Kemerdekaan RI dan Tahun Baru Hijriyah; Milestone Kebangkitan Islam Keindonesiaan

20 Agustus 2020, 18:12 WIB
Dr H Masduki Duryat MPdI /

Oleh: Dr. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)

 

Agustus tahun 2020 bagi bangsa dan ummat Islam Indonesia ada dua momentum yang sangat bersejarah sekaligus milestone, tonggak sejarah yang menghantarkan bangsa dan ummat Islam Indonesia pada kehidupan yang lebih mencerahkan, bangkit dari keterpurukan, melakukan lompatan ekonomi, pengetahuan, teknologi, dan kebangkitan bangsa yang berkeadaban dengan menyadari bahwa kita bangsa besar yang berdiri di atas kemajemukaan, multukultural. Beda agama, suku, bahasa, budaya, pakaian, adat, makanan dan hebatnya lagi kita masih tetap survive sebagai sebuah bangsa sampai saat ini.

 

Makna Kemerdekaan; Sebuah Evaluasi Ulang

 

Setiap tanggal 17 Agustus kita memperingati kemerdekaan sebagai sebuah bangsa. Kemerdekaan yang harus disyukuri dan diisi dengan semangat membangun untuk memakmurkan rakyatnya.

 

Kemerdekaan adalah hak azasi yang diberikan oleh Tuhan, bahwa setiap individu dan kelompok—termasuk bangsa—adalah sama kedudukannya.

Tidak ada yang merasa superior untuk kemudian menindas yang lain dan dipandang sebagai imperior. Konsep ‘al-Mudatstsir’ yang diabadikan dalam Quran adalah mengindikasikan untuk memerdekakan diri supaya tidak terkungkung dalam kemalasan, ketertindasan dan ketidakberdayaan.

Karena al-Mudatstsir, bermakna selimut; selimut adalah sesuatu yang membuat kita tidak berdaya, terlena, terninabobokan, tidak bebas berimprovisasi, tidak bebas berbicara dan status quo untuk memperkaya diri—korupsi dan tindak yang mencerminkan ketidakadilan lainnya.

Oleh karena itu kita disuruh untuk bangun,  bangkit, merdeka dengan menyingkapkan ‘selimut’, dan pada saat yang sama  menyuarakan kebebasan, peringatan dan mengajak pada kebenaran dengan tidak menyombongkan diri dengan segala atribut yang melekat pada kita, pangkat, golongan, partai politik, ras, suku, bangsa—yaa ayyuha al-mudatstsir, qum fa andzir wa tsiyabaka fa thahhir---yang selalu menjadi alat untuk merendahkan dan menindas orang, golongan/bangsa lain.

 

Pada konteks agama, sejatinya kemerdekaan adalah ketika kita bertauhid. Karena setiap nabi yang diturunkan ke dunia seluruhnya membawa misi pembebasan. Nabi Ibrahim a.s., misalnya, hadir ke dunia sebagai pioner pembebasan manusia dari ketundukan kepada berhala-berhala yang berada di bawah kuasa Raja Namruz.

Nabi Musa a.s. adalah pembela Bani Israil yang berada di bawah keserakahan raja Fir’aun. Dan Nabi Muhammad Saw. adalah revolusioner sejati dengan misi me-(de/re)konstruksi seluruh watak dan perilaku umat ke arah yang diridhai Tuhan—innama bu’itstu liutammima makarim al-akhlaq.

Nabi Muhammad Saw. hadir ke dunia sebagai proklamator kebebasan atas hak dan harkat manusia, pembebasan dari perbudakan, eksploitasi, diskriminasi, pemingitan hak-hak perempuan dan ketidakadilan. Nabi Saw.,  adalah pembawa proses  perubahan radikal di kalangan masyarakar Arab, khususnya bangsa Quraisy, dengan meruntuhkan kelompok-kelompok kepentingan yang dominan.

 

Dalam konteks Indonesia, ada untaian kalimat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sangat sakral dan berkonsekuensi pada kemerdekaan dan prinsip egaliter suatu bangsa, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Bahkan kemudian dilanjutnya dengan kalimat, “… kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi sgenap bangsa Indonesa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ….”

