Padalarang Menuju Cimahi, Menelusuri Jalan Anyer Panarukan Warisan Daendels (Bagian 11)

4 Juni 2022, 08:30 WIB
ilustrasi, Pasar Baru Bandung Tempo Dulu /facebook

PORTAL MAJALENGKA – Penelusuran Jalan Raya Pos atau lebih dikenal Jalan Anyer Panarukan kali ini membahas sekitar daerah Padalarang.

Jalan poros yang dibangun Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels itu memanjang dari ujung Barat hingga Timur Pulau Jawa.

Kawasan ini masuk dalam Kabupaten Bandung Barat. Dari ketinggian 400 mdpl, perjalanan menanjak menuju ketinggian rata-rata 1.200 mdpl.

Baca Juga: Sunan Gunung Jati Marah Besar Hingga Usir Sunan Kali Jaga! Gagalnya Sunan Kalijaga Menjadi Murid Sang Sunan

Ini juga merupakan daerah yang menantang dalam rute Jalan Raya Pos saat ini. Selain jalan yang meliuk turun menanjak, laju kendaraan juga harus saling salip dengan kendaraan truk pengangkut batu kapur.

Truk yang mengangkut bongkahan-bongkahan batu besar, berjalan seperti setengah nyawa, menggerung-gerung sembari mengepulkan asap hitam pekat dari knalpot berkaratnya.

Sentra oleh-oleh yang berada di sepanjang jalan Padalarang, tepatnya di Jalan Raya Cipatat, tertunduk lesu.

Kematian sentra oleh-oleh, berdasarkan cerita warga sekitar, juga terjadi lantaran kehadiran Tol Cipularang.

Baca Juga: Julukan Maung Bandung bagi Persib Bandung Tidak Lepas dari Prabu Siliwangi, Berikut Asal Usulnya

Alhasil, jalur Padalarang menjelma mutlak menjadi kawasan industri tambang kapur dan tanah liat. Debu yang beterbangan menjadi santapan sehari-hari bersama asap truk-truk. Warga setempat menyebut truk itu dengan istilah bayawak (biawak).

Lepas dari Padalarang tiga kilometer ke arah tenggara, tiba di Cimahi, kota sebagai penyangga Kota Bandung. Di sini tak ada sesuatu yang cukup berharga di sepanjangjalur yang memang rawan macet.

Cimahi merupakan pusat kekuatan militer Belanda. Kedudukannya menjadi markas Koninklijk NederlandsIndisch Leger (KNIL) yang membuat kota ini sempat dikenal sebagai kota militer.

Baca Juga: Keramat Sunan Gunung Jati, Perut Wanita yang Buncit Seketika Langsung Kempis

Cimahi, the Army City

Cimahi begitu kecil, luasnya tak lebih dari empat ribu hektare. Cimahi hanya terdiri atas tiga kecamatan: Cimahi Utara, Cimahi Tengah, dan Cimahi Selatan.

Kota yang berjarak 25 kilometer dari Kota Bandung itu menyimpan banyak kisah tentang perjalanan panjang kemiliteran Hindia Belanda pada zaman kolonial.

Banyak peninggalan bangunan, tangsi, hingga pusat pendidikan militer kehindiabelandaan yang menjadikan Cimahi dikenal sebagai kota militer sampai saat ini.

The Army City, julukan itu tersemat untuk kota yang konon diambil dari dua penggal kata cai (air) dan mahi (cukup) itu. Bangunan-bangunan militer membikin mata enggan berkedip jika menengok Kota Cimahi sesungguhnya.

Baca Juga: Penantian Dewi Rengganis Terhadap Raden Kian Santang Putra Prabu Siliwangi, Batu Cinta di Situ Patenggang

Bangunan-bangunan militer itu masih dapat dijumpai di sepanjang Jalan Gatot Subroto, Baros, dan Jalan Sriwijaya.

Namun, sebelum itu ingin rasanya lebih dulu memisahkan Cimahi menjadi dua bagian. Pertama, Cimahi yang terbangun sejak dibukanya jalan Daendels (Anyer-Panarukan), dan Cimahi yang terbangun sebagai kekuatan militer pasca dibukanya jalur kereta Oleh Hindia Belanda pada 1874.

Awalnya Cimahi merupakan daerah yang belum terlalu berarti sebelum dibangunnya rute Groote Postweg. Jalur utama di Cimahi barulah memiliki geliat saat proyek kerja paksa itu rampung.

Berkat pembangunan di era Gubernur Herman Willem Daendels itu, Cimahi cukup maju karena terhubung langsung dengan Padalarang dan Bandung.

Peradaban niaga yang cukup tua bisa ditemui sepanjang rute utama Jalan Raya Cimahi, tepatnya di pusat alun-alun kota.

Baca Juga: Kisah Cucu Kembar Prabu Siliwangi Berubah Jadi Macan, Bongbang Larang dan Bongbang Kencana

Satu bukti yang meyakinkan akan keberadaan Jalan Raya Pos adalah bangunan yang tepat berada di Sisi utara alun-alun. Sebuah bangunan tua yang konon merupakan bekas pos jaga dan perhentian kereta kuda.

Pos jaga itu kini telah berubah menjadi sebuah toko buku, Pustaka Nasution, yang dimiliki keluarga Nasution sejak 1960an.

Kendati begitu, bangunan itu masih mempertahankan gaya kekunoannya. Sayangnya, di sekitaran bangunan ditempati banyak pedagang kaki lima. Mulai penjaja makanan hingga toko kaset dan pengrajin stempel.

Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Jalan Raya Pos Jalan Daendels (2005) turut mengisahkan Cimahi.

Sang penulis mengenang Cimahi sebelum dan bahkan pada era Daendels, masih dikenal dengan nama Cilokotot (sebutan Iain dari Cikolokot yang berarti eceng gondok).

Baca Juga: Bikin Merinding, Ungkapan Perpisahan Ridwan Kamil Melepas Almarhum Eril di Sungai Aare Swiss

"Sekitar tiga kilometer ke tenggara, Jalan Raya Pos sampai ke Cimahi. Sebelum 1913, tempat ini bernama Cikolokot. Di Cikolokot dibangun tangsi besar KNIL dengan RS militer yang juga besar. Sejak itu Cimahi jadi kota militer. Tak ada suatu kenangan padaku tentang Cimahi tapi sedikit tentang Padalarang ..."

Sepintas tidak ada yang salah dengan apa yang diceritakan itu. Hanya kemudian jika menyelam lebih jauh ke dasar sejarah, jalan Daendels dan kota militer Cimahi, adalah dua hal yang seyogianya dipisahkan. Ini bisa dilihat kemudian dari periode pengembangannya yang berbeda.

Baca Juga: Denny Sumargo Dihujat Warganet Terkait Eril karena Podcast Lawas dengan Ridwan Kamil, Begini Klarifikasinya

Tercatat, jika Jalan Raya Pos dibangun pada 1808, pembangunan pusat garnisun Hindia Belanda di Cimahi baru dimulai pada 1886. Ada lebih dari delapan dekade dua babak cerita kota ini.***

Editor: Andra Adyatama

Sumber: Buku Napak Tilas Jalan Daendels

Tags

Terkini

Terpopuler