JOKO PITURUN Asal Usul Manusia Jelmaan Dewa BATORO KATONG, Hidup di Masa Sunan Gunung Jati

24 Juni 2022, 17:00 WIB
JOKO PITURUN Asal Usul Manusia Jelmaan Dewa BATORO KATONG, Hidup di Masa Sunan Gunung Jati. /Tangkapan layar youtube Ilmu Kekayaan Sejati

PORTAL MAJALENGKA - Penyebaran ajaran agama Islam, dilakukan Sunan Gunung Jati dan walisongo secara masif dan sistematis.

Walisongo menyebar diberbagai wilayah untuk dakwah Islam, dan Sunan Gunung Jati yang menyebarkan ajaran agama Islam khususnya di daerah Jawa bagian Barat.

Sementara wali lainnya dari Walisongo banyak yang menyebarkan Islam di Jawa Bagian tengah dan timur.

Baca Juga: KENAKALAN GUS DUR Ketika Mondok di Pesantren Mbah Fatah

Ada satu kisah menarik pada masa penyebaran Islam di masa Sunan Gunung Jati dan walisongo.

Kisah menarik tentang satu wilayah yang sangat susah dimasuki oleh Walisongo yaitu satu daerah yang sangat angker dikenal dengan nama daerah Wengker yang saat ini Ponorogo.

Dibalik nama Ponorogo ternyata memiliki satu kisah yang menarik dengan salah satu sosok wali yang bernama Batoro Katong.

Baca Juga: JAMASAN ROMPI ONTO KUSUMO, Dilakukan Pada IDUL ADHA, Rompi Sakti Milik Murid Sunan Gunung Jati

Batoro Katong adalah sebutan dari Joko Piturun atau Raden Katong.

Perubahan nama Joko Piturun atau Raden Katong lakukan karena masyarakat Ponorogo awalnya sangat percaya terhadap dewa.

Sehingga Joko Piturun mengaku bahwa dirinya adalah jelmaan dewa atau Batoro.

Nama Batoro kemudian disatukan dengan nama panggilannya Raden Katong sehingga menjadi Batoro Katong.

Baca Juga: SOSOK IMAM AL-JAZULI Wafat dalam Keadaan Sujud, Wali dari Maroko Hidup Jauh Sebelum Masa Sunan Gunung Jati

Menurut catatan sejarah, Ponorogo berdiri pada hari Ahad Pon Tanggal 1 Bulan Besar, Tahun 1418 saka.

Tahun bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Dikisahkan pada saat itu wilayah Wengker hidup seorang manusia sakti mandraguna yang dikenal dengan nama Ki Ageng Kutu.

Ki Ageng Kutu mengasingkan diri dari Majapahit karena tidak suka terhadap Raja Majapahit yang menikah dengan putri dari Champa yang beragama Islam.

Ki Ageng Kutu pun mengasingkan diri ke daerah Wengker, ia pun menghimpun pasukannya sendiri.

Wilayah Wengker yang dipimpin oleh Ki Ageng Kutu dinilai berbahaya oleh kesultanan Demak Bintoro.

Demak Bintoro merupakan kesultanan sebagai penerusan masa kejayaan Majapahit walaupun sudah bergaya Islam.

Demi kepentingan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya yakni yang kemudian dikenal luas dengan Batoro Katong.

Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.

Batoro Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman.

Dan Batoro Katong menemukan tempat untuk bermukim di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan.

Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.

Kedatangan Batoro Katong membuat Ki Ageng Kutu Murka, dan menyerangnya hingga terjadi pertarungan sengit diantara keduanya.

Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu.

Kemudian dengan  akal cerdasnya Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di  iming-imingi akan dijadikan istri.

Niken Gandini yang jatuh cinta kepada Batoro Katong karena melihat ketampanan dan kegagahan Batoro Katong pun terperdaya.

Niken Gandini dimanfaatkan Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu.

Pertempuran kembali berlanjut antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu, dan saat itu karena pusaka-nya telah hilang, Ki Ageng Kutu mampu dikalahkan Batoro Katong.

Ki Ageng Kutu pun melarikan diri dan menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin-Anom Sambit Ponorogo.

Hari ini oleh para pengikut Ki Ageng Kutu dan masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari nahas-nya Ponorogo.

Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini disebut sebagai Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal.

Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari.

Hal ini dimungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.

Setelah  dihilangkannya  Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa.

Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara.

Dari pintu inilah Batoro Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota, dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan.

Gangguan dari berbagai makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Bangunan-bangunan pun didirikan sehingga para penduduk banyak berdatangan. Wallahu a'lam bishawab.***

Editor: Muhammad Ayus

Sumber: berbagai sumber

Tags

Terkini

Terpopuler