Hari Pahlawan! Mengenal Sjafrudin Prawiranegara, Presiden ke-2 RI yang Terlupakan (Bagian 2)

- 10 November 2020, 09:00 WIB
Tugu PDRI, Gunung Omeh, Koto tinggi, Lima Puluh Kota Sumatera Barat
Tugu PDRI, Gunung Omeh, Koto tinggi, Lima Puluh Kota Sumatera Barat /

PORTAL MAJALENGKA - Melihat keadaan sangat genting, Sjafruddin tidak tinggal diam. Pada sore hari, Sjafruddin bersama Panglima Militer seluruh Sumatera Kolonel Hidajat berinisiatif menemui Gubernur Sumatera Mr. Teuku Moehammad Hasan di rumahnya dekat Ngarai Sianok, Bukit Tinggi.

Kepada Teuku Hasan, Sjafruddin menyampaikan pendapat tentang kemungkinan terjadi kekosongan kekuasaan pemerintahan yang akan menimbulkan dampak negatif baik di dalam maupun di luar negeri, dan oleh karena itu perlu segera dibentuk sebuah pemerintahan untuk menyelamatkan negara yang sedang berada dalam keadaan bahaya.

Mulanya, Teuku Hasan menolak gagasan Sjafruddin. Sebagai ahli hukum sarjana, Teuku Hasan mempersoalkan segi yuridis gagasan Sjafruddin.

Baca Juga: Indonesia Memasuki Jurang Resesi, Ini 5 Pilihan Mobil dengan Harga Murah

Apalagi, ternyata Sjafruddin dan para pemimpin Republik di Sumatera, baik sipil maupun militer, tidak ada seorang pun yang memegang mandate dari Presiden dan Wakil Presiden untuk membentuk suatu pemerintahan.

Diskusi pun berjalan alot, yang akhirnya tanggung jawab terhadap kelanjutan perjuangan dan eksisensi Republik, mengatasi pertimbangan yuridis. Ketika senja makin larut, Teuku Hasan mengumumkan hasil perundingannya dengan Sjafruddin dan Hidayat.

“Kami tetapkan bahwa yaitu Sumatera, yaitu di Bukittinggi, pada tanggal 19 Desember 1948, jam 06.00 sore (18.00), telah dibentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia dengan Ketua Mr Sjafruddin Prawirangeara dan Wakil Ketua Mr T.M. Hasan.” (Ismail Hassan “Mengenang 62 Tahun Pemerintah Darurat Republik Indonesia 19 Desember 1948-19 Desember 2010” dalam Lukman Hakim (penyunting), Sjafruddin Prawiranegara Penyelamat Republik. Jakarta: YAPI, hlm 29-30).

Baca Juga: Kasus Covid-19 Dunia 50 Juta Lebih, Amerika Serikat 10 Juta Kasus

Dalam rangka memudahkan tugasnya sebagai Ketua PDRI, Sjafruddin membentuk kabinet yang terdiri dari beberapa menteri diantaranya: Teuku Mohammad Hasan sebagai Wakil Ketua PDRI merangkap sebagai Menteri Dalam Negeri/ PPK/ Agama, Sutan Mohammad Rasjid sebagai Menteri Keamanan/ Sosial/Pembangunan/Pemuda/Perburuhan, Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan/Kehakiman, Ir. Mananti Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum/ Keehatan, Ir. Indracaya sebagau Menteri Perhubungan/Kemakmuran, Mr. A.A. Maramis sebagai Menteri Luar Negeri. Sementara Jenderal Sudirman tetap menjadi Panglima Besar Angkatan Perang PDRI.

Di bawah komando Sjafruddin, PDRI terus bekerja melakukan berbagai macam usaha untuk membebaskan Soekarno-Hatta dan juga pemimpin bangsa yang lain.

Demi memperlihatkan bahwa pemerintahan RI masih eksis setelah para tokoh sentralnya ditawan, Sjafruddin berpidato melalui radio yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia dan pasukan TNI.

