MENENGOK Pemilih di Pilkades Serentak 2023 Kabupaten Cirebon, Masihkah Mau Disuap dengan Uang?

- 15 Juni 2023, 23:32 WIB
Gambar Ilustrasi Pilkades Serentak
Gambar Ilustrasi Pilkades Serentak /

PORTAL MAJALENGKA-Pemilihan kepala desa (pilkades) atau pemilihan Kuwu (Pilwu) Serentak 2023 Kabupaten Cirebon bakal digelar pada 22 Oktober mendatang.

Pada Pilkades Serentak 2023 Kabupaten Cirebon Kali ini bakal diikuti 100 desa yang tersebar di 40 kecamatan.

Meski dalam peraturan perundangan Pilkades Serentak 2023 di Kabupaten Cirebon gratis tidak dibebankan biaya, akan tetapi Kontestan tetap butuh biaya besar buat ongkos politik yang bakal mereka jalankan.

Baca Juga: 22 Desa yang Gelar Pilkades Serentak 2023 Kabupaten Subang, Ini Daftar Namanya

Hal ini tidak bisa dipungkiri dan diakui banyak kades atau kuwu baik mantan atau yang masih menjabat.

Hal itupun dirasakan pula oleh banyak peserta calon kades atau kuwu yang gagal terpilih saat mengikut Pilkades Serentak pada tahun-tahun lalu.

Dari beberapa calon kades yang gagal terpilih yang tidak mau disebutkan namanya ia menceritakan bahwa saat ia mengikuti Pilkades Serentak di Kabupaten Cirebon yang digelar pada tahun 2019 lalu.

Baca Juga: MASSA Al Zaytun Sambut Pendemo dengan Lagu Yahudi Havenu Shalom Aleichem

Dirinya ngaku nekat, sama sekali tidak bermodalkan uang sedikitpun. Sengaja ia melakukan demikian mencoba untuk menjajaki pandangan masyarakat terhadap dirinya disamping coba tawarkan sistem pemerintahan amanah lewat visi misi yang digagasnya.

Walhasi, ia pun dibuat tersenyum dengan hasil suara yang diperolehnya, hanya mendapat berapa puluh suara saja. Dan dia tahu bahwa suara yang dimilikinya hanya berasal dari saudara ataupun rekan terdekatnya.

Tidak jauh berbeda dengan calon kepala desa yang gagal diatas. Calon kades yang kedua inipun sempat merasakan pula kotor dan panasnya persaingan pilkades.

Baca Juga: Rizdjar Pemain Asal Cirebon Bakal Tampil di Liga 1 Indonesia, Diharapkan Jadi Motivasi Pesepak Bola di Wilayah

Bermodalkan niat karena dorongan warganya, juga disertai keluarnya biaya untuk kampanye dan memberi jamuan pada tamu yang datang.

Calon kedua mencoba peruntungan di pilkades tahun 2021 kemarin. Sebenarnya ia cukup kuat untuk merebut suara pemilih, sayangnya calon kedua tidak mau bermain duit (serangan fajar) seperti yang dilakukan lawannya.

Walhasil ia pun harus kalah, meski demikian ia puas ternyata keberadaannya di masyarakat masih diakui meski gagal terpilih dan hanya di urutan kedua dari empat kandidat yang jadi peserta.

Tampak dari beberapa cerita nyata para peserta pilkades di atas, tentu kita dapat melihat betapa dominannya uang berperan di kancah perhelatan demokrasi terbawah ini.

Duit mutlak diperlukan sebagai modal kampanye atau ongkos politik. Termasuk untuk menyuap guna meraih suara atau mengurangi dukungan lawan.

Lewat serangan fajar yang menjadi istilah umum bagi-bagi uang menjelang hari pemungutan suara. Timses dari calon kepala desa akan berupaya membayar kartu suara lawannya agar dapat mengurangi dukungan.

Ataupun membayar mereka yang masih abu-abu untuk mendukung calon kepala desa yang mereka usung. Mereka akan bekerja keras untuk meraih kemenangan.

Tidak hanya timses, para aktor penjudi atau pembotoh juga turut bermain pula di dalamnya untuk memenangkan calon kades atau kuwu yang mereka jagokan.

Duit ratusan juta berputar di pagi itu untuk mempengaruhi masyarakat dalam memilih calon kades atau kuwu yang bakal memimpin desanya.

Fenomena praktik politik uang masih terus terjadi dan dianggap lumrah di hampir setiap pilkades di Kabupaten Cirebon.

Sulit untuk menghilangkan praktek money politics semacam ini  karena tidak ada aturan dan tindakan tegas yang membuat jera.

Banyak kandidat yang menyiasati definisi politik uang dengan berpendapat bahwa dalam aturan pemilu maupun pilkades, larangan memberikan uang berlaku saat kampanye, masa tenang, dan saat pencoblosan.

Hal tersebut kemudian mereka plesetkan bahwa ada celah untuk memberikan uang pada malam sebelum pemungutan suara.

Mahalnya ongkos menduduki kursi orang nomor satu di desa juga diakui salah satu mantan kepala desa di wilayah Kabupaten Cirebon yang namanya enggan disebutkan.
Mengaku dirinya menghabiskan Rp300 juta lebih saat kampanye pada 2013 lalu.

Uang tersebut untuk konsumsi, biaya saksi, bimbingan teknis, dan transportasi sukarelawan. Ia mengklaim tidak ada bagi-bagi duit ke pemilih. Dalam hal ini ia mengaku tidak melakukan serangan fajar yang umum diistilahkan.

Dari banyak pengalaman yang dialami, mahalnya biaya untuk menjadi kepala desa ini kadang menyulitkan orang - orang potensial untuk jadi pemimpin yang membangun desanya.

Apalagi, dengan peraturan yang membolehkan calon kepala berasal dari luar desa, akan semakin membuka kesempatan pemodal untuk menguasai desa dengan kekuatan uang dimilikinya.

Meski demikian pada akhirnya kembali pada masyarakat desanya itu sendiri. Jika terus tidak mau belajar dari pengalaman, dipastikan harapan kesejahteraan masih jauh entah datang kapan. Demikian semoga bermanfaat. ***

Editor: Muhammad Ayus


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah