Afirmasi Syiah dan Ahmadiyah, Yaqut Tidak Ingin Kelompok Agama Minoritas Terusir

- 25 Desember 2020, 14:30 WIB
Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas akan memfasilitasi dialog agar kelompok agama minoritas tidak lagi dipersekusi.
Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas akan memfasilitasi dialog agar kelompok agama minoritas tidak lagi dipersekusi. /Dok Kementerian Agama

PORTAL MAJALENGKA - Menteri Agama Yaqut C Qoumas mengatakan tidak mau ada kelompok beragama minoritas yang terusir dari kampung halaman mereka karena perbedaan keyakinan.

Hal tersebut Yaqut katakan terkait rencana pemerintah mengafirmasi hak beragama warga Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia.

“Mereka warga negara yang harus dilindungi,” kata Yaqut saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis 24 Desember 2020.

Baca Juga: Tegaskan Agama sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, Gus Yaqut: Tunggu Terbobosan Berbeda Kami!

Gus Yaqut, sapaan Yaqut C Qoumas juga menyatakan Kementerian Agama akan memfasilitasi dialog lebih intensif menjembatani perbedaan yang ada.

“Perlu dialog lebih intensif untuk menjembatani perbedaan. Kementerian Agama akan memfasilitasi,” katanya.

Pernyataan itu merespons permintaan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra agar pemerintah mengafirmasi urusan minoritas.

Baca Juga: Kunjungi Perayaan Misa Natal, Menteri Agama : Saya Menteri untuk Semua Agama

Hal ini disampaikan secara daring pada forum Professor Talk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Selasa 15 Desember lalu.

“Terutama bagi mereka yang memang sudah tersisih dan kemudian terjadi persekusi, itu perlu afirmasi,” kata Azyumardi.

Menurut Azyumardi, afirmasi itu kurang tampak diberikan pemerintah kepada kelompok minoritas. Misalnya, saat pemeluk agama minoritas ingin mendirikan tempat ibadah.

Baca Juga: Antisipasi Varian Baru Virus Corona, Satgas Covid-19 Lakukan Ini

Azyumardi mengatakan bahwa para pengungsi Syiah di Sidoarjo dan kelompok Ahmadiyah di Mataram harus mengalami persekusi oleh kelompok Islam “berjubah”.

Namun, persoalan intoleran itu, menurut Azyumardi, bukan muncul di kalangan umat Islam saja, melainkan juga dialami oleh pemeluk agama lain di Indonesia.

“Di wilayah yang mayoritas Kristen, itu Katolik susah bikin gereja.Yang mayoritas Katolik, orang Kristen juga susah untuk membangun,” kata Azyumardi.

Baca Juga: Mahfud MD Tegaskan Tak Ada Islamofobia di Indonesia

Dia berpendapat bahwa akan sulit bagi kelompok yang memiliki relasi kekuatan (power relation) minim di suatu lokasi bisa mendapat restu mendirikan tempat ibadah tersebut dari kelompok yang memiliki relasi kekuatan yang lebih kuat.

“Ini masalah power relation sebetulnya. Siapa yang merasa dia mayoritas. Jadi, yang begini-begini, power relation yang harus diatur begitu, ya (oleh Pemerintah). Bagaimana supaya adil,” katanya.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang mendasarkan pendirian rumah ibadah pada komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa menjadi sulit dilakukan ketika relasi kekuatan tadi belum merata.

Baca Juga: Ini yang Dilakukan Pengelola Tol Cipali Antisipasi Kepadatan Kendaraan

Azyumardi mengatakan bahwa faktor pemekaran daerah yang kurang diperhatikan oleh Pemerintah juga ikut andil menyebabkan permasalahan tersebut.

“Itu saya kira perlu ditata ulang ini, ya. Bagaimana pihak yang berkuasa ini merasa kurang toleran. Jadi, masih perlu saya kira dilakukan afirmasilah dari tingkat nasional,” kata Azyumardi. ***

 

Editor: Hanif Maulana

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x