Baca Juga: Bupati Majalengka Bagikan Sertifikat Tanah PTSL

Pidato lengkap Sjfaruddin Prawiranegara:

"Belanda menyerang pada hari Minggu, hari yang biasa dipergunakan oleh umat Nasrani untuk memuja Tuhan. Mereka menyerang pada saat tidak alam lagi akan merayakan hari Ntal Isa AS, hari suci dan perdamaian bagi umat Nasrani. Jusru karena itu semuanya, maka lebih-lebih perbuatan Belanda yang megakui dirinya bergama Kristen, menunjukkan lebih jelas dan nyata sifat dan tabiat bangsa Belanda: Liciknya, curangnya dan kejamnya. Karena serangan tiba-tiba itu mereka telah berhasil menawan Presiden, Wakil Pesiden, Perdana Menteri, dan beberapa pembesar lain. Dengan demikian, mereka menduga menghadapi suatu keadaan negara Republik Indonesia yang dapat disamakan dengan Belanda sendiri pada suatu saat negaranya diduduki Jerman dalam Perang Dunia II, ketika rakyatnya kehilangan akal, pemimpinnya putus asa dan negaranya tidak dapat ditolong lagi.”

Baca Juga: Penting! Warna Mobil Pengaruhi Harga Jual, Benarkah?

“Tetapi kita membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus ada. Negara RI tidak tergantung kepada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Pata tumbuh hilang berganti!”

“Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata , menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghidarkan tipuan-tipuan musuh!".

Pidato tersebut menjadi momok bagi Belanda karena dengan pidato tersebut secara tidak langsung Sjafruddin telah menegaskan kepada dunia internasional bahwa Indonesia masih ada.

Baca Juga: Gunakan DD Melalui Skema Padat Karya, Desa Sumber Kulon Jatitujuh Bangun Lapang Voli

Siaran radio itu dapat ditangkap oleh stasiun radio Singapura dan juga disadap oleh radio Belanda di daerah Riau. Sejak saat itu PDRI menjadi musuh nomor satu bagi Belanda. Perjuangan mereka ternyata membuahkan hasil.

Panitia jasa-jasa baik dari PBB berkunjung ke Menumbing Bangka, mereka melihat para tahanan masih dikurung dalam tahanan terbatas 4X6 meter.

Sekembalinya dari Jakarta mereka langsung membuat laporan pendek yang dikirimkan ke markas besar PBB di New York, dalam waktu beberapa jam, laporan itu sudah diketahui dunia internasional.

Dunia pun terkejut karena Belanda memberi kesan bahwa resolusi untuk membebaskan para tahanan di Bangka itu telah dilaksanakan.

Baca Juga: Angka Kesembuhan Pasien COVID-19 di Jabar Masih di Bawah Nasional

Dr Van Roijen juru bicara Belanda untuk PBB langsung meminta maaf dan mengatakan bahwa terhadap yang bertanggung jawab akan diambil tindakan.

Setelah tidak mampu mengelak dari tekanan internasional, akhirnya Belanda memilih untuk berunding dengan utusan Soekarno-Hatta yang saat itu masih berstatus tawanan.

Akhirnya perundingan menghasilkan perjanjian Roem-Roijen pada 7 Mei 1949 yang berbunyi: Tentara bersenjata Indonesia harus menghentikan kegiatan gerilya, Pemerintah Republik Indonesia turut serta dalam konferensi Meja Bundar, Kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta, Tentara bersenjata Belanda harus menghentikan operasi militer sert melakukan pembebasan semua tahanan politik, Kedaulatan Republik Indonesia akan diserahkan secara utuh tanpa adanya syarat, Menyetujui adanya Republik Indonesia yang bagian dari Negara Indonesia Serikat, Belanda memberika hak, kekuasaan, serta kewajiban kepada pihak Indonesia.

Baca Juga: Pemekaran 3 DOB Baru di Jawa Barat Akan Disampaikan ke Pusat

Namun, perundingan Roem- Roijen itu pada akhirnya banyak menuai penolakan dari para tokoh-tokoh politik maupun militer. Kemarahan itu juga muncul dari pimpinan PDRI dan Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dalam keadaan sakit memimpin perang gerilya.

Jenderal Soedirman marah dan tersinggung dengan penggunaan istilah “pengikut Republik bersenjata” dalam pernyataan Roem-Rojien. Bagi Jenderal Soedirman, penggunaan istilah itu seolah-olah menganggap Angkatan Bersenjata RI hanya sebagai gerombolan bersenjata.

Pada 13 Juli 1949 dalam sebuah rapat kabinet Sjafrudin mengembalikan mandat kepada Soekarno dan beberapa bulan berselang Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI secara penuh.(Bersambung)

Editor: Andra Adyatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x