 Baca Juga: Nurhasan Tantang Presiden Soal Super Koridor Ekonomi Pantura

Untaian kalimat sakral dan mulia itu selalu dibaca setiap upacara Senin di sekolah dan peringatan detik-detik proklamasi setiap tanggal 17 Agustus. Ironisnya kegiatan itu berlangsung secara rutin nyaris tanpa makna yang mungkin tanpa membangkitkan semangat solidaritas dan nasionalisme kemerdekaan.

Kita hapal di luar kepala—bahkan para pejabat sering membacakannya—padahal pada pandangan Prof. Anies Baswedan itu seharusnya sekaligus menjadi sebuah janji yang harus direalisasikan oleh siapapun yang diamanahi jabatan untuk memimpin bangsa ini di tiap level tingkatan.


Perayaan detik-detik proklamasi terjebak pada ritual simbolik; upacara, memasang bendera, mengecat gapura, memasang umbul-umbul, membuat pagar, membuat patung pahlawan atau membuat pesta syukuran bersama.


Peringatan kemerdekaan kian terasa ‘sumbang’ dan tidak memiliki daya dongkrak untuk membangkitkan semangat nasionalisme kebangsaan. Kemeriahan hanya sebatas formalistik yang mengesampingkan essensi.

Sedang semangat dan nilai-nilai kejuangan hilang tanpa ‘atsar’. Tentu ini menjadi sesuatu yang paradoks, para pahlawan dengan ikhlas dan berdarah-darah tetapi pewaris kemerdekaan dengan merasa tanpa berdosa melakukan penghianatan, seperti yang difragmentasikan oleh para pejabat kita sekarang ini yang sangat miris dan memilukan; maraknya kasus korupsi, kekerasan, dan kemerosotan moral bangsa adalah realitas yang tak terbantahkan sekarang ini.

 

Maka adalah sebuah keharusan kita—bangsa Indonesia khususnya ummat Islam—untuk segera berhijrah, bangun bangkit ‘Qum Fa andzir’ melakukan proses penyadaran diri sebagai sebuah bangsa agar lebih baik lagi, kompetitif dan komperatif dibandingkan dengan ummat dan bangsa lain. Menjadi bangsa yang diidealkan seperti amanat pembukaan UUD 1945.

 

 Baca Juga: Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual

 

Hijrah; Menuju Kejayaan

 

Hijrah secara harfiah bermakna “perpindahan ke lain negeri” atau “perpisahan dari handai taulan atau negeri asal”. Secara teknis—secara islami—hijrah bermakna keberangkatan Nabi Muhammad SAW., dari Mekkah tempat kelahirannya ke Yatsrib yang kemudian dikenal dengaan Madinat al-Nabiyy atau al-Madinah al-Munawwarah”.  

Di bawah kekhalifahan Umar bin Khattab ra., hijrah secara teknis menjadi peristiwa yang paling penting dalam sejarah Islam, dan penanggalannya dinyatakan sebagai awal dari sejarah Islam. Kelahiran dan wafatnya Nabi dikesampingkan, demikian pula turunnya wahyu pertama.

Dengan keputusan ini, Umar memandang segala peristiwa yang terjadi kepentingannya berada di bawah hijrah.

Hijrah adalah milestone, sehingga Islam bisa berkembang dan cahayanya sampai ke Indonesia—bahkan kejayaannya pernah menguasai lebih dari sepertiga dunia ini—sekaligus menegasikan bahwa menilai seseorang dan keberhasilannya atas pertimbangan kinerja, bukan pada keturunan, demikian menurut Prof. Yunan Nasution. Rasulullah dan ummat Islam mencapai kinerja dan prestasi pengembangan dakwah Islam secara gemilang dimulai dari hijrahnya ke Madinah.

 

“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa/4: 100).

