semakin menguat, pada awal tahun 1958, Syafruddin Prawiranegara dan beberapa tokoh lainnya mendirikan PRRI yang berbasis di Sumatera Tengah dan ia di tunjuk sebagai Ketuanya.

Baca Juga: Pilu, Ini Isi Surat yang Ditulis Wanita Ditemukan Tewas Gantung Diri

Pada akhir tahun 1967,  setelah bertahun-tahun berkarir di dunia politik, Sjafrudin Prawiranegara akhirnya memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Dan, ternyata, tidak mudah.

Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Juni 1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di Masjid Al-A'raf, Tanjung Priok, Jakarta. "Saya ingin mati di dalam Islam.

Baca Juga: Masih Banyak Perusahaan di Cianjur yang Belum Punya IPAL

Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah," ujar ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI) itu tentang aktivitasnya itu.

Sjafruddin Prawiranegara meninggal pada 15 Februari 1989 di makamkan di Tanah Kusir Jakarta Selatan.***

Editor: Andra Adyatama

Tags

Terkini

Terpopuler