Berhenti Merusak Bumi!

20 November 2020, 08:46 WIB
Ilustrasi bumi. /Pixabay/PIRO4D./

Oleh : Ummu Syam (Aktivis Muslimah Majalengka)

 

What about sunrise

What about rain

What about all the things that you said

We were to gain

What about killing fields

Is there a time

What about all the things

That you said were yours and mine

 

Did you ever stop to notice

All the blood we've shed before

Did you ever stop to notice

This crying Earth, these weeping shores

Baca Juga: Kertajati Industrial Estate Majalengka (KIEM) Rebana Metropolitan Sebagai Masa Depan Ekonomi Jabar

Begitulah bunyi sepenggal lirik dari lagu Michael Jackson yang berjudul Earth Song. Lagu yang mengisahkan pengrusakan yang dilakukan sejumlah umat manusia terhadap bumi ini. Pembakaran hutan, pembunuhan satwa langka, pengeboman ikan laut, sampah yang dibuang sembarangan, senantiasa menghiasi kehidupan kita sehari-harinya.

Maha Benar Allah dengan firman-Nya di dalam QS. Ar-Ruum (30) ayat 41 bahwa, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."

Telah nampak kerusakan hutan di pedalaman Papua karena ulah tangan anak perusahaan Korea Selatan, Korindo Group yang telah sengaja membakar hutan adat suku Mandobo dan Malind seluas 57.000 hektar atau hampir seluas Seoul, ibu kota Korea Selatan untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit.

Baca Juga: Tanda Tangan Elektronik, Sah atau Tidak? Ini Penjelasan Kominfo!

Hal ini juga tidak terlepas dari peran Petrus Konggo, seorang ketua marga Konggo dari suku Mandobo yang telah mempengaruhi sepuluh marga lainnya untuk menyerahkan hutan adat mereka menjadi area konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit.

"Bapak nanti kami kasih honor, upah. Bapak sebagai koordinator nanti biaya pendidikan (anak) ditanggung perusahaan, nanti ada rumah-rumah bantuan, sumur air bersih, nanti (ada) genset" tutur Petrus menirukan kalimat pemikat yang dijanjikan perusahaan kala itu.

Namun, janji-janji itu hanyalah janji yang diucapkan, bukan secara tertulis hitam di atas putih. Akhirnya, di tahun 2015 ia dan sepuluh marga lainnya hanya mendapatkan ganti rugi sebesar Rp. 100.000 untuk tiap hektar hutan adat yang kini menjadi area perkebunan kelapa sawit seluas lebih dari 19.000 hektar.

Baca Juga: Melindungi Jejak Digital dan Data Pribadi, Kominfo Akan Batasi Usia Pengguna Medsos

Hal itu yang membuatnya insaf dan kini sedang berjuang untuk mempertahankan 5000 hektar hutan adatnya di Distrik Jair, Boven Digoel. Netizen Indonesia pun berjuang dengan melakukan kampanye besar-besaran di twitter dengan membuat tagar #SavePapuaForest. Tagar yang mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia sudah murka jika Tanah Airnya diobrak-abrik oleh asing.

Padahal, masih hangat rasanya di ingatan masyarakat kita, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan pada 2019 lalu. Kini, Indonesia justru kembali menghadapi bencana hutan yang sengaja dibakar oleh korporasi. Betapa hal ini memberikan bukti nyata bahwa sumber daya alam Indonesia sudah lama berada dalam cengkraman para kapitalis utamanya asing. Pertanyaannya, harus sampai kapan seperti ini terus?

Sebenarnya tidak aneh, jika di negara yang menganut sistem Demokrasi hutan sengaja dibakar untuk dijadikan lahan perkebunan, dan individu/korporasi yang melakukannya terkesan dilindungi. Karena di dalam sistem Demokrasi, dikenal juga dengan paham kebebasan kepemilikan dimana paham ini telah melahirkan sistem ekonomi Kapitalisme.

Baca Juga: Pendidik dan Tenaga Kependidikan Non PNS Apresiasi Penyaluran Bantuan Subsidi Upah

Di dalam sistem ekonomi Kapitalisme, seseorang yang memiliki modal (kapitalis) boleh mengembangkan modalnya dengan cara apapun termasuk melalui imperialisme, perampasan, dan pencurian harta kekayaan alam.

Selain itu ia pun boleh mengembangkan hartanya dengan usaha-usaha seperti menimbun, mudhârabah (usaha-usaha komanditer/trustee); mengambil riba; menyembunyikan cacat barang; menetapkan harga tinggi secara tidak wajar; mencari uang melalui judi, zina, homoseksual dan mengeksploitasi tubuh wanita; memproduksi dan menjual khamr; menyuap atau menempuh cara-cara lainnya. Inilah yang disebut dengan The Power of Money (kekuatan uang).

Kekuatan uang itu jugalah yang sudah memuluskan jalan perusahaan-perusahaan swasta untuk mengeruk kekayaan sumber daya alam Indonesia, yang mana salah satunya adalah hutan.

Baca Juga: Jerinx SID Divonis Penjara 1 Tahun 2 Bulan, Ini yang Memberatkan Putusan Hakim

Padahal di dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 tertulis, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

Namun, semua itu hanya angin surga yang diimpikan para penggagas dan pendiri negara ini. Sementara yang berjalan dan dipraktikkan selama ini justru sebaliknya. Semua itu tersebab oleh sistem Demokrasi-Kapitalisme yang mengatur kehidupan ini.

Akibatnya, kini alam hanya bisa kita nikmati keindahannya bukan justru juga dinikmati kekayaannya untuk kesejahteraan dan kemakmuran hidup kita. Dan jika alam rusak, itu artinya kita tidak bisa menikmati keindahan dan kekayaannya.

Baca Juga: 2 Juta Akun Penyebar Hoaks Diblokir WhatsApp

Padahal, alam utamanya hutan memiliki peranan penting dalam kehidupan umat manusia. Seperti halnya gunung yang berfungsi sebagai pasak bumi, hutan memiliki fungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, pelestari tanah, dan merupakan salah satu biosfer bumi yang paling penting.

Hutan menyimpan banyak keanekaragaman hayati yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, terlebih masyarakat pedalaman yang hidupnya bergantung kepada hutan. Jika hutan dibabat habis, bagaimana mereka akan bertahan hidup? Lebih penting lagi, bagaimana bumi akan mampu bertahan dari serangan pemanasan global jika hutan dibabat habis?

Belajar dari pembakaran hutan Papua, bahwa sistem yang dianut suatu negara memiliki peranan penting dalam pelestarian hutan. Nyatanya, sistem ekonomi Kapitalisme dengan tangan terbuka mempersilakan para kapitalis untuk mengeksploitasi hutan.

Baca Juga: Ruang Pasien Covid-19 di RS Hasan Sadikin Sudah Terisi 90 Persen

Para pemilik kebijakan tidak peduli dengan dampak yang akan muncul di masa depan, mereka pun tidak peduli dengan suara jeritan rakyat yang tidak memiliki payung hukum, mereka hanya peduli dengan urusan perut mereka.

Merekalah orang-orang yang disebut dalam hadits Rasulullah Saw yang tidak akan mencium bau surga.

"Siapa yang diamanati Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, ia tidak akan dapat merasakan bau surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Baca Juga: Ridwan Kamil Bakal Diperiksa Tim Gabungan

Solusi Tuntas Islam 

Di dalam Islam, seseorang tidak memiliki kebebasan kepemilikan. Sebaliknya, Islam justru telah menetapkan adanya kepemilikan harta, sebab-sebab pengembangannya dan cara-cara pengelolaannya. Semua itu sudah diatur oleh syariat dan umat Islam harus tunduk kepadanya.

Dalam pengelolaan sumber daya alam hutan, hutan sendiri di dalam sistem ekonomi Islam merupakan salah satu harta kekayaan milik umat yang harus dikelola oleh negara dan dikembalikan lagi kepada umat.

Seperti sabda Nabi Saw, bahwa : "Umat Islam berserikat dalam tiga hal: padang gembala, api dan air" (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Baca Juga: Wantannas Usulkan Jabar Percontohan Percepatan Penanganan Covid-19

Padang gembala adalah tanah dan apapun yang tumbuh di atasnya, api adalah gas bumi, dan air. Ketiga sumber daya alam tersebut adalah milik umat yang artinya tidak boleh diberikan kepada swasta untuk mengelolanya. Seperti yang pernah dikisahkan dalam hadits Nabi Saw.

Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah Saw dan meminta diberi tambang garam—Ibnu  al-Mutawakkil berkata—yang ada di Ma’rib. Lalu Rasulullah Saw memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, "Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepada dia? Tidak lain Anda memberi dia air yang terus mengalir." Dia (Ibnu al-Mutawakkil) berkata: Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hamal). (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ath-Thabarani. Redaksi menurut Abu Dawud).

Untuk itu, negara sendirilah yang harus mengelolanya untuk kemudian dikembalikan lagi kepada umat dalam bentuk pendidikan dan kesehatan secara gratis. Inilah sistem ekonomi Islam, yang tidak hanya memanusiakan manusia tapi juga mampu melestarikan alam dan memanfaatkan kekayaannya untuk kesejahteraan umat.

Baca Juga: Begini Cara Aktifkan Fitur Pesan Menghilang di WhatsApp

Jika dikalkulasikan, semisal dari 100 juta hektar kita ambil 60 juta hektar hutan produksi (dengan siklus 20 tahun). Jika pertahun 5 persen diambil dengan nett profit 1 juta rupiah/batang, maka 60 juta x 20 pohon/ha x 1 juta rupiah = Rp. 1.200 T/tahun.

Itu keuntungan yang dihasilkan dari hutan berupa batang pohon saja, belum termasuk keuntungan dari emas, timah, bauxit, gas alam, batu bara, perikanan, dan sebagainya. Inilah kemakmuran hidup yang dijanjikan oleh Allah SWT jika kita benar-benar menerapkan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Seperti firman-Nya di dalam QS. Al-A'raf (7) : 96 : "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."

Baca Juga: Fitur Pesan Menghilang Otomatis di WhatsApp Sudah Tersedia

Sayangnya, yang terjadi adalah bencana alam yang seakan tidak pernah ada jeda. Itu semua dikarenakan ulah tangan manusia itu sendiri, karena kedurhakaan umat manusia kepada aturan Sang Maha Pencipta.

Dari bencana-bencana itu, Allah SWT hendak menegur agar manusia berintrospeksi diri, menyadari tugas dan tanggung jawab dalam memelihara alam, bahwa keteraturan, keseimbangan bahkan penghancuran alam merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah. Bersamaan dengan itu, umat manusia pun harus berintrospeksi untuk memelihara alam sesuai dengan aturan Allah dan rasul-Nya. Wallahu a'lam bish-shawab.***

Editor: Andra Adyatama

Tags

Terkini

Terpopuler