Yuk! Perangi Miras Hingga ke Akarnya

- 25 Januari 2021, 07:00 WIB
ilustrasi miras
ilustrasi miras /

Oleh: Uqie Nai, Member Akademi Menulis Kreatif4

Aksi warga Desa Banjaran Wetan, Kabupaten Bandung dalam memerangi peredaran miras dan obat terlarang patut diacungi jempol. Setidaknya tidak semua masyarakat acuh atas kondisi buruk negeri ini terlebih jika bahayanya menyasar generasi muda.

Aksi tersebut merupakan aksi lanjutan dari pekan sebelumnya. Terlihat dari koordinasi yang lebih terorganisir, melibatkan tokoh masyarakat, Kepala Desa Banjaran Wetan, Apep Cahya Sariman dibantu aparat kepolisian, TNI dan Satpol PP bahu-membahu memasang spanduk Anti Miras.

Bahkan pemasangan ini dilakukan hingga ke titik-titik rawan termasuk gang kecil dan tempat strategis lainnya. Hasilnya, salah satu toko penjual miras yang diduga telah puluhan tahun berjualan tampak tutup.

Baca Juga: Luhut Binsar Pandjaitan Coba Alat Deteksi Covid-19 GeNose

Kesadaran warga masyarakat akan bahaya miras (khamr) dan aktivitas peredarannya harus dikuti wilayah lain secara komprehensif. Tentunya perlu dukungan negara. Pasalnya, aksi yang ditunjukkan warga Banjaran Wetan tersebut hanya akan berdampak parsial.

Bersih di area tersebut, bertebaran di tempat lain. Pun demikian halnya penjual dan penikmatnya. Mereka bisa mencari tempat yang lebih aman untuk beroperasi lagi karena tak bisa dipungkiri transaksi haram itu sangat menggiurkan secara materi.

Kondisi ini, dimana masyarakat lebih mengedepankan keuntungan materi ketimbang kemaslahatan dan kenyamanan publik, berpangkal dari sistem yang diadopsi negara yakni demokrasi kapitalisme.

Baca Juga: Bencana di Tasikmalaya, BPBD Inventarisasi Kerusakan yang Ditimbulkan

Selama ada keuntungan, di sanalah pelegalan muncul. Hampir semua aspek dikapitalisasi.

Maka saat kesadaran individu dan beberapa kelompok masyarakat ini bangkit tapi negara acuh dan tidak bertindak tegas, ibarat membersihkan gorong-gorong di depan rumah, sementara tetangga bebas membuang limbahnya. Melelahkan dan tidak akan pernah bersih. Lalu bagaimana seharusnya?

Negara sebagai institusi tertinggi memiliki peran penting terjaganya keamanan dan kenyamanan dari segala hal yang bisa merusak tatanan sosial, hukum dan keadilan. Kepala negara wajib mengurusi urusan masyarakat dari hal sekecil-kecilnya.

Baca Juga: Distribusi 4 Juta Dosis Vaksin Covid-19 Akan dimulai Februari

Dari masalah teknis hingga administratif. Sayangnya, pelayanan ini tidak akan dijumpai dalam sistem pemerintahan berakidah sekuler dengan sistem ekonomi berlandaskan kapitalisme. Sistem yang diterapkan mayoritas negara dunia termasuk Indonesia.

Pemimpin dalam sistem ini tidak memilki solusi memutus persoalan hingga ke akarnya. Sebut saja miras.

Mungkinkah pemerintah bisa menutup pabrik miras? Mencegah impor miras masuk ke negeri ini? Terlebih lagi jika negara diuntungkan dari produksi minuman haram tersebut.

Baca Juga: Reisa: Tidak mungkin 1,4 juta tenaga kesehatan hanya bertugas merawat pasien Covid-19.

Menyelesaikan masalah hingga ke akarnya hanya bisa dilakukan oleh negara yang menerapkan syariat Islam dan terealisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kesadaran kepala negara yang dilandasi keimanan dan ketakwaan berkewajiban mengatur dan melayani urusan publik sesuai arahan syara’ (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Dari mulai akidah hingga uqubat (sanksi).

Kebijakan yang dikeluarkan pemimpin Islam sejalan dengan maksud syariah yakni menjaga agama, akal, keturunan, jiwa, dan menjaga harta.

Baca Juga: WHO Pertegas Efektivitas Masker Cegah Covid-19

Maka dalam kondisi maraknya penyebaran miras (khamr) dan turunannya, negara akan menempuh metode pemberian sanksi berupa jilid (cambuk) atau ta'zir sesuai ijtihad yang dilakukan.

Sanksi ini harus diberikan mengingat  dosa yang berkaitan dengan khamr ini menyeret satu sama lain.

"Khamr itu dilaknat dzatnya, peminumnya, penjualnya, pembelinya, yang menuangkan, yang memerasnya, yang minta diperaskan, pembawanya, yang minta dibawakan, dan orang yang memakan harganya." (HR. At Tirmidzi dan Ibn Majah).

Baca Juga: Sudah 130 Ribu Lebih Nakes Divaksinasi di 92 Kabupaten dan Kota di Seluruh Indonesia

Islam dengan syariatnya benar-benar menjadi solusi di tengah gersangnya keadilan. Penjagaan terhadap akal dicontohkan sejak Rasulullah saw. menjadi kepala negara dan diikuti khulafa ar rasyidin seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib ra.

Ali bin Abi Thalib pernah menuturkan: Rasulullah saw. pernah mencambuk peminum khamr 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali. Masing-masing adalah sunnah. Ini adalah yang lebih aku sukai.

Keberadaan para pemimpin umat yang menjalankan syariat akan menjadi oase saat kemaksiatan terus merajalela dengan bermacam variannya. Khamr sendiri adalah ummul jarimah (induk kejahatan).

Baca Juga: Densus 88 Tangkap 5 Terduga Teroris Beserta Barang Buktinya di Aceh

Pelaku yang mengkonsumsi miras/khamr akan rusak akalnya, tidak bisa berpikir jernih, kalut, bingung, hingga bisa melakukan kemaksiatan hingga berujung kriminal.

Ia bisa melakukan tindakan pencurian, pemerkosaan dan pembunuhan sekaligus dalam satu waktu. Bukankah fakta ini sedemikian nyata?

Itulah bukti ketika penjagaan akal tidak dilakukan negara. Solusi yang ditawarkan atau aksi yang ditunjukkan tidak akan pernah menentramkan terlebih aturan itu muncul sesuai arahan barat, pemilik demokrasi sekuler.

Baca Juga: Kemenkes Bantah Bupati Sleman Positif Covid-19 Setelah Divaksinasi

RUU larangan minuman beralkohol (minol) misalnya. Isinya sarat pasal karet, denda ringan, tidak berefek jera juga ada pengecualian hukum atas kepentingan tertentu. Adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi dan tempat yang telah berizin.

Jika RUU ini disahkan menjadi undang-undang maka sama halnya negara membuat moral bangsa semakin bobrok.

Aturan yang dapat menjerumuskan masyarakat ke dalam lembah dosa bahkan melegalkan turunnya azab Allah Swt.

Baca Juga: Pemerintah Maksimalkan Penanganan Covid-19, Masyarakat Dihimbau Tetap Tenang

Sebab, kemaksiatan terbesar manusia adalah saat mereka tidak menerapkan hukum Allah dalam kehidupannya, interaksinya serta undang-undangnya.

Wallahu a'lam bi ash Shawwab.***

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah