Antara Suryakencana dan Empang, Menelusuri Jalan Anyer Panarukan Warisan Daendels (Bagian 7)

26 Mei 2022, 09:00 WIB
Istana Bogor (Boetenzorg) Ternyata Awalnya Bertingkat. Namun Karena Ini Kemudisn Diruntuhkan../tangkap layar dari laman if you know /

PORTAL MAJALENGKA - Penelusuran Jalan Raya Pos atau lebih dikenal Jalan Anyer Panarukan masih membahas sekitar daerah Bogor, kali ini tepatnya jalan Suryakencana.

Jalan poros yang dibangun Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels itu memanjang dari ujung Barat hingga Timur pulau Jawa.

Jalan Suryakencana mudah dituju. Cukup naik angkutan umum 02 jurusan Bubulak-Sukasari dari Stasiun Bogor, sampailah di tujuan. Jika dari Terminal Baranangsiang, menuju Suryakencana perlu dua kali menaiki angkutan umum.

Baca Juga: Pelatih Persib Bandung Robert Alberts Baik Hati, Trio Timnas Istirahat Lebih Lama

Dari terminal yang diambil dari nama Baranang Sang Hyang itu, naik angkot 03 jurusan Baranangsiang-Bubulak. Turun di depan pertigaan Tugu Kujang, kemudian menyambung lagi dengan angkutan kota 02 menuju Jalan Suryakencana.

Surken, begitu warga Bogor akrab menyebut nama kawasan ini. Di sini juga terdapat pasar tradisional Bogor yang telah ada sejak awal abad ke-18.

Di sepanjang Jalan Suryakencana, ada puluhan pedagang berjejer di ruas yang sebagian bahu jalannya diperuntukkan bagi parkir mobil para pengunjung. Aneka rupa makanan tersaji semisal bubur ayam, laksa, asinan, dodongkal, loh mi, ngohiang, bakso, soto, dan masih banyak lainnya.

Satu Iagi yang menjadi keunggulan, Suryakencana bisa dijadikan tempat liburan yang sarat dengan nilai sejarah. Sebab, di kawasan inilah salah satu perkampungan tertua di Bogor pernah berdiri.

Baca Juga: TRIO PERSIB BANDUNG Gagal Gabung, Marc Klok, Ricky Kambuaya dan Irianto Kembali Dipanggil Timnas

Nuansa Tionghoa

"Wijkenstelsel dan passenstelsel di Bogor ada sejak 1866," kata David Kwa, pengamat sejarah dan pegiat Bogor Heritage seperti dikutip dari Buku Napak Tilas Jalan Daendels karya Angga Indrawan.

Wijkenstelsel membagi zona wilayah berdasarkan etnis penghuninya. Passenstelsel —yang melengkapi zona pemukiman— mewajibkan orang-orang Tionghoa membawa kartu pas jalan saat melakukan perjalanan keluar dari daerahnya. Batavia telah lebih dulu menerapkan peraturan ini.

Sebelumnya, dalam Regeringsreglement tahun 1854, pemerintah Hindia Belanda membagi masyarakat dalam tiga golongan besar, yaitu Europeanen (golongan orang Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlander (pribumi).

Pada pembagian secara rasial ini, orang Cina dimasukkan dalam kelompok Timur Asing bersama orang India, Arab, dan Melayu. Pemisahan ini dimaksudkan untuk alasan keamanan.

Baca Juga: Masa Kecil Prabu Siliwangi, Dibuang dan Dijadikan Budak Hitam oleh Sang Kakak Astuna Larang karena Iri

Peraturan berikutnya adalah wijkenstelsel, pemusatan permukiman orang Tionghoa, yang dikeluarkan pada tahun 1866 dan dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie No 57.

Peraturan ini menyebutkan bahwa para pejabat setempat menunjuk tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai wilayah permukiman orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya. Peraturan ini untuk alasan keamanan.

Bertujuan agar orang-orang tersebut mudah diawasi. Mereka yang melanggar dengan tetap tinggal di luar dari wilayah yang telah ditentukan akan dikenai sanksi ataupun denda.

Diketahui sebelumnya, kebijakan ini dibuat menyusul trauma pembantaian keturunan Tionghoa ekor dari Geger Pacinan pada 1740. "Belanda takut jika interaksi Tionghoa dan pribumi berbuah semangat perlawanan,” tambah pengamat sejarah Bogor Eman Sulaeman.

Baca Juga: Kawanan Perampok Beraksi di Kota Cirebon, Korban Diikat Lakban dan Dibuang ke Hutan

Kendati demikian, kawasan Pecinan di Suryakencana diyakini telah ada jauh sebelum kebijakan tersebut dibuat Hindia Belanda. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya Vihara Dhanagun, di Jalan Suryakencana 1. Vihara tersebut diyakini  telah berdiri selama 300 tahun di Pecinan Suryakencana.

Selain itu, Daendels menempatkan orang-orang Cina berdagang di kawasan itu untuk menghidupkan Jalan Raya Pos.

Perkembangan di Suryakencana pun tumbuh pesat dengan budaya kerja keras yang mereka bawa dari tanah kelahiran. Satu dekade setelah itu, para Tionghoa menjadi makelar hasil rempah-rempah warga pribumi dengan para pengusaha Belanda di sekitar Bogor.

Selain vihara, kini sisa-sisa kawasan pecinan di Suryakencana Iainnya masih bisa dijumpai. Satu-dua bangunan ruko kios kuliner di sini masih bernuansakan model perniagaan Tionghoa yang bisa ditemui di kawasan pecinan di Glodok, Jakarta Barat.

Baca Juga: Biadab, Gerombolan Geng Motor Bacok Seorang Petani di Indramayu

Ruko bertingkat dengan model teralis tertutup di lantai dua. Satu-dua bangunan Iainnya masih memiliki atap pelana khas Cina yang memanjang pada masing-masing kedua ujungnya. Tapi sayang, bangunan dengan model yang terakhir disebut kini hanya hitunganjari.

Sisa Iain pembagian wilayah berdasarkan etnis berada di daerah Empang, dua kilometer dari Suryakencana. Daerah  tersebut merupakan permukiman khusus etnis Arab.

Posisi Kampung Arab tepat berada di belakang bangunan Bogor Trade Mail (BTM), Jalan Ir Haji Juanda. BTM sendiri merupakan bangunan bekas Hotel Bellevue, tempat menginap para tamu-tamu bangsawan Belanda.

Di Kampung Arab terdapat masjid tua yang berumur hampir 200 tahun. Masjid An-Nur Tauhid, begitu namanya, lebih sering disebut Masjid Empang oleh warga setempat. Masjid bergaya Timur Tengah ini berdiri sejak 1815.

Baca Juga: PARAH! 2 Hakim Narkoba Ditangkap BNN, Alat Isap Sabu Disimpan di Pengadilan

Sepintas wilayah Empang sangat mirip dengan Kampung Condet di Jakarta Timur. Mayoritas warga peranakan Arab di kawasan Empang berprofesi sebagai penjual minyak wangi, kurma, dan keperluan ibadah haji. Perkampungan Arab ini seumur dengan kawasan pecinan Suryakencana.

"Kalau zaman dulu, gampang membedakan pedagang Cina dan Arab. Kalau Cina berdagang dipikul, Arab berdagang dijinjing,” kata Eman Sulaeman.

Eman menambahkan, nama Suryakencana sesungguhnya baru diresmikan Pemerintah Kota Bogor pada kisaran 1970an.

Sebelum nama sekarang disandang, jalur ini masih bernama Jalan Perniagaan. Bahkan sebelumnya lagi, pada 1905, kawasan ini dikenal dengan nama Handelstraat, sebuah nama yang diberikan pemerintah Hindia Belanda pada 1905.

Baca Juga: Prabu Siliwangi Bunuh Raja Ular, Bukannya Bahagia Kakek Sunan Gunung Jati Malah Sedih, Ternyata Kerena Ini

"Suryakencana diambil dari nama putra Pangeran Arya Wiratanudatar (Prabu Siliwangi), Pangeran Raden Suryakencana," kata Eman menambahkan.

Jalan Suryakencana berujung di daerah Eka Lokasari atau lebih dekat dengan kawasan Tajur. Tajur merupakan daerah yang menjahit Kota Bogor dengan Ciawi.

Tajur kini memiliki pamor tersendiri sebagai sentranya para pembuat tas. Maka jangan heran bila di lokasi ini berjejer pabrik tas yang juga membuka galerinya. Semua hasil produksi tas di sini dibuat oleh warga setempat.***

Editor: Andra Adyatama

Sumber: Buku Napak Tilas Jalan Daendels

Tags

Terkini

Terpopuler