Kejadian tersebut membuat Pangeran Walangsungsang dan Rara Santang melakukan pengembaraan ke beberapa daerah.
Dari catatan Naskah Mertasinga, Keluarnya Pangeran Walangsungsang dari Istana setelah Ibunya diusir, alasanya karena tetap memeluk Islam dan mengamalkan ajaran Islam dalam Istana padahal menurut aturan kerajaan tidak boleh mengamalkan ajaran Islam didalam lingkungan istana.
Setelah diusir, Nyimas Subang Larang diasingkan ke Banten. Oleh karena itu Pangeran Walangsungsang memilih keluar Istana bersama adiknya Nyimas Rara Santang untuk mengembara mencari Guru Agama Islam di Gunung Sembung (Sekarang Bagian dari Gunung Jati Cirebon).
Di Gunung Sembung yang terletak di Cirebon, Walangsungsang bersama Rara Santang belajar agama kepada Syekh Nurjati, keduanya ditempa dengan ilmu-ilmu keislaman dan menjadi seorang mubaligh.
Kemudian Sang Guru memerintahkan keduanya pergi ke Mekah untuk menunaikan Ibadah Haji, sebagai kewajiban umat muslim.
Ketika keduanya melaksanakan Ibadah Haji di Mekah, adik Pangeran Walangsungsang dilamar oleh seorang Penguasa Mesir yang dikisahkan baru ditinggal wafat oleh istrinya.
Dari Mekah Pangeran Walangsungsang menuju Mesir untuk menyertai adiknya menikah, selepas beberapa Bulan di Mesir beliaupun kembali lagi ke Pulau Jawa tanpa di sertai adiknya.
Di Pulau Jawa, Pangeran Walangsungsang lebih memilih hidup di Sembung bersama gurunya, akan tetapi dikemudian hari beliau menetap di Desa Caruban yang didirikan oleh Ki Gede Alang-Alanf atau Ki Danusela, seorang Syah Bandar Pelabuhan Muara Jati.
Pada mulanya Walangsungsang merahasiakan ke Pangerananya kepada Ki Gede Alang-Alang, beliau tetap hidup Mandiri di Caruban dengan berprofesi sebagai Nelayan pencari Rebon (Udang Kecil) sambil sesekali mendakwahkan Islam disana.