Koreksi Angka Pertumbuhan Bukan Solusi

- 10 Februari 2021, 07:19 WIB
Ilustrasi Covid-19 di Indonesia
Ilustrasi Covid-19 di Indonesia //@pisauikan/

Oleh : Putriyana

Aktivis Sosial

Wabah virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang coba diselesaikan dengan pembatasan sosial (social distancing) membuat aktivitas ekonomi seolah mati suri, baik di sisi produksi, distribusi maupun permintaan.

Sektor ekonomi adalah salah satu sektor yang sangat berat terkena imbasnya. Berbagai pihak seperti Menteri Keuangan, ADB, dan IMF menarasikan optimisme dengan meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2020 berkisar minus 1,7 persen hingga minus 2,2 persen.

Baca Juga: Permudah Pelaku Usaha, BPOM Luncurkan Laman Registrasi Pangan Olahan

Perkiraan ini jauh lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yaitu minus 1,7 persen hingga di level positif 0,6 persen. Beliau menuturkan tantangan perekonomian dengan adanya pandemi menyebabkan kerangka pemulihan cukup kompleks.

Negara mengalami tantangan berat karena pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung mempengaruhi kegiatan ekonomi dan  menurunnya aktivitas masyarakat membuat kegiatan ekspor dan impor turun.  

Suatu hal yang wajar ketika proyeksi pertumbuhan ekonomi dari pemerintah tak jauh beda dengan lembaga Internasional. Asian Development Bank (ADB) misalnya, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat ini berkisar minus 2,2 persen.

Baca Juga: Gubernur Jabar Imbau Penanganan Banjir Tetap Terapkan Protokol Kesehatan

Sedangkan Bank Dunia (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia bercokol di minus 2,2 persen. 

Jika kita tinjau definisi pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa.

Maka pertumbuhan ekonomi lebih menunjuk pada perubahan yang bersifat kuantitatif dan biasanya diukur dengan menggunakan data Produk Domestik Bruto atau pendapatan output perkapita.

Baca Juga: Alami Pergerakan Tanah, Seratusan KK di Cianjur Terpaksa Mengungsi

Konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran dengan sumbangan lebih dari 50%.

Jadi jika konsumsi rumah tangga sangat sedikit, susah berharap ekonomi bisa tumbuh, yang ada malah kontraksi seperti pada kuartal II-2020. Dalam pertumbuhan ekonomi negara seharusnya, kontribusi dari konsumsi pun mencapai 58% dan investasi sekitar 30%.

Ketika negara terlalu fokus pada upaya meningkatkan aktivitas ekonomi tanpa menyelesaikan pandeminya terlebih dahulu, membuat situasi makin tak terkendali.

Baca Juga: Besok Menpora Rapat Bersama Polri dan PSSI, Bahas Kelanjutan Liga 1 dan 2

Wabah makin meluas, korban makin meningkat, bermunculan klaster baru penyebaran wabah. Situasi ini mematikan faktor produksi utama dalam ekonomi, yakni manusia.

Pada faktanya pemerintah Indonesia terkesan tidak memiliki strategi jitu dalam menggerakkan sektor produksi. Yang terlihat di permukaan adalah pemberian berbagai bantuan, yang artinya hanya fokus pada satu sisi, yakni peningkatan demand (permintaan) masyarakat.

Karena tidak adanya fokus strategi untuk peningkatan supply (penawaran) barang dan jasa. Dan juga tidak memiliki strategi yang jelas dalam penyelesaian wabah. Karena supply tidak mungkin ditingkatkan tanpa menyelesaikan pandeminya terlebih dahulu.

Baca Juga: 6 Penerbangan Lion Air Dibatalkan Akibat Abu Vulkanik Gunung Raung

Membuat peningkatan demand dengan menggelontorkan berbagai bantuan, apalagi jika sumber perolehannya adalah berutang ribawi kepada negara luar atau lembaga keuangan internasional, akan berdampak buruk pada situasi ekonomi ke depan.

