Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual

- 19 Agustus 2020, 19:28 WIB
Asih Widyowati
Asih Widyowati /

Oleh: Turisih Widiyowati

Founder Umah Ramah dan Mahasiswa Pascasarjana IAIN Cirebon

 

Setiap tanggal 23 Juli, kita memperingati Hari Anak Nasional (HAN). Dalam konteks pembicaraan tentang anak, pondasi dasarnya adalah bahwa anak-anak kita, sebagaimana warga negara lainnya, berhak untuk tumbuh dengan sehat, bahagia dan berkembang secara maksimal. Tentunya perlindungan ini harus ditingkatkan oleh Negara dan masyarakat. Untuk menjamin hak-hak anak di Indonesia, Pemerintah telah menjaminnya dalam Undang-Undang RI Nomor 23 tentang Perlindungan Anak. Setidaknya ada 12 hak anak tercantum, diantaranya adalah hak memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan, eksploitasi, serta diskriminasi. UU tersebut kemudian diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Hari Anak merupakan agenda tahunan yang dilaksanakan pada tanggaal berbeda-berbeda di berbagai Negara di belahan dunia. Hari Anak Internasional diperingati setiap 1 Juni, sedangkan Hari Anak Universal diperingati setiap 20 November. Tanggal tersebut diumumkan oleh PBB sebagai Hari Anak-anak Sedunia. Di Indonesia, Hari Anak Nasional (HAN) diperingati setiap tanggal 23 Juli sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Presiden Soeharto) Nomor 44 Tahun 1984 tanggal 19 Juli 1984. Lalu apa makna sesungguhnya HAN ini untuk anak-anak di Indonesia? 

Ironisnya dalam situasi pandemi ini, kekerasan terhadap anak kian meningkat. Berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari – 19 Juni 2020 telah terjadi  3.087 kasus kekerasan terhadap anak, di antaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual. Lalu kita dibuat geram lagi dengan kasus pemerkosaan dan penjualan anak korban pemerkosaan yang sedang proses pendampingan dan pemulihan di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur. Parahnya pelaku adalah pejabat di kantor tersebut. 

Kemudian diawal Juli kita dibuat marah  dengan sikap Komisi VIII DPR RI mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020. DPR RI menarik RUU P-KS karena pembahasannya agak sulit. Padahal data mengenai kasus kekerasan seksual tersedia di berbagai instansi pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pun terus berlangsung. Bahkan semakin meningkat dalam situasi pandemi ini.

Untuk wilayah Cirebon sendiri berdasarkan catatan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) RSD Gunung Jati bahwa kasus kekerasan seksual maupun fisik terhadap anak di wilayah Cirebon pada tahun 2019 dianggap masih tinggi. Ada 162 kasus yang ditangani sepanjang 2019. Dalam Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2019 Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak perempuan melonjak sebanyak 2.341 kasus, tahun sebelumnya sebanyak 1.417 kasus.

Bentuk kekerasan inses terhadap anak perempuan berada di angka paling tinggi dibandingkan dengan bentuk kekerasan lainnya. Kategori kasus inses ini diartikan sebagai kekerasan seksual di dalam rumah yang pelakunya memiliki hubungan darah, terdiri dari ayah kandung, ayah tiri, paman dan kakek.

Sudah begitu banyak data kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Lalu mengapa Negara terlihat abai dan tidak perduli terhadap korban anak kekerasan seksual? Tentunya perempuan dan anak yang merasa dirugikan dengan keputusan DPR RI ini. Terutama anak yang selama ini rentan kekerasan seksual. Bagaimana mau mewujudkan perlindungan anak, jika pemerintahnya tak mempunyai political will bagaimana mereka melindungi perampuan dan anak dari kekerasan seksual?

Halaman:

Editor: Andra Adyatama


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x