 

Berikut merupakan ayat-ayat yang terdapat kata “hijrah” di dalamnya:
Pertama, Hijrah yang berarti berpindah dari satu tempat ke tempat lain, terdapat dalam QS. Al-Baqarah/2: 218, QS. Ali Imron/3: 195, QS. al-‘Ankabut/29: 26, QS. al-Taubah/9: 10, QS. al-Nisa/4: 97, QS. al-Anfal/8: 72,74, 75 dan QS. al-Mumtahanah/60: 8. Kedua, Hijrah yang artiya meninggalkan sesuatu, terdapat dalam QS. Maryam/19: 46, QS. al-Nisa/4 89 dan 100, QS. al-Hajj/22: 58, QS. al-Ahzab/33: 50. Ketiga, Hijrah yang artinya sesuatu yang diacuhkan, terdapat dalam QS. al-Furqan/25: 30. Keempat Hijrah yang berarti orang-orang yang berhijrah (muhajirin), terdapat dalam QS. Al-Taubah/9: 100, 117, QS. al-Hasyr/59: 8, 9, QS. al-Nur/22: 24 dan QS. al-Ahzab/33: 6. Kelima, Hijrah yang berarti menjauhi sesuatu yang tidak mengenakkan hati atau jasmani (fisik), terdapat dalam QS. al-Muzammil/73: 10, QS. al-Mudatsir/74: 5 dan QS. alNahl/16: 41 dan 110. Keenam, Hijrah yang artinya memisahkan sesuatu dari sesuatu, terdapat dalam QS. al-Nisa/4: 34. Ketujuh, Hijrah yang artinya bercakap-cakap pada waktu malam hari, terdapat dalam QS. Al-Mu’minun/23: 22.

 

Hijrah tidak terbatas pada kejadian-kejadian sejarah pada masa Nabi. Hijrah bisa diterapkan pada istilah bahasa maupun teknis. Al-Quran menggunakan perubahan-perubahan dengan menggunakan terma “hijrah” dalam perintahnya untuk menghindar dari keburukan, berpaling dari istri yang tidak patuh, tidak mengabaikan al-Quran, meninggalkan orang tua yang tidak beriman dengan cara yang baik dengan tidak melukai hatinya, kembali kepada Tuhan dengan harapan mendapatkan petunjuk-Nya, meninggalkan tempat atau kondisi demi Allah.

 

Semua ini adalah makna baru yang oleh Islam diterapkan pada akar kata h-j-r beserta akar kata turunannya. Dalam pemikiran ummat Islam makna etis-religius melebihi arti biasa hajara (berpindah). Hijrah menjadi praktek keagamaan terbesar, yaitu meninggalkan tuntutan-tuntutan keduniawian demi kesalihan; pencurahan tenaga demi kesucian dan kemuliaan, mempelajari ilmu-ilmu yang meneguhkan keimanan, mengabdi kepada Allah, pengetahuan dan kemanusiaan.

Hijrah dari kejumudan—stagnasi—ke arah kemajuan ummat dan bangsa. Dalam realitas seperti ini ada beberapa hal yang bisa kita lakukan misalnya; Pertama, dengan memperkuat kembali kalimat tauhid—tidak minder dengan bangsa lain—karena menurut Prof. Nurcholish Madjid ada korelasi antara tauhid dengan kemajuan; kedua, akses ilmu pengetahuan—tidak ada ruang bagi ummat islam untuk tidak berilmu—performa ummat Islam adalah ulama sekaligus ilmuan yang tidak dichotomis; Ketiga, Perkuat ekonomi berbasis keummatan—jangan jadi fakir—dengan mengintensifkan zakat, infak dan shadaqah serta wakaf dikelola dengan manajemen modern dan profesional; dan keempat, menjadikan masjid sebagai basis kekuatan ummat—simbol peradaban—sentral kegiatan ummat.

 

Semoga dua peristiwa ini, kemerdekaan RI dan tahun baru hijrah menjadi tonggak sejarah kebangkitan ummat Islam dan bangsa Indonesia dan Allah ridha.

 

*)Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu

Editor: Andra Adyatama

Terkini

Terpopuler