Kita pasti tahu tanpa pandemi pun, utang luar negeri berdampak pada makin jatuhnya sistem moneter negara pengutang dan kacaunya APBN negara. Apalagi dalam situasi pandemi yang supply dan demand  tidak berjalan secara semestinya.

Situasi makin sulit ditebak karena alat ukur yang dipakai dalam mengetahui adanya masalah atau tidak dalam situasi ekonomi yang sulit pada sekarang adalah angka-angka dalam neraca pertumbuhan.

Baca Juga: D-dimer Pasien Covid-19 Meningkat, Begini Penjelasan Dokter

Sesuatu yang bisa diketahui dengan cepat dengan melihat per individu manusia, siapa yang miskin, siapa yang menganggur, menjadi sulit dengan menunggu angka hasil perhitungan neraca pertumbuhan.

Neraca pertumbuhan ekonomi yang dihitung dengan berbagai komponen seperti tingkat ekspor, impor, tingkat konsumsi, dan tingkat pendapatan, ditengarai justru memberikan informasi untuk kepentingan negara atau lembaga donatur pemberi utang.

Bukan lagi dalam rangka memantau tingkat kemakmuran dan kesejahteraan per individu rakyat.

Baca Juga: 3 Jurus Gubernur Anies Baswedan Antisipasi Banjir di Jakarta, Apa Saja?

Neraca pertumbuhan ini bersandar pada utang-utang asing. Padahal, utang asing tidak diberikan kecuali disertai syarat pengawasan pada penggunaannya.

Pandemi Covid-19 saat ini semestinya membukakan mata hati dan pikiran umat manusia; betapa tidak adil, egois, tamak, dan serakahnya peradaban kapitalisme sekuler hari ini.

Seluruh sifat buruk tersebut bersatu dengan kelemahan konsep, gagasan, mekanisme dalam pembangunan ekonomi yang dijalankan semua negara hari ini.

Baca Juga: Miliki Potensi Ekspor Besar, Pemerintah Lirik Produk Game Online

Saat ini dunia membutuhkan syariat Islam, dan umat Islam adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam pelaksanaan hal itu.

Membangun kembali peradaban Islam dalam institusi negara Khilafah adalah jawaban dari situasi ekonomi yang sulit dan membingungkan saat pandemi global hari ini.

Khilafah akan melakukan kebijakan yang memprioritaskan pada upaya penyelesaian wabah terlebih dahulu, lalu di saat yang sama menerapkan berbagai konsep, gagasan, mekanisme makro dan mikro ekonomi Islam dengan menerapkan sistem moneter dinar-dirham, sistem APBN baitulmal, dan lain-lain, adalah solusi tepat dan jitu.

Baca Juga: Perbaikan Jalan Tol Cipali KM 122 Diperkirakan Sampai 1,5 Bulan

Baitulmal merupakan tawaran realistis, terutama dalam situasi extraordinary semacam pandemi global hari ini. Baitulmal menghasilkan penerimaan besar dan beragam tanpa risiko jatuh dalam jebakan utang dan mencekik rakyat dengan pajak.

Pos besarnya berasal dari pengelolaan aset milik umum, milik negara, dan zakat mal. Syarat mutlak adalah penguasaan sumber daya alam secara mandiri dan menghapus semua praktik ekonomi berbasis ribawi.

Negara demokrasi gagal ini tidak mampu menandingi akuntabilitas negara Khilafah, sebuah negara yang menggunakan konstitusi berbasis agama dan menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Baca Juga: Korban Banjir di Indramayu Dapat Layanan Dukungan Psikososial, Ini Manfaatnya

Fakta sejarah telah membuktikan bahwa selama hampir 13 abad lamanya Khilafah berhasil menyatukan semua umat manusia. Sistem keuangan negaranya mampu mengurus rakyatnya dengan baik  tanpa pernah mengalami babak-belur di sana-sini.

Maka bukankah sudah saatnya umat kembali menata kehidupannya dengan merujuk pada syariat Islam yang diterapkan negara Khilafah?

Wallahu a'lam bishshawab

 

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah